WARGA negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 1991 menerima penghargaan nobel perdamaian lantaran dipandang memajukan demokrasi di negerinya tanpa kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer.
Suu Kyi adalah sejenis pahlawan demokrasi, menurut panitia nobel.
Dan warga negara Bangladesh, Muhammad Yunus, pada 2006 diganjar penghargaan nobel karena mengembangkan Grammen Bank, bank untuk orang miskin di negerinya. Kemiskinan di Bangladesh sangat parah.
Yunus adalah sejenis hero pengentasan kemiskinan, menurut panitia nobel.
Negara Myanmar yang mayoritas budhis dan negara Bangladesh yang mayoritas muslim secara geografis bertetangga.
Pada 2017, etnis muslim Rohingya (dari Bangladesh namun sudah turun-temurun menetap di Myanmar) ditindas dan ditembaki oleh tentara pemerintah Myamnar.
Mereka lari dan mengungsi ke Bangladesh, namun dihadang oleh tentara di perbatasan negara itu, negara leluhur mereka sendiri. Tentu akan merepotkan menerima ratusan ribu pengungsi bagi sebuah negara yang masih terdera kemiskinan parah.
Jangan Sampeyan bertanya, “Siapa yang akan dapat nobel atas peristiwa ini?”
Tak perlu humor dalam krisis ini.
Mungkin ada pertanyaan lain. Apa sesungguhnya peran Suu Kyi dalam kasus Rohingya di Myanmar? Apakah nasionalis budhis di negeri itu membenci muslim Rohingya di negeri itu?
Dua pertanyaan ini tentu butuh jawaban yang jelas di tengah krisis ini. Jika tidak, bisa kian memperburuk keadaan, sekurangnya merusak opini dunia atas kejujuran Myanmar sebagai sebuah negara yang dihuni tokoh perdamaian dunia. Lebih jauh, bahkan merangsang lahirnya sentimen ras dan agama.
Ras dan agama adalah identitas yang berbahaya. Banyak kasus membuktikan hal ini. Apartheid di Afrika bukanlah fiksi tentang penindasan ras atas dasar warna kulit tubuhnya. Ternyata, tubuh dan juga keyakinan adalah medan perang.
Mungkin kita perlu membayangkan jika Suu Kyi adalah muslimah berkulit negro dan Yunus adalah pengusaha penginapan murah — kira-kira apa yang akan terjadi?