Sedang Membaca
Membersihkan Wajah Nabi di Barat
Avatar
Penulis Kolom

Kontributor di Islami.co, Tinggal di Yogyakarta

Membersihkan Wajah Nabi di Barat

737170d2ab402b5a3340e70dc5ba3700

Pencemaran atau bahkan fitnah dan idealisasi sosok Muhammad tidak bisa dijadikan basis yang kuat untuk menjalin hubungan yang saling menguntungkan di hampir separuh umat manusia (hlm. 350)

Tulisan sederhana ini berusaha mengulik hal-hal tersurat dan tersirat karya monumental dari guru besar Universitas Edinburgh ini. Sebuah karya, kini sudah berusia lebih dari setengah abad, yang patut untuk kita apresiasi kehadirannya.

Pada bab pertama, Watt menunjukkan kepada kita dua pandangan yang kontras mengenai sosok nabi Muhammad. Kisah ikut sertanya Nabi dalam kafilah dagang menuju Syam bersama pamannya, Abu Thalib, lalu mendapatkan jamuan dari pendeta Bahira yang menunjukkan ciri-ciri kenabian pada diri Muhammad kecil menjadi titik tolak Watt mengawali tulisannya. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad telah diramal menjadi orang besar sejak usia remajanya, bahkan sebelum kelahiran yang ditandai dengan hal-hal supernatural. Sebaliknya, orang Eropa memandang Muhammad dengan sangat berbeda. Pada abad pertengahan, misalnya, namanya diplesetkan menjadi “Mahound”, sebuah nama setan, pangeran kegelapan. Dalam perang Salib, penganut Islam dianggap sebagai orang-orang biadab, kejam, dan buas. Pandangan semacam ini terus berlanjut dan diperparah oleh sumber-sumber kesarjanaan modern yang tidak menghapus stigma tersebut (hlm. 18-19).

Jabal Muhammad Buaben dalam disertasinya di Universitas Birmingham The Life of Muhammad SAW in British Scholarship: A Critique of Three Key Modern Biographies of the Prophet Muhammad (1995) membabarkan dengan benderang bagaimana pandangan bias sejumlah sarjana Eropa terhadap sosok Nabi Muhammad sebelum Watt, khususnya Sir William Muir dan David Samuel Margoliouth. Beberapa tema favorit untuk mencemarkan atau mencibir nabi Muhammad dan Islam itu diantaranya Nabi dituduh terserang penyakit epilepsi, bernafsu bejat, termasuk kenabian Muhammad yang dianggap sebagai penyimpangan dari Kristen. Nabi dituduh sebagai seorang penipu, yang demi kepuasan dan nafsunya, menyebarkan ajaran-ajaran yang ia sendiri tahu itu palsu (hlm. 351). Karangan Husain Haikal Hayatu Muhammad, dalam beberapa hal, juga menanggapi sejumlah prejudice dan stereotype sarjana Barat terhadap Nabi.

Baca juga:  Muhammad Al-Fayyadl: Tokoh, Kota, Buku

Pada titik inilah kajian Watt tentang sejarah Nabi Muhammad kiranya menjadi semacam arah baru yang penting dalam perjalanan panjang kajian Islam di Barat. Dari yang semula menganggap Islam sebagai musuh, lalu menjadi alat dominasi kolonialisme, kemudian berkembang sebagai  bagian dalam membangun hubungan antarperadaban. Semangat bersahabat dan simpatik, dengan demikian, tidak lain menjadi sumbangsih berharga dari professor Watt dalam kesarjanaan Barat. Dia menjadi pioneer yang mengawali studi kesarjanaan tentang Islam dan Muhammad dengan pendekatan yang lebih simpatik, sebuah uluran tangan dalam rangka membangun peradaban umat manusia menjadi lebih baik. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa karya-karya kesarjanaan Barat setelahnya seperti Amstrong, Hazleton, dan Martin Lings merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan Watt.

Rekonstruksi Sejarah Nabi dan Beberapa Spekulasi

Perjalanan kehidupan nabi Muhammad dan terbentuknya komunitas Muslim periode awal yang ditulis oleh Watt berhasil mencuri perhatian masyarakat Eropa. Dengan menggunakan beragam pendekatan ilmu-ilmu sosial modern, karya ini berhasil menghadirkan sosok nabi Muhammad sebagai seorang pembaru sosial dan moral. Nabi Muhammad berhasil membangun sistem keamanan sosial dan merombak bangunan stuktur keluarga yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia berhasil membangun suatu kerangka agama dan sosial tanpa memandang perbedaan ras manusia. Dengan sejumlah prestasinya itu, maka gugurlah tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar kepada nabi Muhammad. Tindakan-tindakan Nabi justru menunjukkan bahwa dia memiliki standar moral yang lebih tinggi dari apa yang ada di zamannya (hlm. 353).

Baca juga:  Membaca Aktivisme Gerakan Politik Indonesia: Dari NU hingga Syiah

Sebagai negarawan, kualitas kepribadian nabi Muhammad yang mengagumkan mendasari keberhasilan Islam periode awal yang selanjutnya menjadi agama besar dunia. Kemampuan taktis, diplomatis, dan administratif Nabi merupakan fondasi utama kebesarannya. Setidaknya, menurut Watt, terdapat tiga kualitas Nabi sebagai negarawan: kemampuan membaca masa depan, kearifan sebagai seorang negarawan, yakni membuat kebijakan dan kelembagaan yang konkret sebagai upayanya menerjemahkan garis-garis besar dan kerangka konseptual dalam Al-Quran, dan kepiawaiannya sebagai seorang administrator yang memberikan tugas-tugas administrasi kepada orang-orang yang tepat. Ketiga kemampuan ini yang memungkinkan Islam tetap bertahan, bahkan semakin berkembang, pasca wafatnya sang Nabi (hlm. 356-358).

Atas dasar pertimbangan kepentingan negara Madinah, misalnya, Nabi mengambil keputusan untuk mengusir dan membunuh kaum Yahudi di Madinah. Mereka, singkatnya, telah berpaling atau mengkhianati Perjanjian Madinah yang telah disepakati bersama. Karena pandangan-pandangan Nabi sebagai seorang negarawan ini pula, lanjutnya, masyarakat Madinah lebih memilih nabi Muhammad sebagai pemimpin mereka ketimbang Abdullah bin Ubay, yang menurutnya, pandangan-pandangannya tidak mencerminkan kenegarawanan yang diperlukan pada saat itu. Dalam konteks politik kenegaraan Nabi ini pula Watt memberikan alasan-alasan di balik pernikahan poligami Nabi. Semua itu, lanjutnya, untuk memperkuat posisi Islam secara politik yang sedang dirintisnya.

Dalam hal kenegarawanan ini salah satu pandangan Watt yang menuai kontroversi yakni terkait pandangannya terhadap paman Nabi, Abbas bin Abdul Muthalib. Menurutnya, peran Abbas dalam sejarah Islam terlalu dibesar-besarkan. Watt menyangkal pendapat dalam sirah Nabi klasik yang menyatakan bahwa Abbas telah masuk Islam pada periode awal. Hal ini, menurutnya, tidak lepas dari campur tangan dinasti Abbasiyah (750-1258) dalam penulisan sirah Ibnu Hisyam dalam rangka untuk membersihkan nama leluhurnya. Pandangan ini, uniknya, juga dikonfirmasi kebenarannya oleh sebagian sejarawan Muslim.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (37): Hikayat as-Sholihin, Mengurai Hikmah dengan Kisah

Husain Mu’nis, sebagaimana ditulis oleh Nursamad Kamba, dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada satu pun bukti yang memperkuat keislaman Abbas di periode awal. Sebaliknya, yang terjadi adalah al Abbas tetap dalam agama musyriknya sampai penaklukan Mekah (Mu’nis: Tanqiyah: 33). Sebaliknya, Watt berpandangan bahwa peran Abu Sufyan yang gemilang sebelum penaklukan Mekah justru dikaburkan oleh para sejarawan (hlm. 307-308).

Di sisi lain, pandangan Watt terkait Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan menuai sejumlah kontroversi. Yang paling masyhur adalah pandangannya bahwa Nabi memiliki imajinasi kreatif

“Dalam hal Muhammad, saya berpandangan bahwa terdapat kedalaman imajinasi kreatif, dan gagasan-gagasan yang dilahirkan umumnya benar dan masuk akal. Namun, tidak berarti semua gagasan Quranik benar dan bisa diterima. Terutama sekali, setidaknya, ada satu hal yang agaknya sukar diterima, yaitu gagasan bahwa “wahyu” atau produk imajinasi kreatif lebih superior dari tradisi manusia normal sebagai sumber fakta sejarah yang sebenarnya” (hlm. 361).

Judul Buku      : Muhammad: Melihat Sang Nabi sebagai Negarawan

Judul Asli        : Muhammad: Prophet and Statesman

Penulis             : William Montgomery Watt

Penerjemah      : M. Isran

Editor              : Edi AH Iyubenu

Penerbit           : IrCiSoD, Yogyakarta Cetakan: Pertama, November 2020

Jumlah Halaman: 384

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top