Arivaie Rahman
Penulis Kolom

Arivaie Rahman, M.A. Akademisi dan peneliti tafsir nusantara, lulusan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meminati studi Alquran, tafsir, hermeneutika, pemikiran Islam klasik dan kontemporer.

Tuan Guru Sapat: Mufti yang Menolak Digaji

Tuan Guru Sapat atau bernama lengkap Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari lahir di Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan sekitar tahun 1284 H/ 1867 M. Ketenarannya kerap dikaitkan dengan nama leluhurnya, ulama besar Nusantara abad 19 M, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, pengarang kitab fikih “Sabil al-Muhtadin”.

Ibunya, Shafura wafat ketika usia Tuan Guru masih dua bulan. Selepas itu ayahnya Muhammad Afif pergi merantau ke pulau Bangka. Hak asuh Tuan Guru diambil alih bibinya Sa’idah dan neneknya Ummu Salamah, pihak keluarga ibunya ini sangat religius. Sehingga Tuan Guru kecil sudah mendapat pengajaran dasar-dasar beribadah dan membaca al-Qur’an.

Nyaris usia 8 tahun Tuan Guru telah khatam mengaji Alquran. Kemudian Tuan Guru memperoleh tempaan tata bahasa Arab oleh kerabatnya bernama Abdurrahman Muda. Kecerdasan dan daya serapnya terhadap ilmu pengetahuan kian meningkat pesat.

Setelah cukup matang, Tuan Guru diserahkan kepada Sayid Wali, seorang ulama otoritatif dan mempuni di wilayah Martapura. Melalui Sayid Wali inilah Tuan Guru belajar pengetahuan Islam yang lebih tinggi, gurunya ini pula yang menganjurkannya melanjutkan studi ke Mekah. (Imran Effendy, Pemikiran Akhlak Syekh, 2006: 14-15; A. Muthalib, Tuan Guru Sapat, 2009: 46-50).

Menyepuh Emas dan Berniaga: Menggapai Mimpi

Akhir abad 19, kondisi Kalimantan masih belum stabil, perang Banjar masih berkecamuk (1859-1905), perekonomian anjlok. Tuan Guru terpaksa menunda niat mulianya ke Tanah Suci. Namun tidak lantas pupus, Tuan Guru mengambil alternatif belajar ke Amuntai sembari menyepuh emas permata, keahlian lokal Martapura yang terus ditekuninya hingga sebelum diangkat menjadi mufti.

Di Amuntai, Tuan Guru melepas masa lajang, namun sekitar tiga tahun kemudian beliau berpisah dengan istrinya. Tuan Guru merantau ke Padang (Sumatera Barat), di tempat ini beliau meneruskan usaha menyepuh emas dan turut membantu pamannya Muhammad As’ad berdagang hingga ke Padang Sidempuan, Tapanuli, Barus dan Natal. (Imran Effendy, Pemikiran Akhlak Syekh, 2006: 16; A. Muthalib, Tuan Guru Sapat, 2009: 51-55).

Baca juga:  Potret perjuangan Ulama (7): Ramalan Imam Abu Hanifah kepada "Santri" Miskin

Hasil usaha dan keuntungan yang diperoleh berkat menyepuh emas dan berbisnis dijadikannya sebagai modal menempuh perjalanan ke Mekah. “Usaha tidak pernah mengkhianati hasil” begitu pepatah untuk menggambarkan tekad dan kesungguhan Tuan Guru menuntut ilmu serta menggapai cita-cita.

Menimba Ilmu di Tanah Suci

Tahun 1886, Tuan Guru berangkat ke tanah Hijaz melalui kapal laut. Selama empat tahun Tuan Guru menghabiskan masa studinya di Mekkah, berguru kepada beberapa ulama terkemuka misalnya, Sayid Bakri Syatta al-Dimyathi (pengarang kitab I’anat al-Thalibin) gurunya inilah yang memberinya gelar “Siddiq”, Syekh Ahmad Dimyathi, Ahmad Bapadhil, Umar Sambas, termasuk juga Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

Beberapa orang kawan seperguruannya misalnya, Jamil Jambek al-Minangkabawi, Ahmad Sayuthi Singkawang, Mukhtar al-Bughuri, Abdul Qadir al-Mandili, Thahir Jalaluddin al-Minangkabawi, Sayid Usman al-Batawi (mufti Batavia), Muhammad Nur (mufti Langkat), Hasan Maksum (mufti Deli), Muhammad Zain (mufti Perak), begitu pula dengan “Sayid Ulama Hijaz” Nawawi al-Bantani.

Melihat status kesezamanannya, boleh jadi Tuan Guru juga sempat bertemu Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) dan Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) sebab keduanya juga berguru pada satu ulama reformis berpengaruh, Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Tetapi Imram Effendy dalam Pemikiran Akhlak Syekh, 2006: 18, meragukan fakta ini karena keduanya jauh lebih junior.

Tuan Guru melanjutkan studinya di Madinah, kurang lebih selama dua tahun. Konon Tuan Guru sempat berbait tarekat Sammaniyah, tarekat yang lumrah diamalkan keturunan Arsyad al-Banjari. Namun, tidak banyak data tentang itu. Selesai di Madinah beliau tidak langsung pulang, tetapi kembali ke Mekah. Dengan kapasitas berbeda, yakni sebagai pengajar di Masjidil Haram. (A. Muthalib, Tuan Guru Sapat, 2009: 57).

Jabatan Mufti Kerajaan

Setelah kembali dari Mekah tahun 1893, Tuan Guru sempat singgah di Batavia (Jakarta) dalam perjalanannya menuju Bangka. Dalam persinggahan tersebut, Tuan Guru terlibat perkenalan, diskusi, dan adu argumen dengan tokoh-tokoh ulama. Realita ini menggiring namanya memasuki bursa daftar kandidat kuat mufti Batavia. Namun Tuan Guru tidak tergiur, beliau menolaknya dengan halus, alasannya hendak menemui ayahnya yang telah terpisah sedari bayi. (A. Muthalib, Tuan Guru Sapat, 2009: 65).

Baca juga:  Kajian yang Keren: Belut dalam Pemikiran Hukum Islam

Lebih sekali Tuan Guru menolak diangkat menjadi mufti, sebuah jabatan otoritatif dan bereputasi tinggi. Kedudukan bukan hanya mengatur soal agama, tetapi menjalar pada kebijakan politik, sosial, bahkan urusan ekonomi. Di bidang agama, lembaga ini setidaknya mengatur masalah pernikahan, perceraian, dan pembagian harta warisan (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, 1999: 251; Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan, 2012: 37-39).

Sesampainya di Bangka Tuan Guru diberi mandat mengisi pengajian agama yang rutin diampu ayahnya. Sejak saat inilah sebenarnya julukan “Tuan Guru” benar-benar melekat padanya. Ketenaran itu mendapat respon beragam, sebagian orang-orang tempatan seakan sintimen. Kecemburuan sosial ini meyakinkan Tuan Guru untuk hijrah ke Semenanjung Malaysia, setelah sebelumnya kembali ke Martapura.

Di Malaysia, Tuan Guru menyambung silaturahim dengan beberapa koleganya alumni Mekah. Kedatangan Tuan Guru disambut semarak, layaknya ulama besar. Beliau turut ditawari menjadi mufti kerajaan. Namun Tuan Guru kukuh tidak tertarik dengan kedudukan spesial itu. Beliau memutuskan untuk kembali ke Bangka, sembil singgah di Sangapura.

Di Sangapura, Tuan Guru bertemu orang Indragiri dan tertarik atas ajakannya membuka penghidupan. Tahun 1908 Tuan Guru berhijrah ke Sapat, Indragiri. Di tempatnya yang baru inilah Tuan Guru ditawari kembali menjabat sebagai mufti kerajaan. Pada awalnya tawaran itu ditolaknya lagi, namun pihak kerajaan berulang-ulang membujuknya.

Akhirnya Tuan Guru menerima, dengan syarat beliau diizinkan tidak menetap di istana ibukota kerajaan, tidak perlu diberi gaji, dan diperlakukan sama seperti rakyat biasa. Setelah disepakati, Tuan Guru dilantik menjadi Mufti Kerajaan Indragiri (1327-1354 H/ 1910-1935M) dan tetap bermukim di kampung Hidayat, Sapat. (A. Muthalib, Tuan Guru Sapat, 2009: 71-79).

Penolakannya diangkat menjadi mufti menjadi satu sisi yang menarik. Padahal, mayoritas teman sejawatnya lulusan Mekah seperti yang telah disebutkan di atas, menyandang jabatan itu. Bahkan Tuan Guru mencatat ada sembilan orang kerabatnya yang menduduki jabatan mufti dan ada sebelas orang lainnya menjabat sebagai qadhi. (Abdurrahman Siddiq, Syajarat al-Arsyadiyah, 1356 H: 73-74).

Baca juga:  Melepas Gus Im: Membaca Tanda-Tanda

Ulama Produktif

Tuan Guru yang luhur, tulus, dan ikhlas ini tutup usia pada 4 Sya’ban 1358 H / 18 September 1939 M. Meski memiliki kesibukan berkerja, mengajar, dan memberi fatwa semasa hidupnya, ternyata Tuan Guru masih menyempatkan diri untuk menulis banyak karya seputar sosial-keagamaan. Beberapa di antaranya masih menjadi bahan ajar di pengajian dan Majelis Taklim, 10 karyanya yang penulis miliki yaitu:

Asrār al-Shalāh min ‘iddat Kutub al-Mu’tamidah (1320 H/1902 M); Al-Tadzkirat Linafsī wa Liqāshīrin Mitslī (1324 H/ 1906); ‘Amal Ma’rifat Serta Taqrīr (1332 H/ 1914 M); Syaīr Ibārāt dan Khabbar Qiyāmat (1332 H/ 1914 M); Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam (1334 H/ 1915 M); ‘Aqa’id al-Imān (1338 H/ 1919 M); Majmu’ al-Ayāt wa al-Ahādits fī Fadhāil al-‘Ilm wa al-‘Ulama wa al-Muta’allimin wa al-Mustami’in (1345 H/ 1927 M); Syajarat al-Arsyadiyah al-Banjariyah wamā ul-Hiqabiha (1350 H/ 1932 M); Takmilat Qaul al-Mukhtashar (1351 H/ 1932 M); dan Mauizhat Linafsī wa Liamtsālī min al-Ikhwān (1355 H/ 1936 M).

Keseluruhan karya Tuan Guru tersebut ditulis menggunakan aksara Arab berbahasa Melayu, populer dikenal dengan istilah tulisan “Jawi”. Semua karya-karya ini diterbitkan di negeri jiran Singapura, tepatnya di penerbit Mathba’ah al-Ahmadiyah yang didirikan oleh Raja Muda Riau Muhammad Yusuf tahun 1894. (Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, 1999: 137).

Berkat dedikasi Tuan Guru yang tinggi, namanya “Syekh Abdurrahman Siddiq” diabadikan sebagai nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bangka Belitung dan nama gedung di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Auliaurrasyidin, Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau. (RM)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top