![08142d7f 11ed 4e1c 90a9 Fe00bbed62c8](https://alif.id/wp-content/uploads/2020/05/08142d7f-11ed-4e1c-90a9-fe00bbed62c8.jpg)
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya sama dengan di negara lainnya. Islam di negeri ini memiliki coraknya tersendiri dengan prototipe tasawuf. Banyak fakta sejarah yang menunjukkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam tasawuf (Islam yang berkarakter sufistik). Fakta bahwa sejak Islam masuk ke Nusantara telah terlihat unsur-unsur tasawuf yang mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat.
Bahkan tasawuf menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pengalaman keagamaan kaum muslimin di Indonesia, kenyataan itu terlihat dari maraknya gerakan tarekat yang berkembang di masyarakat. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama atau luas disebut syar’. Sedangkan anak jalan atau jalan kecil disebut thariq. Salah satu tarekat yang berkembang di masyarakat adalah tarekat Alawiyyah (Patmawati, 2019).
Sejarah Singkat Tarekat Alawiyyah
Tarekat ini dinisbatkan pertama kali pada Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad (Muhajir Ilallahi) bin Isa al-Alawi (datuk atau moyangnya kaum ‘Alawiyyin). Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah mengingat begitu besarnya pengaruh dan perannya dalam pengembangan ajaran tarekat ini.
Secara garis besar, tarekat ini dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau yang lebih dikenal sebagai saadah, kaum sayyid, atau habib yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dan merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadramaut Yaman. Tarekat ini sejatinya memiliki ke-khasan tersendiri, yakni dalam pengamalan wirid dan dzikirnya bagi para pengikutnya tidak ada keharusan bagi para murid untuk dibaiat terlebih dahulu (Badruzzaman, 2023).
Dalam ungkapan lain tarekat Alawiyyah, sebagaimana diungkapkan Azam Bahtiar dalam Youtube Noura Publishing yang membedah buku, “Menemukan Kembali Tarekat Alawiyyah”, mengatakan bahwa, “Ke-khasan tarekat Alawiyyah adalah hilangnya identitas ketarekatan dalam arti menghilangkan simbol-simbol ketarekatan dan yang ditekankan adalah pendalaman ilmu-ilmu agama kemudian mengamalkannya. Selain itu, tarekat Alawiyyin mengajarkan bahwa ilmu dan amal itu menjadi satu. Sehingga siapapun bisa mengamalkannya”.
Selain itu, inti tarekat Alawiyyah, menurut Quraish Shihab adalah ajaran al-Asy’ariyah dalam bidang akidah, ajaran Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah dalam bidang fikih, dan pandangan al-Ghazali, khususnya dalam bidang akhlak. Sedangkan praktiknya adalah upaya keras disertai rasa sungguh-sungguh dalam menjalankan syariat dengan konsistensi ditopang zikir dan wirid yang sederhana. Sementara, menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad tarekat Alawiyyah termasuk kategori thariqah ash-hab al-yamin (jalan bagi golongan kanan), atau tarekatnya orang yang selalu menghabiskan waktunya untuk ingat dan taat kepada Allah Swt (Muvid, 2020).
Habib Zain Alaydrus, Guru Bachiet, dan Tarekat Alawiyyah di Kalimantan Selatan
Menurut beberapa sumber, tarekat Alawiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan disebarkan oleh, Habib Zain Alaydrus yang berasal dari Surabaya. Ajaran tarekat Alawiyyah yang dibawa oleh Habib Zain ini merupakan perpaduan amalan dan ajaran dari berbagai macam tarekat yang berkembang di Indonesia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tersebar luas di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Persebaran tarekat yang begitu luas tidak bisa dilepaskan dari murid Habib Zain sendiri, yakni K.H. Bachiet. Pada tahun 1993, Guru Bachiet dikirim oleh orang tuanya ke Surabaya untuk berguru ilmu tarekat dengan Habib Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus. Setelah mendapatkan ilmu, Guru Bachiet diberi izin untuk memperkenalkan tarekat Alawiyyah. Setelah kembali Guru Bachiet mulai memperkenalkan tarekat Alawiyyah pada 14 Juni 1994 sekaligus memainkan peran penting dalam usaha mendekatkan para pengikut atau jamaahnya kepada pelaksanaan syariat dan sekaligus bertasawuf (Hakim, 2011).
Untuk memahami ajaran tarekat Alawiyyah yang diperkenalkan Guru Bachiet. Pertama, Guru Bachiet menekankan pada tasawuf akhlaki, yakni moral yang mulia, menjaga amal, perkataan, dan niat agar bersih atau islah as-sarirah (pembenahan atau pembersihan batin). Bagi Guru Bachiet islah as-sarirah diwujudkan dalam praktik keseharian, khususnya saat pengajian, para jamaah dianjurkan memakai serba putih sebagai pendidikan rohani sekaligus simbol bersih lahir dan batin dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Swt (Sulaiman).
Kedua, sebagai upaya penting dalam pendidikan rohani adalah dengan pemberian amalan-amalan kepada murid yang disebut wirid. Pada tarekat Alawiyyah di Kalimantan Selatan atau di Kabupaten Hulu Sungai Tengah terdapat wirid yang harus diamalkan, yakni wirid Al-Haddad dan wirid Habib Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus. Dalam melakukan wirid ada adab yang harus diperhatikan, yakni niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, berpakaian putih, duduk tenang, dan memakai harum-haruman. Selain itu, ada beberapa kitab yang diajarkan kepada para jamaah karya Guru Bachiet, yang berjudul, “Nurul Muhibbin fi Tarjamah Thariqat al-Arifin min Sadatina al-Awaliyyin”, kitab yang membahas ajaran wirid. Dan kitab berjudul, “Ampunan Tuhan (Bagi Orang yang Tobat dari Dosa dan Kesalahan) (Hakim, 2011). Demikianlah perkembangan tarekat Alawiyyah yang berkembang, khususnya di Kalimantan, sebagai bagian pengembangan pendidikan karakter untuk membentuk masyarakat yang berakhlak baik dan mulia.
Bahan bacaan:
Patmawati. (2019). Sejarah dan Eksistensi Tasawuf di Kalimantan Barat. Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Badruzzaman, Y. I. (2023). Tasawuf Dalam Dimensi (Definisi, Doktrin, Sejarah, dan Dinamika Keutamaan). zakimu.com.
Muvid, M. B. (2020). Tasawuf Kontemporer. Jakarta: AMZAH.
Hakim, A. (2011). Tarekat ‘Alawiyyah di Kalimantan Selatan: Sebuah Telaah Unsur Neo-Sufisme dalam Tarekat). Al-Banjari.
Sulaiman. (t.thn.). Pemikiran Tasawuf Guru Bakhiet (Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber). Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.