Sejarawan muda yang fokus pada kajian tatanan lama Jawa. Ia mendapat gelar sarjana dari Universitas Sebelas Maret (Juli 2019) setelah menempuh program studi Pendidikan Sejarah dengan fokus kajian sejarah lokal. Ia sekarang sedang menyelesaikan penulisan buku "Bantheng Terakhir Kesultanan Yogyakarta: Riwayat Raden Ronggo Prawirodirdjo III dari Madiun, sekitar 1779-1810" yang akan diterbitkan oleh KPG pada 2022 dan sedang menempuh pendidikan magister di almamater yang sama. Selain pendidikan formal, ia pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Daarul Ahkaam Uteran Madiun [2013] dan Pondok Pesantren Darul Rohmad MAN 2 Kota Madiun [2013-2015].

Telaah Jaringan Tegalsari dalam Proses Islamisasi di Wilayah Madiun Selatan

Madiun

Bicara Madiun tidak melulus soal pecel, Kampung Pesilat, Kota Pendekar bahkan soal PKI atau atribut yang sengaja disematkan kepada daerah di Jawa Timur bagian barat tersebut. Madiun merupakan wilayah yang diapit oleh Gunung Lawu dan Pegunungan Wilis yang memiliki sejarah panjang dari masa ke masa. Salah satu episode penting dalam sejarah Madiun yang dampaknya dapat dirasakan hingga hari ini yaitu masifnya proses Islamisasi wabil khusus di wilayah Madiun selatan pada abad XVIII-XIX.

Wilayah Madiun selatan meliputi empat kecamatan yaitu: Kecamatan Dolopo; Kecamatan Dagangan; Kecamatan Kebonsari; dan Kecamatan Geger. Empat kecamatan di wilayah Madiun selatan tersebut membentuk kultur tersendiri yang berbeda dengan wilayah di Madiun lainnya. Kultur yang terbentuk hingga sekarang merupakan kristalisasi dari sebuah proses panjang dialektika peradaban. Islam begitu kental mewarnai peradaban di wilayah Madiun selatan. Hal tersebut tidak lepas dari peran jaringan Pesantren-Perdikan Tegalsari [Ponorogo] dalam proses Islamisasi di wilayah tersebut.

Jaringan Pesantren-Perdikan Tegalsari [Ponorogo] terdiri dari dzurriyah langsung dari Kiai Ageng Muhammad Besari [Kiai Pesantren-Perdikan Tegalsari I, 1742-1773] dan para santri yang pernah mencecam keilmuan Islam di Pesantren Gebangtinatar yang tersohor dimasanya tersebut. Pada abad XVIII-XIX diaspora dzurriyah dan santri Tegalsari ke wilayah Madiun selatan sangatlah massif, diantaranya: Raden Mas Bagus Harun [kelak Kiai Ageng Basyariah, leluhur Presiden Gus Dur] Sewulan; Kiai Ageng Muhammad bin Umar [leluhur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono] Banjarsari; Kiai Zamzami [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Nyai Abdurrohman] Dagangan; Kiai Mursada atau yang lebih dikenal dengan Kiai Mursyid [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Kiai Ya’qub] Pintu Dagangan; Kiai Aruman [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Kiai Ismail] Prambon; Kiai Nawawi [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Kiai Ismail] Tawangrejo Uteran]; Nyai Munodo [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Nyai Buchori] Sareng Geger; dan Kiai Ma’at Zainal Abidin [cucu Kiai Ageng Muhammad Besari dari Kiai Muhammad Ilyas sekaligus Pengulu Madiun masa Bupati Pangeran Ronggo Prawirodiningrat, 1822-1859].

Baca juga:  Mengenal Alawiyyah, Tarekat Para Habib

Dua nama paling awal yaitu Raden Mas Bagus Harun [kelak Kiai Ageng Basyariah] dan Kiai Ageng Muhammad bin Umar Banjarsari merupakan santri senior dari Kiai Ageng Muhammad Besari bahkan Kiai Ageng Muhammad bin Umar kelak diambil menantu sang kiai pertama Tegalsari tersebut untuk dinikahkan dengan salah satu putrinya bernama Nyai Aisyah. Kiai Ageng Basyariah dan Kiai Ageng Muhammad bin Umar dalam sejarahnya merupakan pendiri sekaligus kiai pertama Pesantren Sewulan dan Banjarsari. Tidak berhenti disitu, kedua desa di wilayah Kecamatan Dagangan sekarang tersebut pernah dianugerahi status desa perdikan oleh raja Jawa, masing-masing oleh Sunan Pakubuwono II dari Surakarta dan Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta.

Martin van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (2015) mencatat bahwa berdasarkan survey yang dilakukan oleh Belanda mengenai pendidikan pribumi yang dilakukan pertama pada 1819, hanya ada lima desa perdikan yang secara eksplisit dipergunakan untuk pesantren, dua diantaranya terdapat di wilayah Madiun selatan. Dua desa tersebut tidak lain adalah Sewulan dan Banjarsari. Dua pesantren di wilayah Madiun selatan tersebut menjadi pusat studi keislaman terkemuka di Jawa, selain Tegalsari sendiri yang menjadi tujuan para santri baik dari wilayah pedalaman maupun pesisir Jawa. Santri dan dzurriyah Kiai Sewulan dan Banjarsari tersebut dalam perjalanannya menyebar di wilayah Madiun selatan bahkan di luar wilayah eks Karesidenan Madiun.

Baca juga:  Sejarah dan Asal-usul Dinasti Umayyah

Selain generasi kedua, peran generasi ketiga keturunan Kiai Tegalsari terhitung cukup signifikan dalam proses Islamisasi di wilayah Madiun selatan, diantaranya Kiai Zamzami Dagangan; Kiai Mursada atau yang lebih dikenal dengan Kiai Mursyid  Pintu Dagangan; Kiai Aruman Prambon; Kiai Nawawi Tawangrejo Uteran; Nyai Munodo Sareng Geger; dan Kiai Ma’at Zainal Abidin. Sebagian besar diaspora dari mereka memulai syiar Islam dengan membuka wilayah baru untuk didirikan pemukiman dan pesantren sebagai media syiar Islam lewat pendidikan untuk masyarakat di sekitarnya. Selain babad dan mendirikan pesantren, ada sebagian dari generasi ketiga keturunan Kiai Tegalsari yang memegang jabatan penting strategis seperti Kiai Ma’at Zainal Abidin yang pernah menjabat sebagai pengulu Madiun.

Jaringan dzurriyah dan santri Tegalsari inilah yang mengambil peran penting dalam proses Islamisasi di wilayah Madiun selatan abad XVIII-XIX. Keturunan dan santri Pesantren-Perdikan Tegalsari telah mewarnai khazanah peradaban masyarakat Madiun pada umumnya. Meskipun era dzurriyah dan santri Tegalsari wabil khusus dari generasi kedua dan ketiga telah usai namun, nama mereka tetap harum bagi masyarakat luas hingga hari ini.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top