Sedang Membaca
Suara Lirih dari Teheran dan Elegi untuk Parnia Abbasi
Damhuri Muhammad
Penulis Kolom

Damhuri Muhammad, lahir di Padang, 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menulis fiksi, esai seni, kolom budaya di media-media nasional. Damhuri telah menulis 7 buku. Karya terkininya, Takhayul Milenial (nonfiksi, 2020). Kini ia berkhidmat sebagai pengajar filsafat di Fakutas Sastra Universitas Darma Persada, Jakarta.

Suara Lirih dari Teheran dan Elegi untuk Parnia Abbasi

Parnia Abbasi

“Kemarin, saya pergi ke kompleks bioskop Mellat bersama seorang teman yang sedang berkunjung dari Amerika Serikat. Mereka menayangkan film itu hanya untuk kami bertiga. Hari ini, beberapa lokasi di dekat bioskop dibom. Jika kami pergi hari ini dan bukan kemarin, kami mungkin termasuk di antara yang terluka atau bahkan tewas,” tulis Samira Nik Noroozi, pakar linguistik dan penerjemah asal Teheran pada sahabatnya Sana Nassari, penyair dan penerjemah asal Iran yang kini bermukim di London, sebagaimana ia kutip dalam esai pendeknya bertajuk “Artists and writers in Tehran face an uncertain future” (The Observer, 26 Juni 2025).

Nassari mendokumentasikan semacam rekaman “suara-suara dari dalam Iran” ketika langit Teheran digempur oleh serangan udara Israel dalam perang yang berlangsung sejak 13 Juni 2025 lalu. Ia menghimpun suara-suara itu melalui komunikasi tertulis dengan sejawat-sejawat sesama seniman dan penulis yang berada di Iran, terutama setelah jaringan internet di Teheran dan sekitarnya mulai stabil.

Salah satu cerita kecil yang ia ungkapkan adalah tentang perjalanan tergesa-gesa Negin Farhoud, penyair asal Khuzestan, bersama putranya yang masih kecil ke wilayah selatan Teheran guna menyelamatkan diri. Dari sana, Farhoud mengunggah sebuah foto balkon rumah warga di seberang tempat penampungan sementaranya. “Dulu saya hanya melirik balkon dan tali jemuran lalu melanjutkan hidup,” tulis Farhoud. “Sekarang saya menghitung pakaian wanita, pria, dan anak-anak yang tergantung di sana, dan mencoba menebak berapa banyak nyawa yang sedang menghirup ketakutan di dalam rumah itu,” tambahnya lagi. Nassari juga memeriksa feed Instagram sahabat-sahabat senimannya setelah pemerintah Iran memberlakukan pemadaman listrik secara nasional.

Baca juga:  Ulama Banjar (71): Guru Muhammad Nur

Ia mengungkap suasana emosional dari linimasa pribadi Babak Rashvand, seorang perupa Teheran. Pelukis itu mengunggah foto studionya yang tenang di utara Teheran. Tampak beberapa kanvasnya dibungkus plastik bergelembung, untuk melindunginya, betapapun sederhananya, dari apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Teks di bawah unggahan itu berbunyi: “Saat-saat terakhir di studio lukis. Saya tidak tahu apakah saya bisa kembali. Saya meninggalkan tempat ini dengan tetesan air mata.”

Lain cerita duka Farhoud dan Babak Rashvand, lain lagi ketakutan yang melanda Roxana Abasian. Penulis muda dan book blogger itu menulis: “Selama tiga hari pertama, saya ketakutan, marah, dan menangis. Perjumpaan dekat dengan kematian itu membangkitkan sesuatu yang mendalam bagi saya. Perang ini terasa seperti berkabung—berkabung untuk segalanya.” Mehraveh Ferdosi, penulis-jurnalis Iran menggambarkan saat ia membaca Second-hand Time karya Svetlana Alexievich di Teheran pada hari kesembilan perang.

Ia mengutip kalimat yang dikaitkannya dengan penulis Rusia abad 19, Alexander Grin: “Masa depan tidak lagi seperti dulu. Waktunya telah tiba.”  Lalu, ia menambahkan gambarannya sendiri: “Internet telah kembali selama satu jam, dan kota ini terasa seperti anak laki-laki kecil yang asyik bermain bola sendirian di depan pintu rumahnya, lalu bergegas masuk saat ia mendengar suara ledakan.” Pada hari ke-11 perang, Mehraveh kembali menulis; “Teheran yang biasanya berisik, terburu-buru, tak terhentikan, telah melambat menjadi versi dirinya yang paling tidak tergesa-gesa, dan terasa mencekam. Sebuah kalimat baru mendominasi bahasa sehari-hari kita;  lokasi mana lagi  yang mereka serang?”

Luapan rasa takut dan cemas akan ketakpastian masa datang  yang melanda sejumlah seniman Iran dalam kecamuk perang sebagaimana yang direkam oleh Sana Nassari itu, agaknya belum senaas petaka yang menimpa penyair muda Iran, Parnia Abbasi (2002-2025). Jumat, 13 Juni 2025, serangan udara Israel memporak-porandakan sebuah pemukiman sipil di wilayah Sattarkhan, Teheran. Parnia, kedua orangtuanya dan saudara laki-lakinya, Parham, tewas. Sebagaimana dilansir Washington Post (17 Juni 2025), beberapa saat setelah serangan itu, surat kabar Iran, Ham-Mihan, menyiarkan foto-foto reruntuhan gedung, di mana salah satu potongan gambarnya memperlihatkan beberapa helai rambut yang tergeletak di atas kasur merah muda yang berlumur darah. Seorang teman yang menyebut namanya Maryam mengatakan kepada surat kabar tersebut bahwa itu adalah tempat tidur Parnia Abbasi, sementara keluarga besar Abbasi sendiri tidak menanggapi permintaan wawancara.

Baca juga:  Ulama Banjar (103): H. Syafriansyah, BA

Di media sosial kemudian muncul spekulasi yang menduga-duga bahwa Parnia Abbasi adalah putri Fereydoon Abbasi, ilmuwan nuklir terkemuka Iran yang juga tewas dalam serangan Israel. Namun, spekulasi itu kemudian dibantah oleh teman-teman Parnia Abbasi sendiri, dengan menunjukkan bukti-bukti tertulis bahwa nama belakangnya yang lengkap adalah Abbasi-Arimi, dan berbeda dari ilmuwan nuklir tersebut. Ada pula yang mengklaim bahwa Parnia Abbasi telah menulis puisi untuk menghormati Qasem Soleimani, seorang jenderal dalam Korps Garda Revolusi Islam Iran yang tewas pada 2020. Namun, situs web pemeriksa fakta berbahasa Persia, Factnameh, juga menyangkal klaim tersebut.

Parnia Abbasi meninggal hanya dalam hitungan hari sebelum ulang tahunnya yang ke-24. Ayahnya, Parviz, pensiunan pegawai Kementerian Pendidikan. Sementara ibunya, Masoumeh, pensiunan pegawai bank yang merawat teman-teman anaknya seperti ia merawat anak-anaknya sendiri. “Adik laki-lakinya, Parham, manis dan banyak bicara. Parviz Abbasi mengunjungi ibunya yang sedang sakit setiap minggu di desa Arim di utara dan akan membawa pulang banyak sekali kotak jeruk yang dipetiknya sendiri,” kata Abedi, sahabat Parnia. Orang tua Abbasi menabung selama bertahun-tahun untuk membeli apartemen yang lebih besar, di mana setiap anak mereka akan memiliki kamar tidur sendiri. Mereka baru saja pindah ke tempat tinggal baru itu.

Baca juga:  122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (4): Mengusulkan Berdirinya SMP dan SMA

“Ia adalah segalanya,” kata Maryam pada surat kabar Ham-Mihan, sambil menahan tangis. “Seorang penyair, guru, anak perempuan. Ia baru saja lulus ujian masuk pascasarjana nasional di bidang manajemen, tetapi menunda pendaftaran untuk mempertahankan pekerjaannya di Bank Melli Iran.” Teman-teman Parnia juga bilang, almarhumah sangat menggemari karya-karya Nader Naderpour, tokoh penting gerakan Puisi Baru Iran.

Sana Nassari, dalam obituarinya Remembering Parnia Abbasi—tersiar di  Writer Mosaic (18 Juni 2025)—menerjemahkan salah satu karya Parnia Abbasi yang pernah tersiar di Vaz-e Donya Poetry Journal,  dengan judul A Fading Star.  Berikut satu penggalan terjemahan Inggris Sana Nassari yang kemudian disebarluaskan oleh para penyuka puisi di jagat maya; In a thousand places/I come to an end/I burn/I become a fading star/that in your sky/turns to smoke.  Demikian kiranya sinar cemerlang yang dipancarkan oleh Parnia Abbasi, penyair muda dari  tanah Persia, kini telah meredup, lalu mengabu bersama debu dari reruntuhan peradaban.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top