Sedang Membaca
Ikhtiar Tolak Bala Lewat Kidung “Rumekso Ing Wengi” Karya Sunan Kalijaga
Christian Saputro
Penulis Kolom

Nama lengkapnya Christian Heru Cahyo Saputro. Mantan Kontributor indochinatown.com, Penggiat Heritage di Jung Foundation Lampung Heritage dan Pan Sumatera Network (Pansumnet)

Ikhtiar Tolak Bala Lewat Kidung “Rumekso Ing Wengi” Karya Sunan Kalijaga

Kidungan

Kidung “Rumekso Ing Wengi” karya Sunan Kalijaga ini diyakini bisa untuk menjadi tolak bala untuk mengusir pagebluk atau pandemi. Ikhtiar kidungan  ini dilakukan banyak kalangan antara lain, Paguyuban Puji Langgeng melakukan kidungan untuk tolak balak Corona setiap gelaran Senin Paingan.

Pagebluk alias pandemi Corona yang juga disebut Covid–19 melanda nusantara sudah separuh tahun lebih. Covid–19 yang mulai merajalela Desember 2019 ini meluluhlantakkan berbagai sektor kehidupan.

Sangat terasa penderitaan yang dirasakan manusia yang terdampak dari pandemi ini. Berbagai langkah, cara dan ikhtiar telah dilakukan untuk “menundukkan” Covid -19.

Langkah-langkah untuk kembali mengingatkan manusia untuk kembali melakukan perilaku hudup bersih dan sehat (PHBS), meningkatkan imunitas, jaga jarak , memakai masker, kerja dari rumah, sekolah di rumah, doa bersama termasuk ikhtiar melakukan tolak bala.

Tolak bala ini biasanya dilakukan dengan melakukan kidungan dan barikan. Lazimnya kidung biasanya ditembangkan pada malam hari. Kidung yang paling sering digunakan untuk gelaran kidungan tolak bala dan barikan iadalah Kidung anggitan atau karya Sunan Kalijaga bertajuk: “Rumeksa Ing Wengi”.

Kidung karya Sunan Kalijaga ini bertujuan  untuk menyingkirkan diri (masyarakat) dari balak atau gangguan, baik yang nampak maupun tidak. Kidung “Rumeksa Ing Wengi” punya makna lebih mendalam mengingatkan manusia agar mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga terhindar dari kutukan dan malapetaka yang lebih dahsyat.

Di kalangan masyarakat Jawa tembang atawa kidung Rumeksa Ing Wengi”ini sudah dianggap seperti “mantra” di bumi Melayu sebagai ‘mantra’. Bahkan, dulu untuk mengamalkan kidung ini harus  ‘puasa mutih’ selama 40 hari dan ‘ngebleng’ semalam. Kidung ini dulu dibaca di halaman rumah atau pelataran waktu tengah malam sebanyak 11 kali.

Kalau di Kraton Mataram di Jawa setelah berdirinya kerajaan Islam yang pertama di Demak, setiap kali ada wabah yang disebut  ‘ pageblug’ pada masa kini disebut pendemi yang meluas maka pihak kerajaan biasanya menggelar kirab Bendera Tunggul Wulung yang menjadi pusaka kraton. Bendera berwarna hitam ini dibawa ke segenap pelosok. Tujuannya untuk meminta doa agar wabah segera berlalu.

Baca juga:  Joko Pinurbo, Puisi dan Religiositas

Bendera Tunggul Wulung sendiri sebenarnya terbuat dari Kain Kiswah Ka’bah. Sri Sultan Hamengku Buwono dalam Konggres Umat Islam di Yogyakarta pernah menceritakan soal perihal bendera itu yang dahulu berasal dari Kraton Demak Bintoro dan kini tersimpan sebagai pusaka di Kraton Yogyakarta.

Kidungan dan Barikan Puji Langgeng

Paguyuban Puji Langgeng (Pandhemen Ki Nartosabdho) di tengah Pagebluk Pandemi Covid -19 ini tetap menggelar acara Senin Pahing yang menjadi agenda rutin komunitas ini. Dari sejak pandemi ini melanda nusantara Puji Langgeng menggelar acara kidungan dan barikan sebanyak lima kali, setiap Senin Paing.

Paguyuban pengangum karya-karya sang maestro Ki Nartosabdho yang berdiri sejak 15 Juli 2012 ini biasanya menggelar rutin acara Senin Paingan dengan menaja wayang kulit di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Kota Semarang.  Tetapi selama pagebluk ini menggantinya dengan acara kidungan di rumah anggotanya secara bergiliran.

Senin Paingan kelima ini  diadakan  dilaksanakan dikediaman  Widodo Guno Sworo, Jalan Sri Rejeki Timur, Gisikdrono, Semarang, penggal akhir bulan lalu.

Tampak hadir dalam acara kidungan malam itu, para pegiat budaya antara lain; Soetrisno (Ketua Perkumpulan Sobo kartti), Ki Tunggono (Ketua Pedalangan Sobokartti), Kristanto ( Dinas Pendidikan  dan Kebudayaan Provinsi Jateng), Marni (Ketua Pengrawit Sobokartti), Damiri, Supriyono, Daryanyo, Slamet Sutrisno, Sudarli, Beni, Supardi, Wali, Widodo, Sukarni (Para Tokoh Ketoprak) , Slamet, Raset, Rama dan Anis. (Mahasiswa UPGRIS).

Pendiri Puji Langgeng Surdaji Hadi Kusumo menyampaikan, kegiatan kidungan dan barikan  malam ini bertujuan pertama, sebagai sarana kirim doa untuk Ki Narto Sabdo. Kedua, berkaitan dengan kalender penanggalan Jawa untuk menyambut dan memperingati 1 Sura/Suro Jimakir 1954. “Tradisi ruwatan atau barikan ini bertujuan untuk tolak bala agar keadaan lingkungan, bangsa dan negara kita kalis dari sambi kala termasuk agar pagebluk pandemi Covid -19 juga sirna,” ujar Suradji.

Baca juga:  Sejarah dan Makna Filosofis Tradisi Kupatan

Selanjutnya, Surdaji memimpin sekaligus memulai mendedahkan kidung “Kidung Rumeksa Ing Wengi’ yang kemudian diteruskan bergantian menembangkan baik-bait kidungnya :

Ana kidung rumekso ing wengi, Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, niwah panggawe ala, gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirno

(Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)

Sakehing lara pan samya bali, Sakeh ngama pan sami mirundaWelas asih pandulune, Sakehing braja luput, Kadi kapuk tibaning wesi, Sakehing wisa tawa, Sato galak tutut, Kayu aeng lemah sangar, Songing landhak guwaning Wong lemah miring, Myang pakiponing merak

(Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.)

Pagupakaning warak sakalir, Nadyan arca myang segara asat Temahan rahayu kabeh, Apan sarira ayu, Ingideran kang widadari, Rineksa malaekat, Lan sagung pra rasul, Pinayungan ing Hyang Suksma, Ati Adam utekku baginda Esis, Pangucapku ya Musa

(Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.)

Baca juga:  Sedekah Laut dalam Pandangan Budaya dan Agama

Napasku nabi Ngisa linuwih, Nabi Yakup pamiryarsaningwang, Dawud suwaraku mangke, Nabi brahim nyawaku, Nabi Sleman kasekten mami, Nabi Yusuf rupeng wang, Edris ing rambutku, Baginda Ngali kuliting wang,Abubakar getih daging Ngumar singgih, Balung baginda ngusman

(Nafasku nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku.  Sedangkan Usman sebagai tulangku.)

Sumsumingsun Patimah linuwih, Siti aminah bayuning angga, Ayup ing ususku mangke,Nabi Nuh ing jejantung, Nabi Yunus ing otot mami,Netraku ya Muhammad, Pamuluku Rasul, Pinayungan Adam Kawa,Sampun pepak sakathahe para nabi, Dadya sarira tunggal

(Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nanti nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.)

Setelah usai mengumandangkan kidung “Rumekso Ing Wengi” karya Sunan Walijaga dilanjutkan dengan secara bersama-sama mendedahkan sesanti barikan “Puji Langgeng”.

“Semoga kita selalu  dalam lindungan yang Maha Kuasa. Selamat, dijauhkan dari kesukaran dan kalis dari sambi kala,” ujar  Suradji pada pamungkas acara kidungan dan barikan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top