
“Salah satu ilmuwan terkemuka di bidang nuklir dan pertahanan negara kita, Dr. Mohsen Fakhrizadeh, telah menjadi martir oleh tentara bayaran yang brutal. Dengan upaya ilmiahnya yang hebat dan abadi, ia mengorbankan hidupnya di jalan Tuhan dan status martir yang agung adalah balasan ilahi baginya,” demikian terjemahan Bahasa Inggris dari pernyataan yang tertera di akun Twitter/X resmi Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Republik Islam Iran, tertanggal 28 November 2020.
Respons cepat itu muncul setelah serangan keji yang menewaskan Mohsen Fakhrizadeh (1958-2020) di jalan raya Absard, sekitar 68 km dari pusat kota Teheran. Menurut otoritas Iran waktu itu, Fakhrizadeh telah menjadi korban serangan dari organisasi teror bernama Mujahedin-e-Khalq, yang memfasilitasi pengaktifan peralatan elektronik untuk Israel. Peralatan itu dipasang di dalam sebuah mobil van, dan menargetkan Fakhrizadeh dengan dukungan teknologi kecerdasan buatan untuk mengidentifikasinya sebelum meledak.
Dalam laporan khusus yang disiarkan oleh lembaga investigasi independen dengan judul The Mohsen Fakhrizadeh Assassination Operation (27 November 2020—Absard, Iran), setidaknya ada tiga teori yang berkembang dalam kasus terbunuhnya Mohsen Fakhrizadeh. Pertama, sebuah kendaraan diledakkan di depan mobil Fakhrizadeh, sehingga memaksanya berhenti. Lalu, sekelompok kecil pria bersenjata—dua hingga tidak lebih dari enam orang—menembaki mobil itu. Serangan tersebut menewaskan fisikawan nuklir di tempat kejadian, atau melukainya hingga menyebabkan ia meninggal dalam perjalanan atau di rumah sakit setempat.
Laporan-laporan tentang teori ini menunjukkan bahwa pengawal dan sopirnya terluka atau juga tewas dalam insiden tersebut. Kedua, tim pembunuh dengan jumlah personil banyak, menyerang pasukan keamanan yang melindungi Fakhrizadeh. Elemen keamanan tersebut terdiri dari tiga mobil antipeluru dan mereka diserang di area bundaran. Sebuah bom truk diledakkan untuk menetralisir salah satu mobil dan baku tembak pun terjadi. Fakhrizadeh dikatakan diseret keluar dari mobil antipeluru oleh pemimpin para pembunuh dan ia dieksekusi di jalan.
Ketiga, operasi pembunuhan Fakhrizadeh menggunakan sistem senapan mesin kendali jarak jauh (atau bahkan otonom) dan terhubung dengan satelit yang ditempatkan di belakang truk pikap, menembaki kendaraan Fakhrizadeh (dan mungkin kendaraan lain dalam tim keamanannya) dalam operasi penyergapan, dan menewaskannya sendirian. Salah satu varian dari teori ini bahkan mengisahkan Fakhrizadeh keluar dari perlindungan mobil lapis bajanya untuk melihat mengapa konvoinya berhenti untuk menyelidiki kebisingan yang terjadi, kemudian ia ditembak mati.
Untuk menghilangkan bukti keterlibatan Israel dalam operasi tersebut, sebuah bom besar yang terletak di truk pikap kemudian diledakkan. Fakhrizadeh dimakamkan di sebuah kompleks pemakaman di kawasan Teheran, bersebelahan dengan makam ilmuwan nuklir lain yang menjadi korban pembunuhan Israel sejak tahun 2010.
“Ia tertarik pada ilmu nuklir sejak sekolah menengah. Ia pernah bercerita kepada saya bahwa ia tahu akan berkecimpung di bidang nuklir sejak awal pendidikan sekolah menengahnya,” ungkap putra Fakhrizadeh dalam sebuah wawancara dengan media Iran sebagaimana dikutip oleh Mona Hojat Ansari (2023) dalam Has Israel hindered Iran’s nuclear program with Fakhrizadeh’s assassination?
Putranya juga menambahkan bahwa ilmuwan nuklir yang disegani itu sering berhadapan dengan ancaman teroris, dengan upaya pertama untuk menghabisinya telah terjadi pada dua dekade sebelum kematiannya yang tragis pada November 2020 itu. Fakhrizadeh adalah tokoh penting dalam Korps Garda Revolusi Islam—kelahiran Qom, 1958—dengan pangkat Brigadir Jenderal.
Ia mulai menimba pengetahuan fisika di Universitas Shahid Beheshti, dan kemudian menerima gelar doktor dari Universitas Isfahan. Sejak tahun 1991, ia meraih predikat sebagai guru besar fisika di Universitas Imam Hossein, Teheran. Seorang sumber tingkat tinggi Iran—sebagaimana dikutip oleh Reuters pada 2014—menyebut Fakhrizadeh sebagai “aset dan pakar” yang berdedikasi pada kemajuan teknologi Iran dan memperoleh dukungan penuh dari Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Sumber tersebut juga menambahkan bahwa Fakhrizadeh memiliki tiga paspor dan sering bepergian, termasuk ke Asia, untuk memperoleh “informasi terkini” dari luar negeri. Sementara itu, sumber keamanan Barat mengatakan Iran sudah cukup lama memperoleh bahan nuklir dan pengetahuan dari pasar gelap internasional.
Pernyataan resmi Ali Khamenei di atas, yang secara terang-terangan menyebut keterlibatan Israel dalam peristiwa pembunuhan Fakhrizadeh bukanlah tuduhan tanpa alasan. Dua tahun sebelumnya, tepatnya dalam sebuah presentasi yang disiarkan televisi Israel pada April 2018, tentang dokumen-dokumen berisi perencanaan dan peta jalan produksi persenjataan Iran—yang diperoleh dari hasil operasi klandestin Mossad di Iran—Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut nama Fakhrizadeh sebagai tokoh terkemuka dalam apa yang ia gambarkan sebagai pekerjaan senjata nuklir rahasia yang dilangsungkan dengan kedok program sipil. “Remember that name, Fakhrizadeh…” ungkap Netanyahu guna menegaskan Fakhrizadeh sebagai kepada badan pengembangan senjata nuklir Iran yang diidentifikasi sebagai AMAD Project (Sazemaneh Tarhe Amade Vije).
Pada tahun yang sama setelah pernyataan Netanyahu di atas, stasiun televisi yang sama juga menayangkan rekaman wawancara dengan mantan Perdana Menteri Ehud Olmert, di mana ia mengisyaratkan Fakhrizadeh bisa menjadi target. “Saya mengenal Fakhrizadeh dengan baik. Dia tidak tahu seberapa baik saya mengenalnya. Jika saya bertemu dengannya di jalan, kemungkinan besar saya akan mengenalinya,” kata Olmert. “Dia tidak memiliki kekebalan, dan saya rasa dia tidak akan memiliki kekebalan,” tambah Olmert lagi.
David A. Kuhn (2020) dan kawan-kawan, yang menulis laporan khusus yang disiarkan oleh C/O Futures LLC mengonfirmasi bahwa beberapa tahun sebelum kematiannya, Mohsen Fakhrizadeh masih menjadi sosok yang misterius. Namanya jarang sekali disebut di media-media Iran. Kalau pun ada, itu tidak pernah disertai dengan foto dirinya. Beberapa dokumen yang tersedia saat itu hanya dapat menggambarkan sosoknya secara samar, sebagai ilmuwan yang bekerja untuk Kementerian Pertahanan Iran, mantan kepala Pusat Penelitian Fisika, dan profesor bidang fisika di Universitas Imam Hossein di Teheran.
Sementara itu, program nuklir Iran yang seharusnya sudah dihentikan secara resmi pada tahun 2003, tapi pada tahun 2007, Resolusi PBB 1747 mencantumkan nama Fakhrizadeh sebagai salah satu dari delapan individu yang dikenai sanksi, karena dianggap sebagai tokoh kunci dari upaya pengembangan persenjataan Iran yang berkelanjutan. Nama Fakhrizadeh juga disebut dalam laporan International Atomic Energy Agency/IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) pada tahun 2008.
Tiga tahun setelah itu, bersamaan dengan pengukuhan Fakhrizadeh sebagai pemimpin eksekutif AMAD Project 1989-2003 atau Organisasi untuk Perencanaan dan Perlengkapan Khusus, IAEA menuduh bahwa aspek-aspek penting dari program senjata nuklir yang dihentikan secara nominal itu masih berlangsung. Sumber-sumber intelijen selanjutnya memberitahu IAEA bahwa jabatan Fakhrizadeh yang sebenarnya adalah Kepala SPND (Sazman-e Pazhouheshhaye Novin-e Defa’I) atau Badan Riset dan Inovasi Pertahanan yang bertugas melanjutkan pekerjaan mempersenjatai Iran dengan rudal berhulu ledak nuklir.
Otoritas Iran sejatinya sudah berkali-kali membantah tudingan itu, dan hanya melakukan pengembangan nuklir untuk kepentingan sipil, sebagaimana batas pengayaan uraniumnya diawasi secara ketat oleh IAEA. Namun, barangkali karena rupa-rupa tudingan tak berdasar itu terus menerus dihembuskan sebagai dalil untuk membumi-hanguskan Iran, sekalian saja mereka melakukan pembangkangan.
“Ayah saya mungkin tidak ada di sini, tetapi pengetahuan yang ia hasilkan dan sebarkan tidak akan hilang,” kata putra Fakhrizadeh sebagaimana dikutip oleh Mona Hojat Ansari (2023), menggambarkan masa depan program nuklir Iran pasca pembunuhan keji atas ayahnya. Pada November 2023, Tehran Time menulis bahwa pada saat kematian tragis Mohsen Fakhrizadeh, Iran sebenarnya telah melakukan pengayaan uranium sebesar 4,5%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan batas yang ditetapkan dalam kesepakatan nuklir pada 2015.
Prediksi putra fisikawan nuklir dari tanah persia itu ternyata benar. Hanya tiga minggu setelah pembunuhan itu, Iran mengisyaratkan niatnya untuk meningkatkan pengayaan ke tingkat kemurnian 20%, sebagaimana dikomunikasikan kepada pengawas nuklir PBB. Selanjutnya, Teheran kini telah meningkatkan pengayaan uranium menjadi kemurnian 60%, sebagai tanggapan atas upaya sabotase rezim Israel yang digagalkan pada fasilitas nuklir Natanz, Iran bagian tengah.
Atas sepak terjang dan peran pentingnya dalam pengembangan teknologi nuklir, dan terlepas dari benar atau tidaknya tudingan dunia barat pada Mohsen Fakhrizadeh, fisikawan asal Qom itu telah digelari dengan “the father of the atomic bomb” (Bapak Bom Atom), bahkan New York Times pernah menyebut Fakhrizadeh sebagai an Iranian Oppenheimer. Semacam nama pembanding yang merujuk pada fisikawan Robert Oppenheimer, ilmuan yang pertama kali mengembangkan senjata nuklir bagi Amerika Serikat.
Fakhrizadeh boleh saja sudah tiada, tapi teori-teori fisika yang telah merasuk ke dalam kepala para mahasiswanya tak bakal dapat dimusnahkan oleh senjata senjata secanggih apapun, mustahil disabotase dengan operasi intelijen sesenyap apapun. Ia akan terus berkembang biak dan melahirkan Fakhrizadeh-Fakhrizadeh baru yang bakal menebar “radiasi” ketakutan bagi elit-elit politik di Israel dan Amerika Serikat, hingga datang suatu masa, bukanlah rudal berhulu ledak nuklir itu yang menghancurkan mereka, tapi “radiasi kengerian” yang senantiasa mereka duga, bersumber dari para jenius Persia.