Sedang Membaca
Batang-Pekalongan: Republik Megono Raya

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Batang-Pekalongan: Republik Megono Raya

megono

Pernahkah Anda menikmati hidangan nasi cacahan nangka muda dan parutan kelapa khas warga Batang-Pekalongan ini?

Saya sendiri pertama menikmatinya justru saat kuliah di Jogja, bukan dari tempat asal makanan tersebut. Setelah saya pikir-pikir, nasi jalanan ini yang mengantarkan saya mempersunting gadis asal kota Batang. Eh, intermezo aja. Tidak ada hubungannya kali, ya.

Membuat Nasi Megono sangatlah mudah. Kita yang bukan warga asli Batang-Pekalongan pun bisa. Apalagi jika Anda tengah singgah di kota ini. Mudah ditemui di warung tenda, angkringan, pasar pagi, bahkan warung klontong di kampung-kampung.

Hal ini menandakan Megono menjadi menu wajib bagi warga yang mayoritas petani. Bahkan biasa disajikan di acara-acara slametan dan ngirim (menghidangkan ke petani) saat garap sawah.

Nasi berbalut daun jati/pisang ini masih membumi di tengah arus makanan-makanan cepat saji, fastfood. Nasi Megono adalah simbol kehidupan warga desa Alas Roban Raya. Hidup yang sederhana. Opo anane. Gak neko-neko. Pagi ke sawah, pulang dari sawah istirahat, sholat, makan. Sore ke sawah lagi. Begitu seterusnya.

Bahannya yang dicampur, diolah bersama nasi, adalah makna gotong royong. Hidup di desa tak seperti di kota yang individualis. Mengejar sesuatu yang inginnya serba cepat, sepertihalnya makanan cepat saji.

Baca juga:  Ziarah ke Makam Mbah Moen di Mekkah

Ciri khas warga desa, jika berpapasan—bertemu di jalan, senyum, menundukkan kepala sebagai tanda menyapa—penuh kebersamaan, susah senang dinikmati bersama. Itulah potret realitas kehidupan rakyat kecil.

Megono bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas kehidupan. Warisan nenek moyang yang mudah diturunkan, tanpa resep khusus dan pasti halal.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top