Sedang Membaca
Membangun Kesadaran Universal

Membangun Kesadaran Universal

Kesadaran membuat keterikatan kepada segala apa yang kita terima serta ketahui. Sehingga sang diri terbelenggu dan tersesat dalam ketidaktahuan siapa sebenarnya diri kita ini. Ada ungkapan Rasullullah SAW, “Barang siapa mencintai sesuatu maka ia akan menjadi hambanya”.

Baju pengantin (Jawa: dodot) dalam tembang Ilir-Ilir karya sunan Kalijaga merupakan sesuatu yang melahirkan ikatan pada jiwa seseorang. Seperti yang tertulis di buku filsafat perenialnya Frithjof Schuon, pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam tiap jiwa manusia.

Apabila manusia melakukan sikap yang “binding” dengan dunia sekelilingnya, maka jiwanya akan terkungkung sekaligus kebebasannya/kesadarannya akan terbelenggu juga.Oleh karena itu, manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha melakukan “unbinding” terhadap dunia sekitarnya.

Artinya, manusia harus mulai menyadari keterbatasan dirinya yang selama ini dijerumuskan oleh pengetahuan yang didapatkannya, bahwa diri kita ini sebenarnya hanyalah terbatas pada mata, telinga, kaki serta anggota tubuh yang kelihatan.

Akan tetapi hal ini sangatlah mustahil untuk diungkap secara detail dalam tulisan ini, sebab kesadaran harus dilakukan dengan latihan dan pengisian ilmu pengetahuan tentang diri secara imanen transendental lewat pengalaman langsung.

Bagi orang awam sebuah gunung atau pegunungan memang tampaknya kokoh berdiri di tempatnya masing-masing. Jadi kalau benda-benda di semesta ini termasuk manusia yang dalam surat Al Hijr ayat 28-29 diciptakan dari esensi alam, maka benarlah apa yang kita namakan sebagai benda adalah sebuah bongkahan besar “runtutan peristiwa” loncatan listrik. Sehingga di sini sama sekali tidak dijumpai lagi sesuatu yang padat, baku atau tetap.

Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam dan manusia bukanlah benda atau zat-zat akan tetapi suatu “aksi” yaitu aliran yang terangkai dari peristiwa-peristiwa. Amatlah tidak mengherankan apabila dari bahan-bahan yang sangat labil itu kemudian terbentuklah alam yang selalu berubah-ubah, menjelma dari bentuk satu ke bentuk lainnya mengikuti sebuah proses evolusi.

Mari sekarang kita perhatikan tentang apa sebenarnya tubuh ini. Menghirup udara untuk bernapas kemudian masuk ke tubuh, dan berikutnya mengeluarkan zat residu yang berupa gas asam arang. Sekadar bayangan tentang kesadaran diri agaknya hal-hal di bawah ini akan menolong kita. Ibaratnya keadaan itu bisa diidentikkan dengan penerangan sebuah kota, yang dialiri oleh listrik dari sentralnya.

Perbandingan ini menjadi semakin tajam apabila disadari dengan ilmu, bahwa apa yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari dan yang disadari, bentuk tubuh manusia adalah terbatas pada garis nyata saja. Sehingga pada kenyataannya membuat orang tertipu oleh pengetahuan yang dia miliki.

Baca juga:  Transliterasi, Transkripsi, dan Membaca Alquran

Padahal justru lebih dari apa yang dia bayangkan, bahwa baik manusia, logam, tumbuhan dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari berbagai untaian kejadian-kejadian atau proses. Di mana seluruh alam ini lahir dan tersusun dari senyawa-senyawa kimiawi yang dinamai zarrah (atom).

Dan atom-atom tadi menurut analisis terakhir adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya disebut proton berjumlah sebanyak energi negatifnya atau elektron. Di dalam atom ini, terus-menerus setiap detik terjadi loncatan dan pancaran yang dinamakan charge and spark arus listrik.

Itulah semburan-semburan yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Semburan atau loncatan yang tidak putus-putusnya dengan kecepatan sungguh luar biasa itu tidak mampu dilihat oleh mata telanjang biasa, kecuali dengan kesadaran ilmu yang cukup tinggi serta luar biasa pula. Sebagaimana Alquran telah mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam seolah diam tak bergerak:

وَتَرَى ٱلْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِىَ تَمُرُّ مَرَّ ٱلسَّحَابِ ۚ صُنْعَ ٱللَّهِ ٱلَّذِىٓ أَتْقَنَ كُلَّ شَىْءٍ ۚ إِنَّهُۥ خَبِيرٌۢ بِمَا تَفْعَلُونَ

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS 27:88).

Alquran telah banyak mengungkapkan tentang apa dan siapa manusia itu sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan menjadi suatu kesadaran apabila pikiran dan perasaan jiwa kita tidak pernah dibawa ke alam yang penuh dengan misteri dan rahasia secara nyata, artinya bukan berarti teori tasawuf yang sulit dimengerti. Akan tetapi kesadaran yang harus dimulai dengan cara berpikir dan bertindak yang sangat sederhana.

Menghayati jiwa itu dimulai dari kesadaran fisik sampai kepada kesadaran transendental di mana kesejatian manusia adalah sesuatu yang bukan fisik. Dengan kesejatian inilah manusia menunaikan bakti sebagai abduhu kepada Allah sesuai fitrahnya (QS 30:30).

Kita melihat seorang bayi yang terlahir dengan proses alami. Bayi itu lahir bukan karena permintaan dan kehendaknya. Betapa dia tidak mengerti untuk apa harus dilahirkan. Dia terlahir tanpa apa-apa, telanjang bulat bahkan malu pun tidak punya.

Kemudian keadaan di sekelilingnya memberikan kesadaran jiwa secara bertahap. Di mulai dari labeling atau pemberian nama agar memiliki identitas serta ditunjukkan jenis kelamin, itu masih dalam batasan kesadaran yang sangat sempit. Dia diperkenalkan dengan dirinya sendiri bahwa namanya si A dan jenis kelaminnya laki-laki. Kemudian diajarkan pula nama-nama anggota tubuhnya, ini telinga, ini kepala, ini tangan, dan seterusnya secara terperinci.

Baca juga:  Agama dan Vaksinasi: Belajar dari Peristiwa di Aceh

Dari situ kesadaran kita mulai sampai kepada tahapan yang agak absurd, di mana pandangan mata kita seolah-olah kehilangan penglihatan dimana bentuk tubuh yang selama ini kita sadari menjadi membingungkan. Jelas hal ini semakin merancukan kesadaran yang selama ini telah menancap dan terpatri.

Namun kita telah mencoba melakukan pembangkitan kesadaran yang lebih luas. Yaitu kesadaran dimana tubuh bukanlah apa yang kita lihat seperti ini. Tubuh adalah susunan inti materi yang setiap saat berubah dan berganti. Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi sekadar tangan, kaki, dan kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi kesadaran universal, yaitu kesadaran yang tidak ada batas.

Pada tingkat kesadaran ini kita agak bingung, yang mana sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena setelah ditelusuri secara rinci, bahwa badan yang tadinya disadari sebagai sosok laki-laki atau perempuan yang punya rupa cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus oleh kesadaran yang lebih luas, yaitu kesadaran jagat raya atau disebut kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini tidak lagi sesempit dulu, aku tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki saja.

Akan tetapi badan adalah angin yang bergerak, atom-atom yang bertebaran serta bergantian saling tukar dengan benda-benda yang lain, badan adalah butiran-butiran zarrah yang saling mengikat, ya….. aku saling ikat dengan tumbuhan, binatang, bumi serta dengan angkasa yang maha luas. Badan adalah jagat raya. Di mana kesadaran sudah berubah luas dan menjadi satu kesatuan dengan lingkungan kita.

Kesadaran ini akan memudahkan mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu kesadaran hakiki yang menggerakkan dan mengatur alam semesta. Dikatakan dalam Alquran surat An Nahl ayat 12:

وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ ۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٰتٌۢ بِأَمْرِهِۦٓ ۗ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya)” (QS 16:12).

Ayat ini membuktikan bahwa alam taat mengikuti segala perintah dan peraturan sang pencipta. Dan peraturan yang telah ditetapkan Allah itu tidak berubah selamanya, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat 23 surat Al Fath:

Baca juga:  Musyawarah Sufi di Meja Makan

سُنَّةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلُ ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبْدِيلًا

“Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu” (QS 48:23).

Apabila zat-zat, tubuh manusia dan benda-benda dalam alam sudah dipahami sebagai rangkaian kejadian-kejadian, serta menurut kemauan sunatullah. Maka sebenarnya atom-atom atau zarrah bergerak bukan atas kemauannya sendiri, akan tetapi ada sosok yang bukan dirinya. Di mana atom-atom itu bergerak mengikuti kekuatan yang mahabesar.

Benda-benda kecil itu hanya patuh terhadap yang tidak bisa diperbandingkan dengan sesuatu. Wujud itu begitu absolut, benda-benda ini ternyata mati. Akan tetapi ia bergerak dan dihidupkan oleh suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos yang hidup, yang perkasa, yang meliputi segala benda, ialah Rabbul alamin…..

Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum juga ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur pergerakan matahari, bintang dan bulan dengan perintah-Nya. Tatanan inilah yang diikuti oleh seluruh alam semesta (makrokosmos), bagaimana dia harus bertingkah laku. Dia juga disebut hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam. Lebih jelas lagi bila kita baca ayat 11 surat Fusshilat:

ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِىَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ٱئْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَآ أَتَيْنَا طَآئِعِينَ

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati” (QS 41:11)

Pada kesadaran universal ini sebaiknya kita berhenti sejenak dan jangan dipahami dengan pemikiran yang berlarut-larut. Biarkan Allah yang akan menuntun hati dan pengetahuan tentang ilmu selanjutnya dengan tetap mematuhkan jiwa dan tubuh kita kehadirat Allah yang Mahasuci.

Apabila kita meluruskan pandangan jiwa dan tubuh kita terhadap perintah-perintah-Nya (ad-din) serta menundukkan dan memasrahkan segala ketaatan, tubuh ini akan taat seperti taatnya alam semesta tanpa kita rekayasa. Dia akan hidup seperti hidupnya alam, serta dia akan teratur seperti teraturnya matahari serta planet-planet yang tidak berbenturan. Dia akan patuh seperti patuhnya malaikat.

Demikianlah justru menurut pikiran logis, bahwa adanya diri (mikrokosmos), dan alam semesta (makrokosmos), telah mengajak kesadaran untuk sampai kepada pembuktian adanya Allah yang maha ghaib (metakosmos).

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top