Sedang Membaca
Taman Ismail Marzuki: Cerita dan Tanda Seru
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Taman Ismail Marzuki: Cerita dan Tanda Seru

Tempat itu mengisahkan tokoh dan peristiwa. Tempat memiliki album seni dan keajaiban. Tempat bernama Senen. Misbach Jusa Biran tekun menulis segala hal mengenai tempat dan orang-orang di Senen dalam mencipta seni. Ketekunan menghasilkan buku Keadjaiban di Pasar Senen (1971). Kita membaca dengan haru meski sekian pengisahan terasa lucu dan wagu.

Cerita-cerita gubahan Misbach Jusa Biran berlatar masa 1950-an dan 1960-an. Berlalu. SM Ardan sedih: “Dari tempat-tempat jang sering disebut-sebut dalam buku ini banjak jang sudah tinggal kenangan belaka.” Tempat-tempat itu berubah. Bangunan tak lagi sama. Suasana dibentuk oleh para tokoh ajaib mengaku seniman mengalami pudar. Para pengisah dan pembual kehilangan tempat. Catatan SM Ardan: “Restoran ‘Ismail Merapi’ adalah pertahanan terachir seniman-seniman Senen. Wahid Chan, jang telah diangkat djadi ‘tjamat’ tanpa surat resmi, pernah tjoba-tjoba mendtjari tempat lain untuk mengganti daerah-penghabisan itu jang pada awal 60-an sudah dikabarkan bakal dibongkar. Almarhum H Usmar Ismail pernah mengusahakan agar lantai II (Garden) Sarinah-nja djadi sematjam ‘Senen’ bagi seniman. Bahkan gubernur DCI-Djaja Bang Ali Sadikin bermaksud serupa dengan ‘Taman Ismail Marzuki’-nja.” Dulu, Senen itu ingatan atas album kesenian, sebelum orang-orang terpukau dan membuat daftar ingatan seni di Taman Ismail Marzuki.

Masa 1970-an berlalu dan ingatan-ingatan semakin rontok. Orang-orang tak membaca lagi Keadjaiban di Pasar Senen. Kita pun mengerti pikat TIM (Taman Ismail Marzuki) tak lagi seperti dulu meski tak ada pengarang nekat mengerjakan novel atau kumpulan cerita melulu mengenai TIM. Arus kesusastraan Indonesia belum memiliki “Keadjaiban di Taman Ismail Marzuki”. Keajaiban-keajaiban memang ada tapi duka dan protes terus saja ada, dulu sampai sekarang. Pada abad XXI, TIM jadi pusat keributan birokrasi, pengusaha, dan seniman. Tempat itu diinginkan berubah agar megah dan memukau. Seni masih di situ tapi tak semenggairahkan seperti masa lalu. Tempat dengan penampilan dan wajah baru mungkin dituduh khianat dengan album ide-imajinasi seni, dari masa ke masa.

Baca juga:  Di Tengah Wabah Corona, Kedermawanan Saja Tidak Cukup

Pada sebuah cerita: “Dia sedang berdiri menghadap pagar tembok TIM, seakan-akan sedang menghadapi seorang Tuan yang tidak lagi hadir sebagai seseorang. Tatapannya tajam ke arah tembok. Rata. Permukaan rata yang selalu menggodanya untuk… Dia tidak tahu untuk apa.” Petikan berasal dari cerita gubahan Afrizal Malna. Kita membaca dalam buku berjudul Pagi yang Miring ke Kanan (2017). Afrizal Malna bercerita “actor” sering berada di TIM mengadakan “pertunjukan” tak seperti dalam program atau jadwal resmi sesuai misi TIM. Aktor itu biasa dipanggil Frans. Ratusan hari, ia berada di TIM: sangat mengenali tempat dijuluki pusat seni.

Afrizal Malna mulai berlebihan mengisahkan si tokoh: “Dia mengelilingi bangunan-bangunan ini seperti seekor hewan yang berkeliaran di luar kandang. Inilah rumahnya, negaranya, tanah airnya yang wilayahnya sangat sempit. Bahkan untuknya, Indonesia tidak ada. Yang ada hanya TIM.” Frans terlalu mengenali, memiliki, dan mengartikan TIM melebihi para pejabat, seniman, dan pengamat seni. Tempat bernama TIM. Frans memihak dan memuja TIM dengan segala muslihat, drama, dan bualan. Ia paling mengerti TIM saat para seniman di situ sedang meraih pengesahan atau kemonceran. Frans di kubu “tak resmi” di agenda-agenda TIM tapi menganggap tempat itu segala untuk hidup keseharian. Di TIM, ia hidup: bergerak dan bicara. Ia tak menjadikan TIM adalah ranjang atau tempat tidur terindah. Afrizal Malna mengisahkan Frans memilih tidur di emper-emper toko di sekitar Cikini Raya atau di belakang hotel murah di Gondangdia. Tempat untuk tidur dekat dengan TIM. Tokoh sengaja tidur di TIM saat berhasil masuk ruang teater. Di panggung, ada pentas. Di kursi penonton, ia memilih tidur selama pertunjukan berlangsung. Tidur itu sikap “menolak” atau menuduh garapan-garapan seni mendapat panggung di TIM belum mencapai kaidah-kaidah estetika atau menguak puncak-puncak makna: historis dan filosofis.

Baca juga:  Makna Nomor 1 dan 2 dalam Literatur Keislaman

Frans, penantang pembakuan, ketetapan, atau keumuman. Di TIM, saat ia berjalan atau duruk, kalimat-kalimat memukul sering diucapkan. Frans menganggap itu revolusioner atau ralat terbesar bagi kalangan seniman, birokrasi, dan pemikir terlalu lama “ketiduran” di pelbagai acara diselenggarakan di TIM. Pada adegan seperti di pentas teater, Frans mengejutkan orang-orang: “Dor! Otak, elu semua tahu, otak ini bukan dibuat dari susunan buku. Tapi dari debu jalanan. Berpikir di jalanan berbeda dengan berpikir dalam kamar!” Dua tanda seru dilemparkan ke para pemuja buku berlagak pintar. Tanda seru diberikan lagi melalui mulut Frans: “Intelektualitas itu bukan museum, tapi tahi yang mengering di bawah panas matahari!” Semua itu tercantum dalam cerita, bukan risalah protes atau lembaran dalam demonstrasi memikirkan nasib TIM abad XXI.

Pada suatu hari, “aktor” bernama Frans itu mengajak Jijok untuk bertapa atau tidur di depan emper toko sepeda, menghindari bau di toko roti. Bau menghinakan mereka, membuat “gila rasa lapar”. Celotehan Frans masih diarahkan ke TIM seperti diucapkan di depan tembok keras. Frans berucap penuh muak: “Gue udah bilang. Semua itu teater palsu. Semua pertunjukan di TIM itu adalah teater palsu. Teater yang benar itu ada di sini. Di atas kardus ini. Di depan emper toko. Di pinggir jalan. Di atas debu… saat kita melarikan dairi dari sisa-sisa bau roti.” Kita pasti tertawa jika mendengar Frans meralat omongan setelah melihat TIM semakin apik, molek, dan megah. Pertunjukan teater di situ mungkin telah berubah gara-gara tempat dan suasana. Di akhir cerita, Afrizal Malna seperti pemilik nostalgia TIM atau gairah seni di Jakarta. Sederet kalimat: Setelah itu Frans tidak pernah kelihatan lagi. Dia hilang. Lenyap. Seperti semua yang telah berlalu.” Pukau TIM pun berlalu menuruti alur Afrizal Malna meski cerita ditulis saat berada di Berlin, 5 Mei 2015. Di kejauhan, ia menulis TIM dan segala kehilangan atau berlalu.

Baca juga:  Multikulturalisme Bahasa Alquran

Sinisme buatan Afrizal Malna terbaca lagi di sela polemik seru mengenai nasib TIM. Kita belum ingin menjadikan sinisme itu bunting atau meledak. Kita reda sejenak dengan pemberitahuan Goenawan Mohamad (2018) mengenai eksperimen bernama TIM. Goenawan Mohamad turut dalam sejarah TIM dan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta. Pada peringatan 50 tahun TIM, ia pun menulis: “Tapi dari sisi apa pun TIM satu produk yang historis. Inilah tempat pertama dalam sejarah Indonesia di mana pelbagai jenis ekspresi seni mendapat ruang yang luas, dengan dana yang memadai, disertai kebebasan kreatif yang cukup.” Sejak mula, TIM itu digerakkan dengan eksperimen atau “coba-coba”. Tahun demi tahun berlalu, TIM tetap ada ingin menampik seribu tapi sering disodorkan orang-orang mulai mengalami kejenuhan, muak dengan birokrasi, dan kemunduran ide-ide. TIM tak seperti dulu. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top