Pilihan kata mengawali politik semakin rumit. Sejak mula, politik itu dusta atau muslihat menempatkan kata-kata dalam capaian dan kejatuhan. Kemahiran kata menjadikan lakon-lakon politik masa lalu di Yunani seru, acuan bagi orang-orang menilik masalah retorika. Sekian kata dianggap “kudus”, memiliki kekuatan untuk tebar pengaruh dalam kekuasaan. Sekian kata juga “basi” dalam pematuhan, perdebatan, dan konflik. Kitab-kitab lama di Yunani dan biografi para orator mengingatkan kata dan politik memang pelik, dari zaman ke zaman.
Di Indonesia, kata-kata menentukan gerak politik melawan kolonialisme. Sejak awal abad XX, kaum pergerakan memiliki pilihan kata dalam bahasa Jawa, Sunda, Arab, Melayu, Belanda, Inggris, dan lain-lain dalam seruan bertema “kemadjoean”, nasionalisme, revolusi, dan lain-lain. Di tatapan mata-politik kolonial, kata-kata bisa menakutkan bila sanggup menggerakkan massa. Kata memungkinkan gugatan melalui tulisan atau omongan-omongan dalam rapat umum. Orang dan kata lekas dilihat dengan mata-tertib oleh kolonial. Orang mengajukan kata-kata gampang dituduh mencipta keonaran, mengganggu ketertiban umum, atau melawan penguasa.
Di kancah politik, kata-kata dimengerti sebagai jargon, slogan, semboyan, atau pekik. Kemunculan tokoh mahir omong mencipta suasana dan peristiwa dengan kata-kata. Keampuhan kata memberi kepastian misi bersama. Kata-kata itu bermakna, termiliki dan “teragungkan”. Ikatan bersama bereferensi kata-kata biasa terucap saat bertemu, pidato, poster, atau risalah politik. Sejarah politik, sejarah kata. Kalangan pergerakan politik “berhitung” keampuhan kata melalui bacaan, renungan, dan pengamatan.
Di politik, kata-kata mungkin melampaui pengertian dalam kamus-kamus. Para penggerak memiliki pilihan kata di hadapan sidang pembaca dan massa. Dulu, kita mengenal sederet tokoh menggugah massa dengan kata-kata: Tjipto Mangoenkoesoemo, HOS Tjokroaminoto, Soerjopranoto, Soekarno, Semaoen, Soetomo, dan lain-lain. Sekian orang itu orator dan penulis, sadar penggunaan kata dalam ucapan dan tulisan. Kata-kata semakin menakjubkan bila digunakan dalam pembesaran serikat, perkumpulan, atau partai politik. Lakon pers pun memerlukan kata-kata untuk memberi kesan garis ideologi dan keberpihakan. Kerja kata-kata itu bersaing dengan nalar-imajinasi iklan telah merasuk di Indonesia.
Sejarah mungkin terasa jauh. Kata-kata tetap saja membentuk babak-babak sejarah Indonesia setelah berpisah dari kolonialisme. Soekarno dan para pejabat rajin mencipta jargon atau slogan bermisi revolusi. Pihak-pihak oposisi bersaing mengumbar kata-kata untuk mengoreksi atau menggugat kekuasaan. Zaman ramai di Indonesia membuat kata-kata berlimpahan mengalami pasang-surut makna dalam politik. Episode kata dan revolusi terbesarkan dalam hajatan demokras. Konon, pemilu itu mula-mula pemilihan kata untuk mendapat suara umum: mengesahkan raihan kekuasaan.
Kita menengok buku berjudul Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999) susunan Herbert Feith. Rekaman hajatan demokrasi saat Indonesia riuh, bergejolak, dan seru. “Pemilihan umum yang diadakan pada September dan Desember 1955 sangat menarik sebagai suatu eksperimen demokrasi,” tulis Herbert Faith. Penjelasan partai-partai politik terbaca. Urusan kampanye pun terdokumentasi dengan tafsir. Buku itu tak memiliki halaman-halaman khusus memuat daftar kata laris digunakan dalam hajatan demokrasi bersejarah. Puluhan atau ratusan kata digunakan dalam merebut suara atau memamerkan kekuatan partai politik.
Kita masih gagal dalam pendokumentasian kata-kata. Logo-logo partai politik masa lalu masih mungkin terlacak dan terkoleksi lengkap. Kita lupun mencatat kata-kata terbukti paling ampuh digunakan kaum politik dalam tebar janji dan memainkan muslihat kekuasaan berlatar 1950-an. Kita beruntung menemukan informasi dalam buku Herbert Faith tentang dampak semboyan dibuat PKI. Semboyan sengaja mencari pengakuan dan keberanian berkonflik: “PNI partai priayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat.” Kita penasaran dengan puluhan slogan, pekik, jargon, dan semboyan digunakan dalam peristiwa bersejarah 1955.
Masa itu berlalu. Kita mengalami Orde Baru dengan “rezim kata” berusia lama. Kata terampuh tentu “pembangunan”. Soeharto dan penggerak Orde Baru membuat pertaruhan besar dalam penciptaan slogan atau jargon. Semua demi stabilitas politik. Muslihat pun dibenarkan agar kata-kata itu bermakna seperti dikehendaki penguasa, tak wajib sesuai kamus-kamus. Kata-kata diajarkan dalam pelbagai acara. Di pendidikan, murid-murid SD saja sudah diajak mengerti “persatuan dan kesatuan”. Pelajaran di sekolah memastikan murid bisa mengartikan: “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Sekian kata dalam bahasa Indonesia diusahakan diterjemahkan dalam pelbagai bahasa daerah. Pembuatan jargon atau slogan itu “mematuhkan” dan mencipta keseragaman. Orang-orang kadang menganggap pilihan kata itu agung, santun, filosofis, dan merdu. Dulu, kata-kata menanggung pamrih-pamrih politik ketimbang masalah ejaan atau tata bahasa.
Tahun-tahun menjelang keruntuhan rezim Orde Baru, pembuatan slogan dan jargon oleh oposisi atau kubu melawan Soeharto mulai mendapat pendengar dan pembaca berdampak besar. Kata-kata itu terucap, tercetak di koran, tercantum dalam poster dan selebaran. Kata dan politik memasuki babak menegangkan: menang-kalah. Produksi makna dilakukan berisiko terjadi kekerasan, pemenjaraan, penculikan, atau pencekalan. Kata-kata dalam politik membuat Indonesia semakin pelik. Hajatan demokrasi lekas terselanggara pada 1999. Kita diajak mengartikan kata-kata berupa jargon, semboyan, atau slogan sah dalam pemilu. Kata-kata menjelaskan politik. Kata-kata saling “berseteru” gara-gara ulah kaum politik. Kita tetap saja belum memiliki “kamus” lengkap untuk kata-kata bermunculan dalam pemilu-pemilu setelah keruntuhan rezim Orde Baru (1998).
Kini, kita menapaki masa-masa selalu diakui memenuhi kaidah-kaidah demokrasi. Segala saran dan kecaman agar Pilkada 2020 ditunda mustahil dipenuhi DPR dan pemerintah. Hajatan demokrasi tetap mau dilaksanakan tanpa ada pemahaman “hak pilih” atau “hak hidup” seperti sindiran Ignas Kleden. Keruwetan mengartikan demokrasi dan pandemi malah ditambahi masalah di Wonogiri, Jawa Tengah. Dua kubu mau meraih kekuasaan mencipta situasi sulit gara-gara pilihan kata: nyawiji.
Dua kubu menggunakan diksi berbahasa Jawa itu demi menang. Konon, masing-masing pihak menganggap nyawiji itu kata (paling) bermakna bermaksud (kelak) memajukan Wonogiri (Jawa Tengah). Publik awam mengartikan nyawiji itu bersatu tapi memicu jengkel melihat ulah dan sikap politik berdalih hajatan demokrasi. Kata itu justru (paling) bermasalah dalam babak-babak Pilkada 2020. Kita tergoda ingin mencatat kata-kata dipilih pasangan-pasangan ingin menang di seantero Indonesia. Ingin pasti melelahkan saat hidup kita sudah lelah oleh wabah. Begitu.