Sedang Membaca
Jejak Tasawuf (1): Masa Pembentukan
Bushiri
Penulis Kolom

Santri di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. Penikmat kajian-kajian Islam.

Jejak Tasawuf (1): Masa Pembentukan

Whatsapp Image 2021 09 21 At 23.23.29 (1)

Istilah Tasawuf terdengar luas di kawasan Islam dan merupakan bagian dari syariat yang penamaannya bersifat baru datang. Menurut Catatan sejarah, dasar dari golongan pengikut ilmu ini (sufi) tidak bisa dilepaskan dari peran para pembesar umat Islam terdahulu dari golongan sahabat, tabi’in dan tabiit-tabiin dalam menempuh jalan (Thariqah) kebenaran dan hidayah.

Pengertian thariqah sendiri sangat banyak. Diantaranya adalah selalu menetapi dalam beribadah, memusatkan perhatian hanya pada Allah, memalingkan hati dari segala perhiasan dan pernik-pernik keduniaan.

Dalam Muqaddimah Ibn Khaldhun dijelaskan, Pada masa sahabat, berbagai macam ritual dan spiritual, sepeti laku hidup zuhud, sudah menjadi hal yang biasa dilakukan. Di masa setelahnya, yakni pada kurun kedua, katika telah banyak orang-orang disibukkan dengan urusan dunia, maka bagi golongan yang hanya memfokuskan perhatian pada ritual peribadatan disebut sebagai shufiyah atau mutashawwif.

Peneliti sejarah perkembangan tasawuf mencatat, disiplin ilmu ini bermula dari berbagai pola kehidupan pribadi para pembesar umat pada abad ke I dan ke II H. Era ini ditempati oleh para salaf as-shalih mulai dari Rasulullah, sahabat, dan tabi’in. Di era sahabat banyak dikenal orang yang memiliki kecenderungan sufistik. Misalnya, Abu ‘Ubaidah ibn Al-Jarrah (w. 18 H), Abu Dzar Al-Ghifari (w. 22 H), Salman Alfarisi (w. 32) dan masih banyak lagi yang mana di antara mereka muncul pula gelar Ashab as-Shuffah.

Sementara di era Tabi’in di kenal nama Sa’id ibn al-Misayyab (w. 91 H), Hasan al-Bashri (w. 110 H), Salim ibn Abdullah (w. 106 H) Sufyan Ats-Tsauriy (w. 117) Fudhail ibn ‘Iyad (w. 187 H) dan lainnya dari golongan tabi’in. Baru pada era selanjutnya, yaitu mulai abad ke III H sampai saat ini mereka lebih dikenal dengan sebutan shufiyah atau sufi. Maka dari itu, sebenarnya dari merekalah muncul dan dikenal doktrin-doktrin ilmu tasawuf sampai perkembangannya di saat ini.

Baca juga:  Petuah Al-Ghazali, Penawar Krisis Akhlak

Di era abad ke III H, refleksi pola kehidupan yang paling mendominasi dalam pribadi mereka adalah kehidupan dan ajaran zuhudnya. Oleh karena itu, mereka lebih dikenal dengan predikat az-Zuhhad. Predikat inilah yang memunculkan suatu pemahaman dari para sejarawan, khususnya para orientalis, seperti Nicholson, bahwa ilmu tasawuf bersumber dari perilaku Zuhud.

Selain itu, bila kita menelisik jejak rekam sejarah pada periode awal di abad ke I H, pemahaman ini pun bisa pula dibenarkan dengan memandang pola kehidupan Zuhud yang dipraktekkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. dinama Nabi sering malakukan khalwat (menyendiri dari keramian agar lebih fokus beribadah kepada Allah) dengan bekal seadanya untuk beribadah di Gua Hira’. Selain itu, kehidupan zuhud juga dipraktekkan oleh kelompok yang berdiam diri di serambi masjid Madinah pada periode kenabian.

Dalam perjalanannya, kehidupan kelompok ini lebih mengkhusukan diri untuk beribadah dan mengembangkan kehidupan rohani dengan mengabaikan kenikmatan dunia. Pola hidup kesalehan atau Zuhud dari nabi, sahabat-sahabatnya, khususnya Ahl As-Suffah, merupakan embrio tahap awal bagi lahirnya gerakan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketime (Zuhud) dan merupakan fase pertama dalam perkembangan tasawuf yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat.

Baca juga:  Dialektika Tradisi dan Intertekstual dalam Manuskrip

Pada kurun abad ke I H sampai akhir abad ke II H, telah banyak bermunculan tokoh-tokoh yang terkenal dengan aliran zuhudnya. Diantara tokoh populer yang mewakili aliran ini adalah Hasan al-Bashriy (w. 110). Dalam sejarah spiritual, Hasan al-Bashriy lebih dikenal sebagai tokoh zuhud dengan ajaran dasarnya al-hauf (takut kepada Allah), al-Khazn (sedih atas segala dosa yang telah tercipta), dan at-Tafakkur (berfikir), untuk menempuh jalan kesempurnaan dalam meraih Rido Allah.

Pada zaman itu, gerakan-gerakan tasawuf (zuhud) mulai memiliki bentuk dan institusi yang mandiri. Perkumpulan hingga sekolah-sekolah mulai ramai. Dengan artian, gerakan zuhud tidak lagi bersifat reaktif (tanggapan) seperti yang kita ketahui sebelumnya, akan tetapi sudah menjadi gerakan yang aktif, disiplin, serta terpusat. Salah satunya adalah madrasah Hasan al-Bashriy.

Pada abad itu pula, muncul seorang tokoh zuhud yang bernama Rabi’ah Al-Adawiyah (w. 185 H) yang terkenal dengan ajaran pokonya al-Hubb (cinta kepada Allah). Dengan al-Hubb ini, seseorang bisa menjadikannya sebagai pengantar untuk mengetahui keindahan Allah SWT. Teori al-Hubb yang diperagakan oleh Rabi’ah inilah yang digunakan sebagai pondasi dalam kehidupan zuhud. Hal ini berbeda dengan pola kehidupan zuhud Hasan al-Bashriy yang lebih berpijak pada teori al-Khauf.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa para zuhhad di era abad ke I H bahkan akhir abad ke II H merupakan cikal bakal munculnya gelar sufi. Akan tetapi, hal ini menurut sebagaian sejarawan khususnya para orientalis yang diantaranya Nicholson. Sebenarnya masih banyak pendapat lain mengenai asal muasal gelar sufi ini. Contoh At-Taftazaniy yang menukil dari keterangan Ibnu al-Jauzi dalam kitab Talbis al-Iblis, bahwa asal muasal gelar sufi sebenarnya bermula dari beberapa penamaan, diantaranya adalah az-Zuhhad, al-‘Ubbad, dan al-Qurra’, dan lain-lain.

Baca juga:  Guru Mursyid (4): Cara Belajar Kepada Guru Mursyid

Meski banyak perkhilafan mengenai asal usul dari penamaan sufi, yang jelas ilmu serta pengamalannya sudah dipraktekkan sejak generasi awal Islam.

Rujukan:

Abdurrahman Ibn Khaldun, Muqoddimah Ibn Khaldun, H. 611

At-Taftazani, Abu Nasr Al-Wafa Al-Ghanamiy, Madkhal ilat Tasawuf Al-Islam, H. 76, 86, 59

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top