Sedang Membaca
Yang Harus Diperhatikan dalam Mendirikan Pesantren Anak-Anak
Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Yang Harus Diperhatikan dalam Mendirikan Pesantren Anak-Anak

anak anak masjid

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang mendirikan pondok pesantren. Itu bukan karena semata – mata ingin saja. Keinginan muncul karena ada kesempatan. Beberapa di antaranya, semakin banyak masyarakat yang ingin mendidik anaknya dalam hal agama, tapi orang tuanya tidak mampu, akhirnya dimasukkan ke pondok pesantren.

Selain itu, di daerah tertentu belum ada pondok pesantren. Jika didirikan pondok pesantren kemungkinan bisa “laku” dan bisa membantu kemajuan–termasuk bidang ekonomi–di daerah tersebut. 

Salah satu jenis pondok pesantren yang ada dan banyak didirikan saat ini adalah pondok pesantren anak-anak. Santrinya usia SD/MI.

Dalam pendirian pondok pesantren anak-anak, ada yang berhasil, ada yang kurang berhasil. Yang berhasil dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada santri-santri di pondok pesantren tersebut. Sehingga apa yang dicapai santri pun maksimal. Yang kurang berhasil adalah kebalikannya. Pelayanann kurang maksimal. Sehingga apa yang dicapai santri tidak maksimal. Misalnya, masuk pondok pesantren tetapi bacaan sholat saja tidak lancar. 

Perihal jumlah santri saya kira tidak bisa dijadikan indikator berhasilnya sebuah pondok pesantren. Maka, saya tidak memakai sedikit-banyaknya santri sebagai tolok ukur keberhasilan. Karena ada juga pondok pesantren tertentu yang membatasi jumlah santrinya. Karena berbagai faktor. 

Hal penting yang harus diperhatikan pada pondok pesantren anak-anak adalah jenis kepengasuhannya berbeda dengan pondok pesantren yang bukan berfokus pada anak-anak. Kita tahu, anak usia SD/MI tingkat mumayyiz-nya berbeda dengan manusia remaja atau dewasa. Anak-anak lebih banyak menuruti mood daripada nalar. 

Baca juga:  Obituari Gus Zaki Hadziq: Hadratul Gus, Tongkat, dan Sorban KH. Hasyim Asy'ari

Di rumah, ada orang tua yang bisa mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengontrol anak supaya tidak terjadi perilaku yang berlebihan dan merugikan orang lain. Itu diupayakan dengan cara yang membuat anak kerasan di pondok pesantren. Bukan dengan cara-cara yang membuat anak kesal atau berontak. Di pondok pesantren anak – anak, seyogyanya seorang pembimbing atau ustadz bisa menggantikan posisi orang tua. 

Itu memang berat. Karena hal-hal detail seperti mengingatkan supaya tidak memakai sergam sekolah untuk gulung-gulung di lantai atau tanah itu cukup merepotkan. Tetapi, pembimbing mau tidak mau harus melakukannya. Karena mereka ini, para santri adalah anak – anak. 

Selain tentang sadar tentang jenis kepengasuhan yang berbeda penyelenggara pondok pesantren anak-anak harus bekerja keras dalam urusan kebersihan. Tentang kebersihan Ini juga cukup merepotkan. Orang dewasa saja (khususnya di Indonesia) kesadaran tentang menjaga kebersihan masih sangat kurang. Kita lihat seberapa banyak orang di dalam mobil membuang sampah seenaknya di jalan-jalan ketika melakukan perjalanan. Atau kita lihat seberapa besar orang dusun yang tinggal di pinggir sungai punya kesadaran untuk tidak membuang sampah di sungai.

Di pondok pesantren anak – anak, harus disediakan petugas kebersihan yang tidak pemalas. Sambil para pembimbing atau ustadznya terus berusaha membentuk kesadaran pentingnya menjaga kebersihan bagi para santrinya. 

Baca juga:  Gus Dur: Tradisi Pengetahuan dan Kemanusiaan Pesantren

Terakhir adalah target mengaji harus tercapai. Kata target mungkin terlihat agak ambisius, tetapi bagaimana pun orangtua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren ingin anaknya lebih mumpuni dalam hal agama dibandingkan anak – anak lain yang tidak masuk pondok pesantren. 

Target ngaji ini secara luas. Mulai dari hal-hal paling mendasar seperti akhlak, ritual ibadah sampai program khusus yang diberikan pondok pesantren kepada santri. Misalnya, jika program khususnya adalah tahfidz, maka tahfidznya harus tercapai. Perihal kemampuan santri yang memang tidak bisa dipaksakan itu urusan lain. Yang penting pihak pondok pesantren harus berusaha secara maksimal. Kalau sudah usaha secara maksimal kok tidak bisa, dikomunikasikan dengan wali santri. Wali santri diberi pengertian sebaik mungkin tentang keadaan putra atau putrinya. 

Dan untuk anak-anak, yang mood-moodan itu, mengupayakan hal ini tidak semudah mengupayakannya kepada orang dewasa yang bisa menekan mood dan menggunakan nalar. 

Yang tidak kalah pentingnya, berkaitan dengan pengelolaan, pihak penyelenggara pondok pesantren anak-anak (bisa juga untuk semua jenis pondok pesantren) harus membuat manajemen yang baik. Ada struktur dan tugas-tugas yang jelas dan terukur.

Pengelola digaji dengan gaji yang layak untuk hidup. Jangan sampai pihak penyelenggara sekadar menjalankannya dengan prinsip “asal jalan (tidak ada organisasi yang kuat dan pengelolanya tidak diberi haknya dengan layak)” dengan menggunakan dalih “barokah e pondok pesanten” atau “barokah e kyai”. Barokah ya barokah, untuk prosesnya tetap harus diupayakan secara maksimal. 

Baca juga:  Timur Tengah dalam Sastra Indonesia: Menimbang Kontribusi Fudoli Zaini (1/2)

Sayangnya, tidak semua pondok pesantren tidak mengupayakan hal – hal penting semacam itu. Mereka bersembunyi dibalik kata “barokah” sebagaimana yang sudah saya jelaskan tersebut. Percayalah, saya pernah mengalaminya. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top