Di roman kita seringkali menjumpai beragam cerita. Cerita suka-duka, peristiwa tragedi sampai kisah percintaan. Sekian roman menumpuk di berbagai kepustakaan. Roman dan Novel merupakan barang yang sama. Angkatan Balai Pustaka sampai Pujangga Baru menyebutnya dengan Roman. Sedangkan Angkatan 45 sampai saat ini menyebutnya dengan novel. Perdebatan istilah sejatinya tak menjadi arti. Kita malah lebih gandrung dengan pelbagai kisah di roman-roman itu.
Kini, dihadapan kita tersaji sebuah Roman Picisan. Berjudul Setan Van Oyot, Garapan Djokoleleno (2019). Sesuai labelnya (roman picisan), imajinasi awal tentang roman ini akan penuh dengan drama kisah percintaan. Namun, setelah terbaca. Kita akan sedikit merenung dan berfikir. Di roman itu, kita mendapati lanskap kesejarahan dibalut peristiwa, kisah cinta maupun tragedi.
Mula-mula, roman itu mengajak para pembaca untuk mengakrabi latar tempat dari cerita di roman itu. Di halaman awal setelah daftar pustaka. Pembaca akan disuguhi peta tanpa skala tentang Desa Beru, Wlingi, Kabupaten Blitar. Sebelum masuk ke cerita agaknya Djokolelono ingin memantik imajinasi liar para pembaca. Peta itu terbaca dengan keterangan sederhana. Terdapat Pabrik Gula, Kantor Pos, Stasiun, Kantor Bank, Kamar Bola (semacam gedung serba guna) dan Giethoorn (nama perkebunan cokelat).
Cerita demi cerita disuguhkan di tiap lembar halaman. Dengan latar satu tempat. Daerah bernama Wlingi. Kini, daerah itu menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Blitar. Sebuah kota kecil dengan beragam kompleksitas kehidupan masyarakatnya. Meskipun terbilang kota kecil. Djokolelono tak kehabisan akal meramu kisah di roman ini. Kita dibuat takjub, betapa romantisme percintaan dibalut tragedi berlanskap sejarah mampu tercipta disini.
Roman itu diawali dengan kisah akan diselenggarakannya pesta perayaan ulang tahun Ratu Belanda (verjaardag). Desas desus yang beredar kegiatan ini bakal dirayakan besar-besaran bahkan jadi pesta perayaan terbesar di Jawa Timur. Perayaan ini diketuai oleh Sinder (pengawas) Pabrik Gula Kemuning, Raden Mas Hadiprayitno, pria itu akrab disapa Ndoro Sinder. Menurut informasinya pula, kegiatan ini juga disokong oleh lima Onderneming (perkebunan) besar di Blitar (hlm.5-6).
Arkian, tokoh-tokoh muncul dengan pelbagai pengisahan. Thijs Van Dijk, seorang pemuda asal negeri Belanda yang mencari ayahnya di Jawa. Zus Kesi, seorang pribumi cantik yang berambisi menjadi Mevrouw (nyonya) Belanda. Tosin, orang Madura yang lari akibat terlibat aksi pemogokan buruh di Surabaya. Ndoro Sinder, seorang priyayi, sinder di Pabrik Gula Kemuning yang mempunyai istri gemar berjudi. Ardjo Santosa, seorang agen detektif partikelir yang misterius. Tatit Ing Nio, seorang Tionghoa pewaris perkebunan cokelat. Dan sebuah pohon wingit yang disakralkan oleh penduduk setempat bernama Kiyai Oyot.
Kesemua tokoh saling terhubung di berbagai kisah dalam roman itu. Beragam cerita muncul mewarnai dinamika kehidupan keseharian rakyat jelata – bangsawan pribumi maupun pejabat kolonial di Wlingi. Meskipun terbilang kota kecil, kehidupan disini merupakan gambaran mikrokosmos lanskap masyarakat kolonial masa itu. Berikut dengan strata sosial, rasial dan struktur kebahasaan yang hierarkis. Walakin, warna-warna itulah yang sejatinya mampu menjadi lokomotif penggerak dalam setiap pengisahan di roman itu.
Kembali ke roman, pesta perayaaan (verjaardag) itu ternyata menyulut beragam peristiwa. Sedianya pesta itu bakal di gelar di seluruh halaman kamar bola ; sebuah gedung serba guna. Namun, atas perintah Ndoro Sinder, pohon keramat bernama Kiyai Oyot itu harus ditebang. Dengan dalih agar tidak mengganggu kebersihan kamar bola. Padahal itu cuma siasatnya saja agar ia dapat meraup untung dengan memeras Meneer Cornelis ; Direktur Pabrik Gula Kemuning. Tindakan picik lainnya juga ia lakukan. Ndoro Sinder mengumpulkan gadis-gadis cantik di daerah ini agar menarik perhatian tuannya itu. tindakan itu dimaksudkan agar Tuan Kontroler Kepala akan marah sebab mengetahui moral bejat bawahannya. Walhasil, Ndoro Sinder dapat menggantikan jabatan sebagai Direktur Pabrik (hlm.66).
Pak Kromo, seorang tukang jaga di kamar bola itu juga geram dengan sifat Ndoro Sinder itu. “Ya begitu itu kalau nggak pernah jadi ndoro terus jadi ndoro … pikirannya kacau. Suruh cari orang untuk menebang Kiyai Oyot tetapi juga memerintahkan secara rahasia agar pohon raksasa itu tidak segera tumbang, sampai nanti diperintahkan. Huh, ya yang untung juga rakyat kecil seperti dirinya” (hlm.150). Kebencian terhadap Ndoro Sinder sepertinya dipicu dengan disitanya meja Raffles ; meja gaya Inggris, pemberian tuan Hoofdkantor kepada Pak Kromo. Ia juga kesal, sebab baginya seorang priyayi yang notabene juga pribumi tak seharusnya berkuasa atas pribumi lain. Jabatan “Sinder”-nya itu juga diperoleh berkat peran Rama Wedana, ayah dari istrinya. Tanpanya, ia hanya menjadi priyayi rendahan nihil jabatan.
Letak Sejarah & Sastra
Berbagai kisah terajut di tiap alur cerita. Pengisahan tak melulu soal drama percintaan. Kita malah mendapati beragam lanskap kesejarahan di roman itu. Disitu kita mendapat imajinasi akan benda benda dengan nilai sejarah tinggi. Semacam, perkebunan gula dan cokelat, stasiun dengan trem dan lori keretanya juga kantor pos maupun kuda beratribut dokar atau sebuah kabriolet, gerakan pemberontakan buruh sampai dialog percakapan menggunakan bahasa asing (Belanda). Mafhum kiranya, di awal abad 20 benda-aktivitas tersebut merupakan sebuah hal yang lazim ditemui di zamannya.
Namun, sastra tetaplah sastra. Dan sejarah merupakan cabang keilmuan diluar sastra. Meskipun di sastra kita sering mendapati beragam lanskap sejarah. Akan tetapi, lanskap sejarah belum bisa dipastikan jadi sebuah fakta sejarah yang kredibel dan objektif. Urusan sejarah membuat kita sengaja untuk membuka buku berjudul Pengantar Ilmu Sejarah karya Kuntowijoyo (1995). Di buku itu, si Begawan sejarah itu berulang kali menjelaskan bahwa sejarah itu merupakan cabang ilmu tersendiri dan bukan bagian dari sastra. Menurutnya, setidaknya ada empat alasan fundamental yang menjadi pembeda antara sejarah dan sastra. Pertama, cara kerja, kedua, kebenaran, ketiga, hasil keseluruhan dan keempat, kesimpulan.
Di buku itu kita mengutip, “ Dari cara kerjanya, sastra adalah pekerjaan imajinasi yang lahir dari kehidupan sebagaimana dimengerti oleh pengarangnya. Dengan kata lain, pengarang akan bersikap subjektif dan tidak ada yang mengikatnya. Kebebasan bagi pengarang demikian besarnya sehingga ia berhak membangun sendiri dunianya. Dalam kesimpulan, bisa saja sastra justru berakhir dengan sebuah pertanyaan. hal yang tidak bisa dilakukan oleh sejarah”.
Dengan tegas si Begawan sejarah itu menolak cerita di sastra termasuk dalam fakta sejarah. Bahwa sejarah harus mampu memberi informasi dengan lengkap, tuntas, jelas dan runtut dimensi temporal dan spasialnya, adalah hal yang sukar dilakukan oleh sastra. Sekali lagi kita mengutip, “ Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. Faktor yang mengikat sejarawan ialah fakta sejarah. Ibarat seorang dalang, taruhlah wayang sebagai fakta dan lakon sebagai tema yang dipilih sejarawan”. Sejarawan dapat menulis apapun asalkan sesuai kaidah tersebut.
Namun, dapatlah kita nukil sebagian pengisahan di roman itu. Seperti perkebunan cokelat milik Tatit Ing Nio, seorang keturunan Tionghoa yang sukses mengelola usaha keluarganya itu. M.C Ricklefs (1991) dalam Sejarah Indonesia Modern, cetakan Gajah Mada University Press, menjelaskan bahwa setelah kebijakan Cultuurstelse (tanam paksa) memicu berbagai polemik di parlemen Kerajaan Belanda dan pada akhirnya dihapuskan (bertahap). Terbitlah sebuah Undang-Undang Agraria tahun 1870. Konon, peraturan itu membuka peluang bagi pihak swasta datang di Jawa. Mereka diperkenankan membuka perkebunan disini namun dengan batas waktu maksimal tujuh puluh lima tahun. Dengan begitu perkebunan swasta semakin menjamur di Jawa maupun luar Jawa. Pihak swasta ini terdiri dari warga Eropa yang tinggal Hindia maupun orang-orang Timur Asing (Jepang,Cina).
Adalah wajar apabila keluarga Tatit Ing Nio mempunyai tanah perkebunan di Jawa. Ricklefs sudah menjelaskan bahwa orang swasta (Cina) juga berperan dalam geliat perkebunan masa kolonial. Agaknya, hal ini merupakan fakta yang sukar dipungkiri.
Sekilas, roman ini memang kedapatan menyimpan banyak lanskap kesejarahan walaupun masih belum memenuhi kriteria sebagai sebuah fakta sejarah. Kita diajak terus berfikir soal itu. Kini, narasi sejarah sering kita jumpai di buku-buku tebal hasil penelitian ilmiah maupun bertebaran di jurnal ber-reputasi wahid. Namun, kita sering terlena. Terlampau enggan membuka halaman tiap halaman bahkan malas merampungkan bacaan di buku tebal itu. Walhasil, narasi sejarah jadi asing nan jauh dari pembaca.
Naga-naganya, ini yang dibaca oleh Djokolelono. Ia ingin menyajikan sebuah cerita dengan lanskap kesejarahan dengan pamrih memantik etos membaca maupun membuka gerbang cakrawala selanjutnya. Dengan gaya kepenulisan naratif dan ringan. Pembaca akan hanyut dalam tiap alur cerita ketika membaca sastra. Gairah melahap isi buku itu jadi mencuat.
Apalagi di era kiwari, aktivitas membaca buku nampak menjadi fenomena yang tabu. Orang-orang malah lebih asyik dengan gawai mereka, entah bermain game online maupun memainkan beragam jenama aplikasi di media sosial. Agaknya, roman ini bagai senjata mangkus dalam menyiasati perkembangan zaman yang pesat ini.
Pungkasan, sejatinya Djokolelono tak ingin berseteru dengan Kuntowijoyo maupun meminta pengakuan dari M.C Ricklefs. Karya ini semata-mata sebagai bacaan alternatif maupun memantik minat literer masyarakat.