Dinda Zulaikhah
Penulis Kolom

Pegiat IPPNU di Institut Pesantren KH Abdul Chalim Pacet Mojokerto

Fiqh al-Aqalliyat: Ikhtiar Kemaslahatan Muslim sebagai Minoritas

Islam agama yang rahmatan lil’alamin. Namun juga, Islam adalah agama dengan syariat (jalan, cara) yang mengatur kehidupan manusia secara kompleks, yang jika tidak dipahami dengan baik, detail, nilai-nilai kebaikan dan sifat rahmah dari agama Islam bisa terabaikan.

Islam tersebar dengan damai di seluruh penjuru bumi. Banyak muslim kita yang hidup nun jauh di negeri seberang, di negeri yang mayoritas masyarakatnya bukan muslim. Mereka menjadi kaum minoritas. Tidak perlu jauh-juah ambil contoh di Eropa, di Denpasar atau Manado kondisi sosial seperti itu bisa kita rasakan,

Menimang kondisi tersebut, sedikit banyak tentu saja mereka akan menemukan kesulitan dalam melaksanakan syariat Islam. Mungkin bisa jadi mereka menemui kondisi yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, namun mereka tidak bisa menghindarinya. Oleh sebab itulah, Islam menganjurkan adanya pembaruan dan inovasi dalam pemikiran keagamaan agar dapat dinamis seiring dengan situasi dan kondisi, tapi tetap tidak menghilangkan esensi atau nilai-nilai pokok yang terkandung.

Banyak ulama yang berpegang pada prinsip “apa yang didiamkan oleh syariat menunjukkan bahwa hukum atas suatu masalah tersebut adalah boleh”. Tetapi kebanyakan orang awam memutarbalikkan prinsip tersebut menjadi “apa yang tidak disebutkan dalam syariat adalah hukumnya haram dan melakukannya adalah tergolong perbuatan bid’ah”. Hal yang sama tampaknya juga berlaku pada gagasan-gagasan untuk membentuk dasar-dasar fikih minoritas muslim (Fiqh Aqalliyat) di seluruh dunia.

Meski tergolong baru, secara konseptual fikih minoritas sejatinya bukan model fikih yang benar-benar baru dan terpisah dari fiqih tradisional. Fikih minoritas hanyalah satu cabang dari disiplin ilmu fikih yang luas dalam Islam. ia juga menggunakan metodologi usul fikih yang hampir sama dengan fikih lainnya. Karena ia merujuk pada sumber yang sama yakni Al-Qur’an, Hadits, Sunnah, Ijmak dan Qiyas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan yang komprehensif terhadap masalah ini.

Fiqh al-Aqalliyyat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “fikih minoritas” terdiri atas dua kata yakni: fiqh dan aqalliyyat. Kata fiqh, secara etimologis “paham yang mendalam”. Sedangkan secara terminologis fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah atau praktis yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci.

Baca juga:  Apakah Seluruh Perbuatan Nabi Itu Sunnah dan Perlu Ditiru?

Taha Jabir al- Alwani menyatakan bahwa secara etimologis, aqalliyyah memiliki makna yang artinya minoritas atau kelompok di mana mereka ini berkedudukan sebagai kelompok masyarakat yang dalam segi etnis, bahasa, ras, atau agama berbeda dengan kelompok mayoritas yang berkembang.

Secara terminologis, Fiqh minoritas atau biasa disebut Fiqh al-aqalliyyat merupakan bentuk ilmu fikih yang memelihara keterkaitan hukum syara’ dengan dimensi mereka yang terbilang minoritas dan dengan tempat yang mereka diami.

Fiqh al-aqalliyyat ini merupakan sebuah konsepsi fiqh baru dalam dunia Islam zaman modern.
Jadi Fiqh al-aqalliyyat yakni salah satu fikih yang menjadi bagian dari ilmu fikih pada umumnya. Hanya saja Fiqh al-aqalliyyat ini memiliki sebuah karakter khusus karena nantinya akan diterapkan pada masyarakat yang terbilang mempunyai karakter khusus, yakni yang disebut sebagai kaum minoritas Muslim yang berada di wilayah negara bagian barat.

Dilihat dari sisi sumber hukum, Fiqh al-aqalliyyat ini juga sama dengan ilmu fikih pada umunya yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits yang dibangun berdasarkan ijmak, istihsan, al-maslahah al-mursalah, urf dan dalil yang lainnya yang telah disampaikan oleh para ulama’ usul fikih.

Fikih minoritas yang berada di seluruh belahan dunia, terkhusus di negara bagian barat, memiliki suatu tujuan yang hendak mereka realisasikan dalam kehidupan minoritas dengan berdasarkan pada hukum-hukum syariah beserta kaidahnya.

Pertama, fikih ini diharapkan mampu membantu kaum minoritas Muslim yang di dalamnya yakni: individu, keluarga, dan masyarakat yang ditujukan untuk menghidupkan agama mereka dengan kehidupan yang mudah, tanpa dipersulit dalam hal menjalankan agamanya.

Kedua, dengan ilmu fikih ini diharapkan dapat menjaga esensi dari kepribadian Muslim yang baik serta lengkap dengan akidah, syariah, nilai-nilai, akhlak, moral dan pemahaman universal sehingga dalam hal beribadah yakni sholat, hidup serta mati hanya mereka persembahkan untuk Allah semata.

Ketiga, dengan adanya fikih ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap kalangan minoritas dengan berisikan nilai toleransi serta keterbukaan terhadap sesama, sehingga nantinya tidak terkesan mengisolasikan fikih dari dasar-dasarnya serta tidak menjadikan mereka mengasingkan atau menutup diri dari masyarakat sosial di antara mereka.

Baca juga:  Fikih Tanah-Air Indonesia (4): Tanah Warisan

Keempat, diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam hal mendidik, dan menyadarkan kaum muslim dengan cara menjaga hak-hak, kebebasan mereka dalam hal menjalankan agamanya, budaya, sosial, ekonomi serta politik yang telah dilindungi oleh undang-undang dan juga mendapakan kemudahan dalam hal menjalankan kewajiban mereka.

Tujuan-tujuan tersebut menunjukkan bahwa Islam bukan hanya untuk negara di satu wilayah tertentu, namun ditujukan untuk seluruh wilayah dan negara yang ada di dunia ini.

Fiqih Aqalliyat adalah fiqih yang secara spesifik membahas terkait permasalahan-permasalahan yang dihadapi muslim minoritas dalam pengamalan ajaran agama. Latar belakangnya ialah banyaknya permasalahan pengamalan syariat Islam yang dihadapi muslim minoritas yang berada di Barat (Benua Eropa) dan Amerika.

Permasalahan yang dihadapi muslim di Barat, tentu sudah dijawab para ahli, tapi dalam konteks ini ada dua tokoh yang dianggap penggagas adanya fiqih minoritas atau fiqh aqalliyat, yaitu Thaha Jabir al-Alwani dan Yusuf al-Qaradhawi. Menurut kedua tokoh ini, perlu adanya suatu bentuk fiqih yang khusus dan utuh dari sisi materi dan metodologisnya terkait masalah keminoritasan ini. Di antara problematika itu adalah pemaknaan negara Islam, dan peran politik dan kewarganegaraan kaum muslim yang tinggal di negara-negara dengan mayoritas non muslim.

Dalam wacana kaprah, ada perdebatan tentang makna negara Islam, bagaimana kriterianya, beserta hukum tinggal di sana, juga hukum memilih pemimpin non muslim, dan partisipasi politik.

Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah dalam buku “Fiqih minoritas” karya Imam Mawardi, menjelaskan bahwa negara Islam adalah negara yang di dalamnya hukum Islam ditegakkan.

Sementara itu Abd Qadir Awdah mendefinisikan negara Islam sebagai negara yang menegakkan hukum Islam atau yang memberikan kebebasan kepada penduduknya yang beragama Islam untuk menjalankan hukum Islam.

Jadi negara Islam bisa berupa negara yang keseluruhan atau mayoritas penduduknya muslim, negara yang diperintah oleh umat Islam dengan menjalankan hukum Islam walau sebagian besar penduduknya non-muslim, dan negara yang dikuasai oleh non-muslim tetapi memberikan kebebasan pada penduduknya yang muslim untuk menjalankan agamanya.

Dengan demikian, meskipun mayoritas non-muslim tetapi bila muslim diberi kebebasan untuk menjalankan keagamaan, maka bisa disebut sebagai negara Islam.

Baca juga:  Wahai Papua, Kami Mencintaimu dengan Cara Istimewa

Adapun hukumnya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Yang pertama, hukumnya mutlak haram. Pendapat ini dianut oleh Ibnu Hazm dan pengikut mazdhab Maliki.

Pendapat kedua ialah boleh, sepanjang ia mampu menjalankan kewajiban agamanya. Dalilnya sebagaimana yang disampaikan Imam Syafi’i bahwa Nabi telah mengizinkan kaum yang telah masuk Islam di Makkah untuk tetap tinggal di sana setelah keislaman mereka.

Pendapat ketiga ialah wajib jika keberadaannya memberikan kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam, atau jika kepergiannya bisa menimbulkan sisi negatif (mafsadat); haram jika tidak khawatir keluar Islam, tetapi hanya melihat kemungkaran, sementara melihat ada negara alternatif yang kemungkarannya lebih kecil; mubah jika dua pertimbangan antara maslahat dan mafsadat itu sama; dan sunnah jika ada kepentingan dakwah sementara sudah ada orang lain yang telah memulai dakwah di negara itu.

Dari variasi pendapat yang kemudian dipilih oleh Yusuf al-Qaradhawi ialah pendapat yang ketiga, pertimbangan kemaslahatan dan kemafsadatan menjadi ukuran mutlak dalam penentuan hukum Islam. Maka wajib jika memang kita mendapat berkesempatan tinggal di negara non-muslim dan bisa membawa maslahat serta menghilangkan mafsadat.

Fiqih Aqalliyat ini mengandaikan lebih banyak mempertimbangan kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan. Dengan landasan tersebut, dalam fiqih aqalliyat adalah boleh memilih pemimpin non-muslim yakni dengan catatan apabila tidak ada calon pemimpin yang muslim dan juga kita harus memilih pemimpin yang terbaik di antara pilihan yang ada, yang paling sedikit cacat atau kejelekannya. Sebagai umat minoritas, masih sangat perlu untuk tetap berpartisipasi dalam kegiatan politik yakni agar eksistensi yang minoritas ini tetap ada. Dan dengan menyuarakan suara serta hak mereka akan bisa menghambat atau menghindari terpilihnya pemimpin yang akan merugikan keberadaan mereka di sana.

Mengenai keikutsertaan muslim minoritas dalam sistem pemerintahan negara non-muslim, dalam fiqih aqalliyat juga diperbolehkan.

Alasannya tentu dikarenakan kemaslahatan yang dapat diikhtiarkan. Dengan masuknya muslim dalam sistem pemerintahan, akan dapat memperbesar peraturan atau kebijakan yang menguntungkan muslim minoritas di negara tersebut.

Demikianlah, posisi fiqih aqalliyat, amat urgen dan musti terus dikuatkan dengan memperbanyak pendidikan cendekia muslim dan untuk kemaslahatannya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top