Bocah dan kenangan-kenangan Lebaran? Kita bisa membaca buku berjudul M Radjab berjudul Semasa Kecil di Kampung. Di buku berjudul Tataran, kita bisa mendapat bab Lebaran bertokoh Bawuk dan Kuncung. Bocah memiliki kenangan Lebaran itu bepergian, makan enak, mendapat sarung baru, bermain dengan teman-teman di tempat hiburan, mendapat duit, dan lain-lain. Lebaran memiliki kenangan-kenangan indah. Berbahagialah!
Duit di kantong atau dompet sering dikeluarkan untuk jajan. Bocah itu belum puas melihat celana, baju, dan sandal baru. Di rumah, ia ingin makan lima kali sehari mumpung enak. Konon, pikiran bocah saat Lebaran disetel santai dan girang. Bocah emoh serius dan sepaneng. Orangtua mungkin capek dan sedih menghitung pengeluaran selama Ramadan dan Lebaran. Di kertas, catatan utang minta dilunasi. Sehari, orang-orang boleh cuti dari seribu masalah berat.
Bocah mungkin terkenang Lebaran dengan majalah. Dulu, majalah-majalah menjelang dan setelah Lebaran biasa menerbitkan edisi istimewa. Kita membuka kenangan di majalah Si Kuncung, No 32, 1980. Di sampul, kerumunan orang: bersalaman dan mengucap permintaan maaf. Mereka mengenakan baju-baju bagus. Sekian orang berpeci dan berkerudung. Ada pula gambar masjid, rumah, dan pohon. Lebaran itu kebersamaan dan kegembiraan. Tulisan baku di sampul majalah: “Minal Aidin Walfaizin, Mohon Maaf Lahir Batin”.
Halaman-halaman majalah berisi sekian cerita bertema Lebaran. Menu paling istimewa ada di halaman belakang. TTS! Si Kuncung edisi Lebaran memuat TTS. Bocah-bocah masih bersukacita Lebaran dibujuk berpikir alias menggunakan otak. TTS dihiasi gambar bocah mengenakan sarung dan berpeci. Ia membawa buku dan pensil. Bocah berdandan rapi sedang mengalami Lebaran bermakna dengan mengisi kota-kotak TTS. Ia pasti bocah hemat, tak menggunakan uan untuk jajan atau piknik. Ia memilih di rumah mengerjakan TTS. Si bocah mengerti ajaran dalam Islam: menggunakan akal. Di hadapan majalah, ia sudah ikhlas dan serius berpikir jawaban-jawaban. Lebaran itu berpikir!
Kita berimajinasi peristiwa bocah itu terulang di masa sekarang. Bocah-bocah sebelum Lebaran sudah mengumpulkan koran-koran edisi Minggu memuat TTS. Bocah bisa juga membeli buku TTS di kios majalah-koran. Koleksi TTS disiapkan demi menikmati Lebaran. Bapak-ibu diberi tahu agar turut berkontribusi memberi jawaban-jawaban di kotak-kotak mendatar atau menurun. Lebaran itu kebersamaan. Kita melihat keluarga berkumpul di rumah: makan, minum, dan bercakap. Televisi dimatikan 24 jam.
Gawai masuk lemari dibiarkan kesepian. Bapak, ibu, dan anak memilih mengerjakan koleksi TTS, sehari-semalam. Lebaran adalah berpikir, bukan malas atau boros. Azan terdengar, mereka salat berjemaah. Bapak memimpin doa meminta kekuatan dan petunjuk Tuhan atas soal-soal belum terjawab. Ibu dan anak-anak mengucap: amin. Mereka bermufakat koleksi TTS bisa diisi semua saat Lebaran. Peristiwa mengerjakan TTS membuktikan kecerdasan, kekompakan, kengawuran, dan kelakar di rumah. Mereka itu keluarga bahagia, mengerjakan TTS bersama gara-gara pemerintah meminta Lebaran dialami di rumah saja.
Kita kembali ke masa 1980-an. Soal-soal di TTS tak melulu agama. Kita membaca cuma ada satu soal: “Termasuk rukun Islam.” Bocah mesem saja. Ia mengaku sudah capek dan bosan mendengar ceramah-ceramah selama Ramadan. Agama terlalu sulit di ucapan para penceramah. Bocah mungkin ingin kultum dan kuliah itu diganti pembacaan dongeng atau cerita pendek. Ajaran-ajaran Islam tentu disampaikan tanpa marah-marah, menakuti, dan menimpakan salah. Bocah-bocah pasti sregep ke masjid dan mengerti agama itu bergelimang cerita mengandung ajaran-ajaran kebaikan, perdamaian, kerukunan, kewarasan, kecerdasan, keindahan, dan lain-lain. Begitu.