Sedang Membaca
Zoom 100: Bucket List Of The Dead, Sabda atau Kutukan Mengerikan?
Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Zoom 100: Bucket List Of The Dead, Sabda atau Kutukan Mengerikan?

Zoom 100

Salah satu hal paling menyebalkan dan tentu saja berbahaya dalam hidup adalah ketika kita merasa bahwa di sekitar kita ada orang yang kita anggap mempunyai power lebih tinggi dari kita dan orang tersebut suka nyinyir kepada seseorang, dan kita mati-matian berusaha supaya tidak dinyinyiri orang tersebut. Yang saya maksud sebagai power itu macam-macam bentuknya. Bisa karena lebih kaya dari kita. Bisa karena lebih tua dari kita. Bisa karena lebih vokal dari kita. Atau bisa karena lebih percaya diri dari kita.

Yang sudah pasti dikatakan orang yang kita anggap punya power lebih dan suka nyinyir tersebut mayoritas adalah asumsi atas hidup orang lain. Tetapi orang yang mendengar jadi percaya bahwa omongan orang tersebut bukan sekadar asumsi karena kita merasa orang tersebut kita anggap mempunyai power yang lebih.

Keyakinan kita atas power orang tersebut–walaupun jika dipikir secara jernih orang tersebut sebenarnya tak se-powerfull-itu–membuat kata-kata yang keluar dari mulut orang tersebut tak sekadar kata-kata. Bisa jadi kita menganggapnya setengah sabda, atau malah kita menganggap sebagai kutukan mengerikan yang pasti terwujud.

Kalau kita menyadari hal semacam itu di dalam hidup dan kita punya celah untuk menghindari orang-orang semacam itu, saya kira menghindarinya adalah hal terbaik. Tetapi kalau kita terasa tak punya celah untuk menghindarinya, berlatih menghadapi orang semacam itu justru lebih baik. Karena kemampuan itu akan berguna tidak sekadar untuk menghadapi orang tersebut, tetapi juga menghadapi orang lain dengan karakter serupa di tempat lain.

Baca juga:  Gus Dur yang Slenge'an

Dalam anime Zoom 100: Bucket List Of The Dead, tokoh utama yang bernama Akira sangat bahagia ketika dunia tempat ia tinggal mewabah virus zombie. Kebahagiaan itu muncul karena semua lini kehidupan lumpuh. Karena semua lini kehidupan lumpuh ia tak bekerja lagi di sebuah perusahaan eksploitatif. Dalam sebuah episode, suatu ketika Akira bertemu mantan bosnya. Baginya bos itu sangat mengerikan. Dulu si bos tersebutlah yang memaksanya bekerja tanpa kenal waktu.

Dalam dunia yang dipenuhi zombie tersebut si mantan bos bisa merekrut banyak orang untuk mempertahankan diri dari para zombie. Sebagaimana kebiasaannya dulu, si mantan bos memanfaatkan orang supaya bisa disuruh-suruh demi kenyamanannya sendiri. Akira, yang benar-benar trauma dengan si mantan bos bisa dibujuk begitu saja untuk disuruh-suruh seenaknya seperti dulu ketika ia bekerja di perusahaan eksploitatif tersebut. Awalnya memang motif Akira mau bergabung dengan si mantan bos karena mantan bos mau merawat temannya yang sebelumnya sengaja dicelakai oleh si mantan bos dalam sebuah perjumpaan tak terduga. Tetapi ketika berhadapan dengan si mantan bos Akira seperti kena gendam. Dan menjadi penurut begitu saja kepada si mantan bos.

Akira adalah representasi dari siapa pun yang merasa tak terlalu punya power dalam hidup. Dan mantan bos adalah representasi orang yang kita anggap punya power dan asumsinya dianggap setengah sabda atau kutukan mengerikan.

Baca juga:  Lewat Novel, Pram Memberi Wejangan Menulis

Di kalangan masyarakat Indonesia hal semacam itu dianggap biasa saja. Bahkan menjadi bagian tak terpisahkan yang membentuk karakter masyarakat Indonesia itu sendiri. Maka tidak heran jika Mochtar Lubis secara sinis mengatakan bahwa 5 dari 6 karakter orang Indonesia itu negatif: munafik atau hipokrit, enggan dan segan bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya takhayul, berkarakter lemah.

Netizen Indonesia adalah representasi yang lebih luas dari kondisi masyarakat Indonesia yang menyedihkan itu. Coba cek saja di sosial-sosial media, utamanya di X (dulu twitter) betapa netizen begitu ngotot terhadap suatu hal yang sumbernya adalah asumsi-asumsi. Kolom-kolom komentar di sebuah postingan ramai ada saja yang mengisinya dengan debat kusir. Belum lagi berita-berita yang selalu saja mengambil sudut pandang negatif, bahkan ketika berita tersebut sangat positif.

Misalnya, Putri Ariani, penyanyi Indonesia mengikuti ajang pencarian bakat America’s Got Talent. Dalam ajang pencarian bakat tersebut Putri Ariani mencapai peringkat 4. Bagaimana cara media-media Indonesia memberitakan? Banyak yang mengambil sudut pandang negative alih-alih positif. Sehingga muncul judul-judul yang bikin jengkel seperti “Putri Ariani Gagal Juara AGT 2023”. Seakan-akan usaha yang dilakukan Putri Ariani hasilnya buruk dan tak pantas dihargai. Padahal bisa saja mengambil sudut pandang lain yang positif, misalnya “Juara 4 AGT: Putri Ariani Mengharumkan Nama Indonesia”.

Baca juga:  Merle Calvin Ricklef, Islam Jawa, dan Manuskrip Pegon

Kita semua tahu ajang America’s Got Talent ajang internasional yang bahkan untuk mencapai posisi 4 besar tidak mudah. Oleh karenanya bukankah lebih baik media mengambil sudut pandang positif untuk mengapresiasi Putri Ariani yang mencapai posisi 4 besar tersebut?

Pada akhirnya Akira sadar bahwa kata-kata mantan bosnya tak perlu dituruti. Ia membantah si mantan bos dan meninggalkannya begitu saja. Ia akhirnya bebas dari trauma karena bekerja di perusahaan eksploitatif itu. Kita, jika mengalami posisi seperti Akira sudah barang tentu harus mengikuti langkah Akira. Karena tak ada manusia yang boleh mengeksploitasi manusia lain.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top