Sedang Membaca
Merdeka, Demokrasi, dan Kritik
Dani Ismantoko
Penulis Kolom

Guru dan tinggal di Panjangrejo, Pundong, Bantul.

Merdeka, Demokrasi, dan Kritik

Demokrasi dan merdeka saling terkait satu sama lain. Tanpa kemerdekaan, demokrasi tak akan terwujud. Tanpa demokrasi, orang tak benar-benar merdeka. 

Dalam dunia yang merdeka dan demokratis perbedaan pendapat tak bisa dihindari. Artinya di dalamnya ada mekanisme memunculkan dan mewujudkan ide sekaligus mengkritiknya.

Masyarakat Indonesia entah karena luka batin yang mendalam karena penjajahan atau sudah terlampau lama terbiasa dengan pemerintahan yang otoriter tak disadari belum sepenuhnya sadar bahwa mereka merdeka, bahwa mereka hidup di sebuah masyarakat yang demokratis. Yang artinya munculnya kritik adalah sebuah keniscayaan.

Oleh karenanya tak jarang seorang pejabat publik ketika dikritik malah bilang, “kalau ngritik kasih solusi!” Padahal jelas, mereka dibayar untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Dan rakyat sebagai pihak yang memberikan amanah kepada mereka sudah seyogyanya menyampaikan kritik apabila ada pekerjaan mereka yang tidak beres.

Sebagai orang yang bekerja dalam bidang pendidikan di antara berbagai respon semacam itu dalam menghadapi kritikan yang menurut saya salah satu yang paling buruk adalah ketika guru-guru protes tentang gaji yang rendah malah direspon “kalau ingin kaya jangan jadi guru”.

Sebuah respon yang aneh bukan? Coba kita bedah. Pertama, respon tersebut menuduh bahwa guru-guru yang protes perihal gaji mengira orang-orang bekerja menjadi guru karena ingin kaya raya. Padahal tidak. Namun, kendati tidak ingin kaya raya adalah sebuah kewajaran jika guru ingin punya penghasilan yang layak supaya hidupnya sejahtera. Bisa memberikan nafkah yang cukup bagi diri dan keluarganya. Kaya raya dan sejahtera adalah dua hal yang berbeda. Kaya raya punya aset melebihi kebanyakan orang. Sejahtera adalah hidup yang cukup dan layak.

Baca juga:  Detektif, Puisi, dan Sartre

Sama dengan buruh pabrik, guru bekerja minimal 40 jam atau lebih sedikit dalam 1 minggu. Kalau 5 hari kerja, sehari kerja 8 jam. Kalau 6 hari kerja, kerja 6-7 jam sehari. Artinya hampir seluruh waktu produktifnya sudah dicurahkan untuk bekerja menjadi guru. Dalam kondisi tersebut wajar, bukan jika guru ingin punya penghasilan layak? Karena di luar kegiatan sebagai guru sudah sangat sedikit waktunya untuk menambah penghasilan. Kecuali manusia super yang tak punya rasa lelah.

Kedua, menganggap bahwa bekerja menjadi guru tak seharusnya suka protes. Lebih baik pasrah karena menjadi guru adalah pengabdian.

Anggapan kedua ini lebih lucu lagi. Banyak orang salah kaprah menafsirkan kata ikhlas. Ikhlas seringkali dianggap rela hidup dalam kondisi tidak layak. Padahal bukan seperti itu. Seorang guru mendapat penghasilan layak pun jika ia bersungguh-sungguh dalam bekerja sudah masuk dalam kategori ikhlas. Lagi pula penghasilan layak adalah timbal balik yang seharusnya didapat karena guru juga sudah mengorbankan banyak hal dalam hidupnya untuk menjalankan profesi tersebut.

Seharusnya para pejabat itu sadar dan berterima kasih ketika orang-orang masih mau protes. Karena munculnya protes adalah pertanda bahwa kondisi tidak baik-baik saja. Sehingga harus diperbaiki. Lagi munculnya protes bukan tanda kegagalan. Protes adalah sebuah rambu-rambu untuk mengevaluasi dan memperbaiki. Gagal adalah ketika ketidakberesan didiamkan.

Baca juga:  Teori Ushul Fiqih dalam Meminum Kopi

Sama halnya ketika orang mengalami hipertensi. Kepala pusing justru bagus. Karena dengan kepala pusing orang hipertensi bisa segera mengambil tindakan seperti konsultasi kepada dokter atau berobat. Kalau hipertensi tapi kepala tidak pusing justru itu yang berbahaya. Tak ada tanda-tanda atau pengingat yang mengingatkan dirinya untuk segera periksa ke dokter atau berobat.

Tak hanya perihal protes para guru tentang gaji rendah sebenarnya. Tetapi tentang berbagai hal. Seharusnya hal semacam itu disambut dengan baik. Karena dengan seperti itu ada harapan kondisi akan berubah dari yang sebelumnya kurang baik menjadi lebih baik.

Satu lagi anggapan yang keliru perihal kritik. Kritik seringkali diidentikkan dengan sikap tidak bersyukur. Pandangan ini harus diubah. Dalam sebuah kehidupan yang merdeka dan demokratis salah satu bentuk syukur adalah mengkritik. Karena dengan mengkritik berarti manusia peduli atas sesuatu yang tidak beres. Selain itu hal tersebut juga menunjukkan bahwa manusia menggunakan akal pikirannya dalam hal ini daya kritis untuk menganalisis permasalahan yang akhirnya menghasilkan kritikan. Sebaliknya, pihak-pihak yang tak mau menerima kritikanlah yang seharusnya disebut tak bersyukur. Karena mereka menafikan esensi dari merdeka dan demokrasi itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top