Sedang Membaca
Gaya Komunikasi Mafhum Mukhalafah Gus Dur
Dodo Widarda
Penulis Kolom

Dosen filsafat serta Direktur Iranian Corner di Fak. Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Gaya Komunikasi Mafhum Mukhalafah Gus Dur

Pada suatu hari di akhir tahun 1996, saya dikasih tahu  Kang Darun Setiadi, salah seorang pembina kami di Lembaga Pers Suara Kampus (SUAKA) IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kang Darun ini adalah menantu dari KH. Fachruddin Masturo di Pondok Pesantren Al-Masturiyah, suami dari Ibu Nanih Mahendrawati, serta sama-sama mengajar di almamater kami.

“Eh, Do, ada presiden umat Islam Indonesia tuh, besok di Al-Masturiyah, wawancara ya,”demikian kata Kang Darun.

“Siapa Kang?” Tentu saja saya sangat penasaran.

“KH. Abdurrahman Wahid. Gus Dur.”

“Siap, Kang. Saya akan ke Sukabumi.”

Saat-saat menjadi aktivis pers kampus, memang saya orang yang terbiasa nekad untuk mengejar-ngejar sumber berita. Apalagi ada kesempatan untuk bisa mewawancarai Gus Dur. Seseorang yang dalam posisi sangat jauh saya memandangnya saat itu, adalah sosok ultra jenius yang mengagumkan. Saya tidak tawar-menawar lagi saat itu. Malam hari, setelah isya, saya berangkat ke Sukabumi. Pada posisi saya sebagai pemimpin redaksi saat itu, saya tidak peduli walau harus harus datang dini hari ke terminal Sukabumi, serta sempat memejamkan mata sesaat di terminal sampai waktu adzan subuh tiba.

Semangat saya sedemikian menggelegak saat itu. Apalagi pada jam 08.00 pagi, saya sempat mendengarkan Gus Dur berceramah serta membuat aula Pondok Pesantren Al-Masturiyah seperti terpesona dengan kata-katanya yang memukau. Pada kurang lebih jam sembilan, Gus Dur menyudahi ceramah, serta turun panggung. Setelah obrol-obrol dengan mustamiin yang hadir, dengan digandeng oleh seseorang, Gus Dur keluar dari aula serta membuat debar jantung saya terpacu lebih cepat. Saya tidak boleh gagal mewawancarai. Saya cepat-cepat mengikuti langkah-langkahnya menuju sebuah mobil.

Baca juga:  Ummu Ri’lah Al-Qusyairiyah: Sahabat Nabi yang Pandai Diplomasi Hak Perempuan

“Gus, saya izin untuk wawancara,”kata saya, yang sangat takut untuk kehilangan saat-saat sangat berharga tesebut. Tanpa menunggu jawaban dari Gus Dur, ketika beliau sudah duduk di samping sopir, sebelum pintu mobil tertutup, saya cepat-cepat mengambil tempat duduk persis di belakang beliau. “Gus, saya dari SUAKA IAIN Sunan Gunung Djati, izin untuk wawancara.” Gus Dur saat itu membalikkan badan. Saya baru menyadari, betapa kharismatiknya beliau, seperti ada sebuah energi yang tidak terduga yang menghunjam ulu hati saya saat itu. Saya tidak pernah merasakannya seperti saat mwawancarai Cak Nur, Emha, atau Pak Amin Rais sekalipun.

“Anda dari mana?”

“Dari Sumedang Gus.”

“Lha, itu dari Sumedang,”kata Gus Dur sembari memberi isyarat dengan sudut matanya kapada seseorang yang duduk di pinggir saya,”Putra Mama Syatibi.” Saya juga baru menyadari, bahwa di pingir saya saat itu duduk Mang Ukun, putra bungsu KH. Muhammad Syatibi, ulama kharismatik Sumedang yang sudah meninggal pada tahun 1980-an. Mang Ukun ini adalah paman dari Pak Donny Ahmad Munir, yang sekarang menjadi bupati Sumedang. Suasana kemudian menjadi cair serta akrab karena saya dengan Mang Ukun ini sudah saling mengenal dengan baik. Sebelum wawancara Gus Dur juga bercerita bahwa Mama Syatibi, adalah guru beliau dalam hal-ihwal fiqh.

Mafhum Mukhalafah

                Pada salah satu bagian dari wawancara saya, saya bermaksud mengkonfirmasi ungkapan Gus Dur yang sudah dilansir di berbagai media “Akan sangat berbahaya kalau Pak Harto tidak naik lagi sebagai presiden.” Maklum saja, situasi akhir tahun 1996, sudah mendekati saat-saat pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 1997. Berbagai media nasional telah melansir pernyataan Gus Dur. Dalam pandangan sederhana saya saat itu, pernyataan Gus Dur yang sangat kritis terhadap berbagai kebijakan Orde Baru, adalah sebagai upaya negosiasi agar berbagai tekanan terhadap dirinya, NU, serta Megawati dari pemerintah menjadi lebih lunak. Pada saat saya melakukan wawancara di tahun 1996 itu, Gus Dur juga dilarang masuk IAIN. Jadi, saya mewawancarai Gus Dur juga berada dalam situasi gawat secara politik.

Baca juga:  Upaya Menjadi Manusia Santun

“Saya bermaksud mengkorfirmasi ungkapan Gus Dur yang sudah dilansir berbagai media massa. “Akan sangat berbahaya, kalau Pak Harto tidak naik lagi sebagai presiden,”ungkap saya yang membuat kemarahan Gus Dur tiba-tiba saja meledak.

Gus Dur yang duduk di depan membalikkan lagi tubuhnya ke arah saya. “Anda mahasiswa IAIN, tahu mafhum mukhalafah, nggak?”katanya dengan nada yang tinggi. Saya benar-benar tersentak dengan kemarahan Gus Dur saat itu. Pikiran saya saat itu masih terlalu sederhana untuk memahami tata tersirat di balik yang tersurat. Atau untuk bisa menangkap maksud Gus Dur yang sesungguhnya.

“Akan sangat berbahaya kalau Pak Harto tidak naik lagi sebagai presiden. Maksud saya, lebih berbahaya lagi kalau dia naik lagi sebagai presiden,”demikian ungkap Gus Dur dengan nada yang tetap tinggi.

Barangkali inilah rahasia Gus Dur sehingga dengan pola komunikasi tingkat tinggi dengan mendasarkan diri pada kaidah ushul fiqh, orang sangat susah untuk bisa menebak jalan pemikirannya. Super misterius. Saya memang mengenal mafhum mukhalafah di dalam kaidah ushul fiqh, mencari ‘implikasi kebalikan’ dari makna sebuah teks, kurang lebih. Tetapi ketika seseorang itu, dengan pola kemunikasi sangat canggih mempergunakannya untuk menyampaikan ungkapan politik, saya yakin, hanya Gus Dur yang memiliki kepiawaian untuk bisa melakukannya. Setelah wawancara itulah, saya mulai menyelami sekian banyak hal dari pemikiran Gus Dur sekaligus membaca kemungkinan untuk memberi tafsir atas ungkapan-ungkapannya, yang berada di luar ‘mainstream’ cara berkomunikasi kebanyakan orang. Mencari makna tersembunyi dari apa yang tampak di permukaan.

Baca juga:  Mengapa Alquran Mengizinkan Perang dan Kekerasan?

Penutup

Pada satu situasi politik yang membuat Gus Dur begitu ketat diawasi pemerintah saat itu, saya tentu saja sangat berbahagia bisa mewawancarai beliau. Rekan pejuang pers kampus di SUAKA saat itu, Iip Dzulkipli Yahya sampai berkomentar,“Wah berani Dodo mewawancarai Gus Dur. Kalau saya sih terlalu hormat. Jadinya malah takut, Gus Dur itu wali.” Saya membatin,”Emang terlarang wartawan Pers Kampus untuk mewawancarai seorang wali.” Atas ketekunan Kang Iip yang melengkapi hasil wawancara dengan liku-liku perjalanan spiritual Gus Dur serta mengeditnya sedemikian rapih, tentu atas suport seluruh awak SUAKA saat itu, akhirnya hasil wawancara berhasil diterbitkan di SUAKA.

Ketika menuliskan pengalaman ini, saya teringat ungkapan Kang Darun untuk Gus Dur yang dikatakannya sebagai “Presiden Umat Islam Indonesia”. Visioner betul ungkapannya saat itu, karena pada tahun pada 20 Oktober 1999 nyata-nyata menjadi Presiden Indonesia, sebuah negeri dengan mayoritas berpenduduk muslim ini.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top