Sedang Membaca
Jokowi, Putin, dan Kemenangan Kapitalisme
Avatar
Penulis Kolom

Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menulis cerpen dan esai di harian Kompas, Republika, Tempo, www.kompas.id, Jurnal Toddoppuli, simalaba.net, kawaca.com, litera.co.id, harianhaluan.com, dan lain-lain.

Jokowi, Putin, dan Kemenangan Kapitalisme

Jokowi putin

Dalam opini “Hati Nurani dan Jiwa Pemaaf” sehari setelah perayaan Idul Fitri (www.kompas.id3 Juni 2022), Eeng Nurhaeni selaku pengasuh pesantren Al-Bayan di Rangkasbitung mengungkap euphoria kaum muslimin atas kemenangan perang Badar, hingga kemudian ditegur oleh Nabi Muhammad, bahwa kemenangan mereka atas pertempuran bukanlah kemenangan dalam pengertian yang esensial. Sebab, menurut Nabi, kemenangan yang sejati itu ketika manusia sanggup menaklukkan ego dan hawa nafsu yang menyelimuti kalbu manusia.

Lebih lanjut ditegaskan sang penulis tentang pentingnya “ahimsa” yang pernah dipraktikkan Mahatma Gandhi (India), bahwa orang-orang yang pernah terzalimi seakan-akan merasa berhak untuk membalas dan melakukan sesuatu yang lebih dari perlakuan musuhnya. “Watak temperamental ini selalu membenarkan cara-cara untuk membalas keburukan dengan sesuatu yang lebih buruk lagi. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan umat beragama yang baik, yang mestinya mengedepankan sifat pemaaf atas kesalahan yang diperbuat sesamanya,” jelas Eeng Nurhaeni.

Ungkapan tersebut menyentuh persoalan prinsipil yang dihadapi manusia Indonesia akhir-akhir ini. Ia seakan membuka kembali dokumen sejarah tentang surat-surat kegembalaan Gereja Vatikan, khususnya Progressio Popularum (Kemajuan Bangsa-bangsa) yang pada pertengahan tahun 1950-an telah disambut antusias oleh Presiden Soekarno, dan dikumanndangkan dalam Konferensi Asia-Afrika di Kota Bandung.

Terkait dengan itu, dalam makalah untuk Temu Sastrawan di Ternate (2011), Afrizal Malna mengutip Memoar Joesoef Isak, sebagai mantan tahanan politik (tapol) di masa pemerintah Orde Baru. Dalam artikel yang dibagikan kepada para sastrawan Indonesia itu, diberi judul, “Estetika Pembelahan, Pengkembaran dari Epidemi Sejarah (Usaha Melihat Estetika Sastra Abad 21).” Afrizal mengakui kebenaran tesis yang dikemukakan Hafis Azhari, bahwa peralihan kepemimpinan Soekarno kepada Orde Baru ibarat peralihan dari masa perjuangan ke orde perampokan. Masa kepahlawanan telah berubah menjadi masa penyingkiran orang-orang berbakat dan berpotensi di negeri ini. Kita bisa membaca, bahwa inilah yang merupakan cikal-bakal “kegagalan” era Orde Baru yang merasa telah berhasil memenangkan pertempuran, yang pada hakikatnya adalah kemenangan yang bersifat semu dan ilusi belaka.

Baca juga:  Jejak Dipanegara dalam “Ilmu Pujian Roso Sampurno”

Kemenangan Kapitalisme

Tarik-menarik kubu komunisme dan kapitalisme selama beberapa abad, yang secara faktual mengorbankan negara-negara dunia ketiga (termasuk Indonesia), bukanlah persoalan mendasar untuk mengatasi maraknya kemiskinan yang menjadi problem utama akhir-akhir ini. Penyataan Presiden Putin di hadapan Presiden Jokowi, secara implisit mengungkap soal negara-negara yang diorganisasi dengan orientasi pasar bebas, ternyata tidak sanggup menjawab tantangan-tantangan yang menjadi pertanyaan mendasar dari sistem pasar itu sendiri.

Pada hakikatnya yang mentukan kadua sistem itu, baik sistem pasar maupun komunisme, tiada lain adalah dunia budaya industrial, yakni usaha pertambahan yang terus menerus dari penyediaan barang-barang, yang dengan sendirinya juga pertambahan pelayanan material. Jadi, perbedaan mereka bukanlah pada sasaran dalam mengatasi persoalan bangsa dan bumi manusia, akan tetapi hanya pada cara dan jalan yang ditempuh. Padahal, persoalan yang sangat mendasar (dan mendesak) bagi kepentingan hari ini dan mendatang justru terletak pada sasaran yang hendak dicapai (kesejahteraan bersama).

Untuk itu, segala bentuk ancaman yang melekat pada sistem pasar negara-negara maju (maupun komunis yang industrial maju juga) dengan sendirinya berakibat penghisapan struktural terhadap mayoritas bangsa manusia, yang tentunya memerlukan perubahan radikal dalam cara pandang maupun perspektif berpikir manusia Barat itu sendiri.

Jika hal itu tidak dilakukan – atau pura-pura tidak disadari – meski menamakan diri demokrasi dan pembela HAM, maka dunia akan jatuh ke dalam segi regierbarkei, yang berarti “dapat diperintah dan bisa diatur”, yang menjurus kepada anarki besar-besaran, dan dengan sendirinya membawa hati mendidih penuh dendam. Lalu, akan berujung pada upaya “cari selamat sendiri-sendiri”, dan akan bermuara pada semangat anarkisme, radikalisme hingga terorisme di mana-mana.

Baca juga:  UU Pesantren, Tradisi, dan Masa Depan Pesantren

Pada prinsipnya, segala bentuk krisis yang melanda dunia saat ini, bukanlah sesuatu yang secara obyektif diminta oleh kodrat eksistensi manusia. Sistem ekonomi pasar yang secara faktual dianut oleh dunia Barat – yang diterapkan secara luas ke wilayah Timur – bukanlah hasil dari hukum kodrat manusia. Ia hanyalah jadi-jadian, laiknya konstruksi buatan pikiran, bayangan-bayangan instrumen, tata masyarakat yang datang dari ideologi tertentu. Pada gilirannya, semakin marak dikembangkan secara historis oleh manusia Barat tertentu, untuk menangani masalah-masalah konkrit tertentu, dalam alam situasi dan kondisi (tertentu pula).

Jadi, bukanlah dogma universal yang berhak mengklaim nilai-nilai dan penerapan umum, bahwa tanpa itu semua, seakan-akan kesejahteraan nyata mustahil bisa tercapai.

Kritik Putin

Kata-kata bersayap yang disampaikan Putin kepada Jokowi, sebenarnya mengandung pesan (atau gugatan) kepada para pemimpin bangsa yang secara terang-terangan menerapkan sistem pasar bebas. Bahwa, menurtnya,  sistem ekonomi pasar bukan saja tidak sanggup mengatasi permasalahan ekologi (yang gawat ini), namun juga bisa menjadi jahat apabila merasa perlu mengorbankan bangsa-bangsa dan lapisan-lapisan manusia yang paling lemah.

Terkait dengan ini, lagi-lagi kita teringat pada pidato bapak bangsa Soekarno, bahwa dalam upaya menciptakan kesejahteraan rakyat, maka yang penting diperjuangkan adalah konsep “keadilan” dan bukan konsep “kemenangan” yang bersifat fana dan semu belaka.

Baca juga:  Perjalanan 100 Tahun Nahdlatul Ulama

Jika kita merujuk pada kemenangan “era reformasi” di negeri ini, maka apakah yang ingin dicapai dari cita-cita reformasi, kalau bukan demi kesejahteraan bersama? Ketika kita salah dalam memaknai “kemenangan” dalam hal ini, maka kita akan terjebak pada euphoria kemenangan yang bersifat ilutif, seperti yang dinyatakan Nabi Muhammad kepada kaum muslimin pasca Perang Badar, bahwa, “Kemenangan yang sejati itu ketika manusia sanggup menaklukkan ego dan hawa nafsu yang menyelimuti kalbu manusia.”

Kebijakan Soekarno yang kemudian direstui oleh Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifudin, Tan Malaka dan bapak bangsa lainnya, untuk lebih mementingkan kaum dina-lemah-miskin, tak lain merupakan bagian dari sejarah antithesa penghisapan, penindasan, serta kebenaluan imperialisme Barat yang sudah berjalan ratusan tahun, yang kemudian digugat dan dipersoalkan kembali oleh Presiden Rusia di hadapan para pemimpin dunia akhir-akhir ini.

Putin juga menyoal perihal tanggung jawab bersama (solidaritas internasional), yang dengan sendirinya sudah masuk ke wilayah tanggungjawab moral yang merupakan problem berat bagi negara-negara industri maju. Untuk itu, harus diciptakan perubahan yang bermula dari akal sehat dan hati nurani manusia yang bermuara pada perubahan mindset dan kerangka berpikir. Bukan hanya soal intelektual tetapi juga kepekaan dan tanggungjawab moral. Bukan hanya memperebutkan kue kemenangan semu, melainkan keadilan bagi segenap rakyat, dan bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia. (*)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top