Di muludan atau rajaban orang miskin duduk mentok dekat parkiran, di tempat yang paling belakang. Sebagian dari mereka sibuk kelimpungan mengurusi camilan dan mengatur kendaraan. Sedari awal mereka memasangan tenda, menyervis keran air, dan mengatur kabel listrik. Setelah acara pun, sejadah gulung dan sampah masih menjadi urusannya.
Orang miskin hampir tidak punya kesempatan untuk mendengarkan ceramah dengan santai. Mereka diusik untuk terus menjadi juru laden dengan memakai mukena yang cetian atau kopiah hitam luntur kecoklatan. Banyak di antara jamaah yang absen sebab harus bergulat dengan jadwal kerjanya, seperti shift malam, lembur, dikejar deadline, atau mengerjakan serabutan lainnya.
Begitu menyedihkannya, kemiskinan selalu diasiosiasikan dengan nasib. Jamak diimani bahwa miskin merupakan ujian Allah. Pemahaman seperti ini kerap kali menjadi dalih atas keengganan memecah masalah kemanusiaan ini. Elit religius lebih suka menghakimi mereka karena lebih mementingkan pekerjaannya, katanya itu duniawi. Seolah-olah mereka yang miskin karena kemauan dan ulah sadarnya. Seolah-olah kontrak kerja, upah yang tidak layak, maupun laba seadanya merupakan tujuan tertinggi mereka.
Hari-harinya adalah ikhtiar, mencangkul atau mengimpit bakul bukan untuk menjadi kaya tapi menyambung hidup yang Allah titipkan kepadanya. Dagang dan hutang, tani dan rugi, gawe dan capek, deritanya sepanjang masa. Negara sudah berlaku zalim, dari pajak sampai kebijakan soal kontrak yang tidak memihaknya. Pasar kapitalis pun demikian telah berbuat aniaya, suka-suka memperlakukan pekerja. Mereka diabaikan tanpa kejelasan tunjungan, dana hari tua, dan asuransi. Rakyat dan umat nyata-nyata dimiskinkan.
Keadaan ini bahkan lebih buruk, ketika cara beragama kita pun turut serta bersikap tidak ramah pada soal kemiskinan. Kita lebih suka memamerkan uang infak masjid saban jumat dan mengubin dindingnya sebagai program tahunan DKM. Kita lebih suka mencela supir ojek yang makan di warteg saat bulan Ramadan. Kita lebih suka berhaji berkali-kali dengan gelar lagi berlagak angkuh. Jangan-jangan, lebih berkah tiga setengah liter beras sebagai zakat fitrah yang ditunaikan seorang kuli bangunan ketimbang yang datang dari konglomerat tambang. Bisa jadi, idulfitri mengkin lebih bermakna bagi pramuniaga toko swalayan yang tidak mendapat jatah cuti ketimbang baju-baju baru yang bermahal-mahalan itu.
Kita masih berkutat pada diskurus halal dan haram soal makanan, memilih yang tersertifikasi tanpa babi dan non-alkohol saja. Sayangnya kita lupa pada kategori tayib, bahwa berlebih-lebihan dalam makan akan mempertinggi resiko kita terjangkit pada berbagai jenis penyakit. Termasuk tanda dari ketamakan dan rakus. Kita luput pada nilai maruf yang menunjukkan kepantasan, bahwa kita sudah berperilaku mubazir dan takabur.
Cara beragama kita telah berkontribusi pada kemiskinan struktural ini. Puasa kita telah gagal mendidik sensitivitas nurani, membiarkan perempuan yang dilacurkan, perdagangan manusia, hingga tetangga-tentangga yang terlilit pinjaman daring. Barang yang harusnya diqada atau difidyahkan itu, telah habis menjadi makanan sahur yang kita pikir bisa menahan kekhawatiran akan kelaparan di siang hari. Barang yang sama itu, telah kita telah habis di jalan nafsu yang konsumtif dan hedonis untuk berbuka puasa. “Berapa banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apapun dari puasa kecuali hanya lapar dan dahaga.”
Muhammad yang yatim lagi miskin itu telah menjadi Rasul Allah, dengan membawa risalah yang menghapus riba dan membebaskan hamba sahaya. Quran sebagai wahyu yang Qadim itu, telah mengingatkan kita tentang ancaman neraka jahim bagi penikmat kemegahan dan hutamah bagi pengumpul-ngumpul harta. Namun ternyata hati kita masih begitu keras, menyangkal kesadaran fitrah terhadap agama Allah bahwa sebagaimana yang Nabi katakan “Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.”