Masjid Manazilul Akhirat nama resminya, kubahnya persegi empat bertingkat dan di ruang utamanya menjulang empat pilar berwarna keemasan. Di bagian depan bangunan ibadat itu bermihrab dua, yang sisi selatan (kiri) sebagai tempat imam salat dan yang sebelah utara (kanan) untuk tempat khatib Salat Jumat. Di teras masjid itu tampak bedug besar tersangga dua pasang kayu bersilangan.
Di kubah persegi empat yang paling atas di masjid di desa itu terpasang dua corong pengeras suara berwarna abu-abu di setiap sudutnya, total ada delapan corong yang saat semuanya mengeluarkan suara tetap bisa menjaga menenteramkan telinga. Di halaman masjid itu dulu ada sumur tua yang kini sudah tertimbun.
Manazilul Akhirat adalah judul sebuah kitab karya Syaikh Abbas al-Qum. Tak jelas benar terkait atau tidak nama resmi masjid di Desa Dapurkejambon, Jombang itu dengan judul kitab dari ulama Iran tersebut. Kitab ini menggambarkan keadaan kehidupan setelah kematian. Biasanya kitab ini diajarkan kepada jamaah tarekat atau orang-orang suluk.
Masyarakat Dapurkejambon dan sekitarnya menyebut masjid itu sebagai “Masjid Tiban” atau masjid yang muncul atau hadir begitu saja. Lokasi masjid itu di arah timur laut dari pusat kota Jombang dan kira-kira dua kilometer dari pesantren Tambakberas. Suasana dan tradisi agraris masih kental di daerah ini. Dari masjid itu hingga ke pesantren Tambakberas terhampar sawah dan ladang sepenuhnya, tanpa pemukiman warga.
Jauh sebelum peristiwa 1965, Kiai Ali menemukan reruntuhan surau di balik gerumbul semak di Desa Dapurkejambon. Di tempat reruntuhan itu kemudian dibangun masjid sedehana. Kiai Nur Khotib meneruskan pengelolaan masjid itu setelah Kiai Ali wafat. Lalu masjid itu dikelola oleh Kiai Farhan dan berlanjut ke anaknya, Kiai Hafidz, dan kemudian diteruskan oleh cucunya Kiai Farhan. Saat ini, rumah-rumah lama dan utama di sekitar masjid itu adalah kediaman anak dan cucunya Kiai Farhan. Empat nama tokoh masjid tiban itu selalu disebutkan saat ritus tawasul di masjid itu
Tak sampai 100 meter di barat laut masjid tiban itu terdapat kompleks kuburan tua tempat para tokoh sejarah atau semi-legenda yaitu Mbah Pranggang dan Pandan Manuri dimakamkan. Kompleks kuburan bertembok tinggi dan di luar temboknya terdapat kuburan-kuburan warga Dapurkejambon. Masyarakat setempat percaya Mbah Pranggang merupakan mata-rantai kerajaan Majapahit.
Mbah Pranggang adalah tokoh awal pembuka Desa Dapurkejambon. Sedangkan Pandan Manuri adalah ibunya salah seorang tokoh yang dalam kepercayaan rakyat setempat berhubungan dengan asal-usul daerah Jombang yaitu Jaka Tulus alias Kebokicak. Dalam satu versi cerita rakyat, Kebokicak adalah tokoh yang berpihak kepada adat setempat dan kekuasaan Belanda. Kebokicak bertarung dengan Jaka Sendhang alias Surantanu yang berpihak kepada ajaran Islam dan anti-Belanda.
Para tokoh masjid tiban itu tak ada yang dikuburkan di Desa Dapurkejambon. Kuburan Kiai Ali, Kiai Farhan dan Kiai Hafidz di daerah Kapas, Tambakberas. Di daerah Kapas masih lestari kegiatan tarekat yang bermula sejak masa Kiai Utsman Tambakberas pada abad ke-19. Sedangkan lokasi kuburan Kiai Nur Khotib di sebelah Desa Dapurkejambon yang bernama Desa Weru yang hingga tahun 1990-an masih terkenal sebagai sarang prostitusi di Jombang dan sekarang telah steril dari kegiatan terlarang itu. Di sekitar kuburan Kiai Nur Khatib kini telah berdiri masjid besar dan beberapa surau yang salah satunya bernama Al-Khatib.
Kenapa ada reruntuhan surau di dekat kompleks kuburan tua di Desa Dapurkejambon itu dan apakah ini merupakan simbol kekalahan misi Islam di desa ini pada masa lalu? Kenapa kuburan para tokoh masjid tiban di Desa Kejambon itu berlokasi di desa lain? Pertanyaan-pertanyaan ini belum dijawab oleh “sejarah resmi”, masih menjadi kenyataan di luar pengetahuan dan perhatian khalayak meski semua ini bukan hal yang layak diremehkan.
Kuburan Mbah Pranggang dan kuburan ibunya Kebokicak dipercaya berlokasi di kompleks kuburan tua tak sampai 100 di barat laut masjid tiban di Desa Dapurkejambon itu. Bagi sebagian masyarakat Dapurkejambon, kuburan Mbah Pranggang dan masjid tiban merupakan dua simbol orientasi tradisi spiritual-religius yang berbeda, abangan dan santri, dan keduanya berdampingan. Uniknya, di antara masjid tiban dan kompleks kuburan Mbah Pranggang itu telah lama berdiri sebuah lembaga pendidikan bernama Madrasah Ibtidaiyah Kebokicak.
Masjid tiban di Dapurkejambon itu merupakan sebagian sejarah jaringan persebaran dan perkembangan Islam di Jombang. Suatu “sejarah kecil” yang tertutupi pandangan “sejarah besar” yang bersemayam di benak khalayak. Memasuki Dapurkejambon sesungguhnya menapaki sebagian sudut masa silam yang masih bertahan dan menggeliat hingga sekarang meski terasa sayup dan senyap di pinggiran zaman.
Suatu senja, saya Salat Ashar berjamaah di masjid tiban itu. Yang salat berjamaah ada dua shaf, dua baris kaum muslim, dewasa dan anak-anak, yang berjumlah belasan. Tentu ini persentase yang minoritas dari total populasi muslim di Desa Dapurkejambon.