Ulama adalah pewaris para nabi. Demikian doktrin Islam berpendirian. Para ulama bukan kaki-tangan ormas, petugas parpol maupun pengabdi penguasa. Lalu bagaimana semestinya ulama?
Kiai Ahmad Rifai dari Kalisalak, Pekalongan pada abad ke-19 telah berwacana ihwal ulama alim-fasik dan ulama alim-adil (‘alim dalam bahasa Arab bentuk tunggal, jamaknya ‘ulama. Keduanya telah diserap dalam bahasa Indonesia). Kiai itu diasingkan oleh Belanda ke Saparua dan kemudian ke Manado. Pandangan beliau tentang keulamaan bisa “menyengat” eksistensi ulama pada masanya dan sesudahnya.
Ulama atau alim adil memperlakukan ayat-ayat Alquran sesuai proporsinya dan tak melakukan plintiran atau mengambil ayat-ayat hanya yang sesuai dengan atau mendukung kepentingannya belaka sebagaimana yang dilakukan oleh ulama atau alim fasik. (Baca: Ulama-Ulama Besar yang Belum Berhaji)
Secara Qurani, yang takut kepada Allah di antara para hamba hanyalah ulama, hanyalah alim. Dalam konteks itu, keulamaan adalah manifestasi akhlak, sikap atau etos tertentu. Keulamaan bukan hanya perkara kepintaran atau kemahiran berbicara yang dimiliki seseorang. Keulamaan yang juga bukan sejenis gelar atau profesi.
Lalu apakah yang disebut sebagai “hanya takut kepada Allah?” Apakah ketakutan jenis itu hanya milik segolongan manusia yang oleh masyarakat disebut ulama? Apakah semua yang digelari ulama pasti “hanya takut kepada Allah?”
Sikap dan etos ulama secara lahiriah atau yang tampak adalah dari faktor kedalaman ilmu, kesibukan ibadah dan kemuliaan perilaku. Begitulah pandangan sosial kolektif terhadap eksistensi ulama.
Konsekuensi ulama hanya takut kepada Allah adalah berani kepada yang tak sesuai ajaran Tuhan seperti kebatilan ormas, kejahatan parpol maupun kezaliman penguasa. (Baca: Memahami Istilah Ulama)