Sedang Membaca
Pertanyaan Menjebak Tiga Rabi Yahudi (1)

Pertanyaan Menjebak Tiga Rabi Yahudi (1)

Ali Bin Abi Thalib Dok Historica

Kisah ini terjadi di masa khulafaur rasyidin yang menjadi khalifah dan amirul mu’minin adalah sayidina Umar bin Khattab r.a. Kisahnya dapat dilihat serta dibaca di dalam kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, juz 2 hal. 161. Di sana tertulis satu cerita yang sungguh luar biasa dan amat sangat mengagumkan.

Hari itu begitu cerah walau sedikit berawan, namun kondisi kota Makkah nampak tenang dan damai. Berjalanlah tiga orang rabi Yahudi yang kelihatan cerdas dan pintar-pintar dari raut wajah dan penampilannya. Mereka menuju kediaman Khalifah Umat bin Khattab r.a., entah tujuan mereka yang utama sebenarnya apa?

Setelah mengucapkan salam, mereka melantunkan kalimat “Yaa Amirul Mu’minin, kami bertiga datang ini sebenarnya akan menanyakan tentang beberapa hal yang teramat penting bagi kami. Apabila engkau selaku Amirul Mu’minin mampu menjawab pertanyaan kami bertiga secara jelas dan terperinci, maka kami akan memeluk Islam dengan sepenuhnya.

Akan tetapi bila engkau tidak mampu menjawabnya seperti yang kami harapkan, maka bagi kami Islam bukanlah agama yang benar dan Muhammad itu bukanlah sebenar-benarnya seorang rasul yang dikirim oleh Rabb dari langit”. Umar bin Khattab r.a. dengan agak menahan emosi pun menjawab, “Baik, silahkan rabi. Apa yang ingin kalian tanyakan padaku?”

Seorang demi seorang rabi pun bertanya:

“Pertanyaan kami yang pertama, kapan pintu langit itu terkunci?”

“Kemudian yang kedua, kapan pula saatnya pintu langit itu terbuka?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan pertanyaan yang sengaja dibuat untuk menjebak. Rata-rata dan kebanyakan para ahlul kitab selalu menyampaikan pertanyaan semacam ini sebagai bahan untuk berdebat, sehingga bisa menggoyahkan hati lawan bicara, dan yang berwawasan rendah pasti akan kesulitan untuk memberikan jawaban.

“Tahukah engkau bahwa ada kuburan yang bisa berjalan bersama penghuninya?”

“Lalu coba engkau sebutkan, makhluk Allah apa yang bisa memberi peringatan kepada kaumnya, tapi dia bukan manusia dan bukan juga jin?”

“Kemudian yaa Amirul Mu’minin, coba engkau sebutkan juga lima makhluk Allah yang berjalan di muka bumi tapi tidak dilahirkan oleh induknya?”

“Dan ini yang terakhir, coba engkau jelaskan kepada kami, kisah pemuda-pemuda yang karena mempertahankan imannya pada Allah, sehingga mereka lari kemudian bersembunyi di dalam gua?”

Selesai mereka bertanya, Umar pun kemudian menjawab dengan tegas, “Bukanlah suatu hal yang memalukan bagiku, bila memang aku tidak bisa menjawab pertanyaan yang aku tidak tahu. Kecuali jika kalian ingin berkelahi atau beradu pedang, maka itu adalah keahlianku”.

Kalimat Umar ini menunjukkan, jangan pernah malu untuk berkata tidak tahu jikalau benar-benar tidak tahu. Karena kita diciptakan untuk memiliki kapasitas di bidang masing-masing. Kemudian Umar melanjutkan kalimatnya; “Tapi akan kupanggilkan orang yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan mudah”.

Lalu Umar meminta Salman Al-Farisi r.a. untuk mengundang Ali bin Abi Thalib r.a. menghadap kepadanya. Tak lama berselang datanglah Ali bin Abi Thalib menghadap Umar bin Khattab. Ketiga rabi Yahudi tersebut kembali mengulang pertanyaannya pada Ali,

Rabi: “Kapan pintu langit akan terkunci?”

Dengan wajah yang tenang Ali menjawab:

“Disaat kalian mempersekutukan Allah (assyirku billah)”

Rabi: “Lalu kapan pintu langit terbuka?”

“Disaat kalian mengucapkan Laa ilaha illallah

Ali pun menjawab tentang kuburan yang bisa berjalan bersama penghuninya.

“Yang kalian maksud adalah Yunus a.s., jika saja Yunus bukan golongan orang yang berdzikir dan mohon ampun kepada Allah, maka ikan itu akan mengubur beliau di dalam perutnya” (Ash-Shaffat: 143). Rabi Yahudi itu pun melanjutkan, “Coba engkau sebutkan makhluk Allah yang bisa memberi peringatan kepada kaumnya, tapi bukan manusia dan bukan pula jin.” Sambil merapikan sorbannya, Ali menjawab dengan tersenyum, “Seekor semut yang mengomandoi bala pasukannya untuk masuk ke dalam sarang ketika Sulaiman as. lewat” (An-Naml: 18)

Rabi: “Selanjutnya yaa… Ali, coba engkau sebutkan lima makhluk Allah yang hidup dan tinggal di muka bumi ini namun tidak dilahirkan oleh induknya”

Baca juga:  Ramadan Kelabu dan Ibnu Muljam yang Tak Patut Ditiru

Tangan kanan Ali meraih kurma yang terhidang dalam wadah diatas permadani kemudian mengunyahnya dan menjawab tanpa beban, “Adam a.s., Siti Hawa, onta Shalih a.s, ular yang berubah dari tongkat Musa a.s, dan kambing pengganti leher Ismail a.s.”

Secara otomatis dua dari tiga rabi tersebut saling berpandangan untuk serta-merta mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun satu rabi nampak masih bersikukuh agar Ali menjawab satu pertanyaan terakhir.

“Sebentar Ali, coba engkau jelaskan kisah tentang pemuda-pemuda yang bersembunyi di dalam gua untuk mempertahankan imannya”

“Baik, aku akan jelaskan seperti yang ada di dalam Al-Qur’an.”

Rabi Yahudi itu menyahut; “Aku sudah banyak mendengar tentang Al-Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!”

Ali bin Abi Thalib r.a. kemudian merubah posisi duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.

Maka berkatalah dia; “Wahai rabi Yahudi, Rasulullah Muhammad saw. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau sering disebut dengan Tharsus. Namun pada zaman dahulu nama kota itu adalah Aphesus (Ephese). Baru kemudian setelah Islam datang, namanya berubah menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).

Penduduk negeri itu dulunya memiliki seorang raja yang amanah. Setelah raja itu mangkat, berita kematiannya sampai ke telinga Decyanus raja Persia. Karena berita tersebut, lantas diserbulah negeri tadi dengan kekuatan penuh pasukannya, hingga kota Aphesus dapat dikuasai. Kota itu pun dijadikan sebagai ibukota kerajaan, kemudian dibangunlah sebuah istana disana.”

Belum lagi Ali selesai menjelaskan, tiba-tiba rabi Yahudi yang bertanya itu berdiri, dengan wajah nampak seolah merendahkan kemampuan serta wawasan pengetahuan Ali; “Jika engkau benar-benar tahu, coba jelaskan padaku bentuk Istana itu sedetail mungkin!”

Ali bin Abi Thalib menuang minuman pada cangkir kemudian meminumnya, “Wahai rabi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu pualam. Panjangnya satu farsakh (= 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, lampu-lampu penerangan berjumlah seribu buah dan semuanya terbuat dari emas.

Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur dan barat serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak masing-masing seratus buah. Sehingga sejak matahari terbit hingga terbenam selalu dapat menerangi serambi.

Raja itu pun membuat singgasananya dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para menteri dan para pejabat tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota indah di atas kepalanya.”

Rabi itu terus mengejar kalimat Ali,  “Baiklah, sekarang coba jelaskan padaku dari apakah mahkota itu dibuat?”

Dengan tetap tenang, Ali menjelaskan, “Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan berlian yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang kala menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak dan para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah.

Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat dari emas. Mereka selalu berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang pengawal khusus yang terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri atau pembantunya.

Raja itu dalam mengambil suatu keputusan apa pun selalu berunding lebih dulu dengan mereka. Sehingga enam orang pembantu itu musti berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”

Baca juga:  Mari Kita Bahas Kalimah Sayidina Ali bin Abi Thalib: Ana 'Abdu Man 'Allamani...

Sang rabi masih juga tidak puas dengan jawaban Ali, “Benar apa yang engkau katakan padaku Ali, tapi siapa nama enam orang yang menjadi pembantu raja itu kalau memang engkau tahu.”

“Baiklah, Rasulullah Muhammad saw. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri sebelah kanan raja, adalah Tamlikha, Muksalmina, dan Nainuwis. Sedangkan yang sebelah kiri; Marthunis, Dzunawis dan Sariyulis. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala macam urusan.

Setiap hari ketika raja duduk di serambi istana selalu dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawanya, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorang lagi membawa seekor burung.

Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara sebagai isyarat, lantas burung tersebut terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Sang burung pun berkecimpung di dalamnya lalu dia mengibas-kibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat di sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat yang berbeda lagi. Burung itu pun terbang, dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaannya selama tiga puluh tahun. Selama itu pula dia tidak pernah diserang oleh penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing, sakit perut, demam, mual, atau pun pilek. Karena merasa dirinya selalu sehat dan kuat, sang raja mulai congkak, durhaka dan zalim. Dia mengaku diri sebagai ‘Tuhan’ dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah Swt.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, maka akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiyakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai dia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah Swt.

Pada saat perayaan ulang-tahunnya, sang raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada bala tentara asing hendak masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud mengadakan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang disandangnya jatuh ke tanah.

Dan raja itu pun terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang cerdas berdiri di sebelah kanan bernama Tamlikha – memperhatikan keadaan sang raja sambil merenung. Dia berfikir, lalu berkata dalam hati; “Kalau Decyanus itu benar-benar Tuhan seperti pengakuannya, tentu dia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”

Akhirnya enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergilir. Tibalah giliran pertemuannya di rumah Tamlikha, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya; “Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan minum?”

“Teman-teman,” jawab Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak enak untuk makan dan minum, juga tak nyenyak tidur.”

“Apakah yang merisaukan hatimu, wahai Tamlikha?” kejar pertanyaan teman-temannya.

“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” jelas Tamlikha.

“Kemudian aku bertanya pada diriku sendiri; ‘Siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menyanggahnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit?

Siapakah yang menghias langit dengan bertaburannya bintang-bintang?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini; ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

Baca juga:  Di Rel Sejarah: Islam dan Kebangsaan

Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga merenungi tentang diriku sendiri; ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Decyanus’…”

Teman-teman Tamlikha pun nampak gelisah di hadapannya atas ucapan yang disampaikan tadi. Mereka merasa Tamlikha telah menemukan kebenaran, lalu mereka pun berucap; “Hai Tamlikha dalam hati kami sejak lama sebenarnya telah merasakan seperti yang kau rasakan di dalam hatimu. Oleh karena itu, maka tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”

“Sahabat-sahabatku,” jawab Tamlikha, “sekarang kita telah terbuka akal, selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, untuk menuju pada Raja pencipta langit dan bumi!”

“Kami sangat setuju,” sahut teman-temannya serentak.

Tamlikha pun berdiri, hendak beranjak pergi untuk menjual buah kurma hasil dari kebunnya, kurma itu terjual dan dia mendapat uang sebanyak 3 dirham. Lalu diselipkan uang tersebut di kantong bajunya. Kemudian berangkatlah mereka berenam; Tamlikha, Muksalmina, Nainuwis, Marthunis, Dzunawis dan Sariyulis bersama kuda-kudanya.

Setelah berjalan 3 mil meninggalkan kota, Tamlikha berkata; “Sahabat-sahabatku, terlepas sudah kita dari raja dunia serta kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan terbaik-Nya untuk kita.”

Maka turunlah mereka dari kudanya masing-masing dan berjalan kaki sejauh 7 farsakh (1 farsakh = 8 km), sampai kaki mereka melepuh dan berdarah karena tidak biasa berjalan sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala kambing menghampiri. Mereka bertanya; “Wahai penggembala, apakah engkau menyimpan cadangan air minum atau mungkin susu?”

“Aku memilikinya,” jawab sang penggembala. “Tapi sebentar, sepertinya kalian ini para bangsawan. Apakah kalian sedang melarikan diri dari sesuatu? Coba ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi!”

“Kami sudah memeluk suatu agama, sehingga kami tidak boleh berdusta. Apakah engkau berjanji kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”

“Ya,” jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata; “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya, kemudian segera kembali lagi kepada kalian.”

Tamlikha bersama teman-temannya pun berhenti. Tak lama penggembala itu datang lagi berjalan diikuti anjing miliknya.

Kala sedang asyik-asyiknya Ali bin Abi Thalib bercerita, si rabi Yahudi itu terhenyak berdiri lagi sambil berkata; “Sebentar Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan nama pengembala serta berwarna apakah anjing itu dan siapa namanya?”

“Saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib meyakinkan, “Rasulullah menceritakan kepadaku, nama penggembala itu adalah; Falyastathyunis, anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir atau Himran”. Para rabi Yahudi itu pun mengangguk-angguk.

Selanjutnya Ali bin Abi Thalib kembali bercerita; “Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, mereka berkata kepada si penggembala; “Tolong usir saja anjing itu, kami khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita!”

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakangnya, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali; “Wahai manusia, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah Swt.”

Mereka itu pun terkejut bukan kepalang, hingga akhirnya menerima anjing itu untuk pergi bersama. Si gembala mengajak mereka bersama naik menuju ke sebuah gua yang berada di atas bukit.” (bersambung)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
4
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top