Sedang Membaca
Apa Pentingnya Beribadah, Bila Allah Tidak Membutuhkan Sedikit pun Ibadah Kita?
Arfi Pandu Dinata
Penulis Kolom

Mahasiswa, Pegiat Toleransi dan Perdamaian di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) dan Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.

Apa Pentingnya Beribadah, Bila Allah Tidak Membutuhkan Sedikit pun Ibadah Kita?

Ibadah Haji Kala Pandemi 169

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

(QS. Az-Zariyat [51] : 56)

Perangkap yang paling banyak menjebak seorang muslim ialah mengenai konsep ibadah. Seakan-akan perbuatan yang pantas disebut ibadah jumlahnya sangat terbatas dan sempit maknanya. Seakan-akan Allah hanya memerintahkan seorang muslim untuk melaksanakan salat, menunaikan zakat, berpuasa, dan melakukan perjalanan haji. Seakan-akan tidak melakukan korupsi, menjaga sungai agar tetap jernih, dan membela hak asasi manusia bukan bagian dari beribadah. Sekian lama ibadah dipahami dengan cara yang amat reduksionis, segala aktivitas keduniawian yang sekuler terkesan jauh dari rahmat Allah dan apabila dikerjakan tidak akan berbuah pahala.

Kita selalu menentang habis-habisan ide tentang sekularisasi yaitu mengenai upaya pemisahan persoalan agama dengan urusan dunia. Meskipun tanpa kita sadari, sebenarnya kitalah pelaku dari ‘program’ sekularisasi itu sendiri. Pikiran kita sendiri bukan yang suka mengkotak-kotakkan? ini ukhrawi dan ini duniawi. Misalnya saja mengikuti pengajian di masjid taklim kita anggap sebagai bagian dari ibadah yang sifatnya ukhrawi, sedangkan bagi kita mengerjakan soal ujian secara jujur belum tentu dipahami sebagai ibadah.

Padahal di satu sisi, kita selalu diajarkan untuk mengucapkan basmalah saat hendak memulai suatu kegiatan dan menutupnya dengan membaca hamdalah. Dari doa bangun tidur, doa bercermin, doa naik kendaraan, hingga doa ketika hujan turun, kita telah menghafalnya sedari kecil. Jika kita pikirkan, bukannya doa-doa tersebut telah menjadikan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan sehari-hari itu menjadi perbuatan yang bernilai ibadah, membawa berkah, walau tampak sederhana.

Baca juga:  Nilai-Nilai Indonesia dan Pendekatan Kebudayaan (1)

Ibadah tidak selalu soal amalan-amalan yang sukar, panjang, dan berbelit, yang tampaknya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang telah menempuh pendidikan agama secara formal. Kita sebagai orang yang biasa-biasa saja, yang hanya berbekal kesanggupan membaca surah Alfatihah dan zikir tahlil, mengapa merasa pesimis untuk mengagungkan Allah? Apakah doa kita tak akan didengar-Nya? Bukankah setiap dari kita adalah imam bagi dirinya sendiri? Kita bisa mengekspresikan cara dan gaya ibadah semampu kita, selagi tidak menyalahi kaidah-kaidah dasarnya. Dalamnya, khidmatnya, seriusnya, dan murninya suatu ibadah tidak dijamin oleh kerudung yang menjuntai atau serban yang panjang.

Dalam ajaran Islam selalu ditekankan tentang pentingnya niat sebagai penjaga kualitas dalam suatu perbuatan. Niat bersemayam di dalam hati yang tak mengenal bahasa Arab ataupun bahasa manusia lainnya. Inilah sesungguh-sungguhnya ibadah bahwa segala amal tergantung pada niatnya.

Perbanyaklah amal saleh! Begitulah ajakkan para guru ngaji yang terus dilantangkan di masjid-masjid dan di madrasah-madrasah. Jangan lagi kita bayangkan bahwa amal saleh hanya seputar kotak amal jariah atau mushaf Alquran. Amal saleh tak ada bedanya dengan perbuatan baik yang tidak harus secara khusus dimaknai sebagai penyembahan relasional vertical yang formal dari seorang hamba kepada Rabb-nya.

Baca juga:  Genosida di India: atas Nama Agama

Bagi Allah seorang sopir ojek online yang mengantarkan pesanan pelanggannya dengan amanat, hakim yang memutuskan suatu perkara dengan adil, atau bahkan pelawak yang dengan tulus membawakan lelucon untuk menghibur para penonton bisa menjadi suatu amal saleh. Bersyukurlah atas pekerjaan yang telah kita dapatkan kini, semuanya adalah wahana yang sama untuk meraih rida Allah. Kalau kita hanya tahu tentang senyum itu ibadah, maka kita juga seharusnya bisa tahu kalau membuang sampah pada tempatnya merupakan ibadah juga. Bahkan dalam suatu riwayat dikisahkan tentang perbuatan menyingkirkan duri dari jalan pun bernilai pahala di sisi Allah.

Cakrawala ibadah itu begitu luas, ia tidak terbatas pada formalitas belaka yang membelah dunia menjadi hitam dan putih. Pergi reuni pasti bersifat duniawi karena kita selalu dibayangkannya sebagai momen pamer, hura-hura, dan makan-makan. Sedangkan pergi ke masjid pasti bersifat ukhrawi, soalnya pasti berurusan dengan salat berjamaah atau pengajian. Padahal kalau kita mau jujur, reuni juga dapat menjadi acara untuk bersilaturahmi. Begitupun sia-sialah pahala salat berjamaah kita, jika masih ada niatan riya di dalam hati kita.

Dengan demikian kita sebagai manusia hanya mempunyai pilihan, hidup seutuhnya untuk beribadah kepada Allah atau hidup sepenuhnya berpaling dari Allah. Maka pilihan menjadi seorang muslim ialah komitmen besar untuk menghayati bahwa kehidupan ini sepenuhnya bentuk peribadahan kepada Allah. Kongko-kongko bisa kita jadikan momen yang tepat untuk saling memberi salam, hiking gunung menjadi wahana ziarah sambil tak henti-hentinya mensyukuri nikmat Allah di tengah-tengah kemegahan karya-Nya, main Instagram dan Twitter sekalipun adalah cara kita untuk bersilaturahmi dan menebarkan konten yang positif.

Baca juga:  Melawan Ketidakadilan Demi Cita-cita Kemerdekaan

Beribadahlah sebanyak mungkin, barangkali dengan beribadah sepanjang hayat ini kita dapat lebih akrab dengan Allah. Jangan sungkan untuk berdoa dalam bahasa ibu kita, sebab Allah yang menciptakan segala bahasa. Jangan pernah terbatas untuk mengulurkan tangan pada umat Hindu atau umat Konghucu, sebab Allah pun sama pedulinya atas kehidupan semua makhluk. Inilah dedikasi terbesar hidup menjadi seorang muslim.

Allah tidak membutuhkan sedikit pun dari ibadah kita, justru sebaliknya kitalah yang membutuhkannya. Oleh karena itu, salat tak berakhir oleh salam dan puasa tak berakhir oleh berbuka. Ada dimensi sosial yang kerap kita tinggalkan, padahal di sanalah ujung tombak dari ibadah itu sendiri yakni kemanfaatannya yang membawa berkah. Seorang muslim yang dewasa tidak lagi memahami sahnya salat terbatas pada benarnya bacaan dan tertibnya gerakan, tapi juga diukur dari salat yang mencegah perbuatan keji dan munkar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top