Sedang Membaca
Pendidikan dan Kontribusi Kita
Amrullah Hakim
Penulis Kolom

Pekerja Migas/listrik dan penikmat kisah-kisah sufistik, tinggal di Jakarta

Pendidikan dan Kontribusi Kita

Masyarakat negara berkembang lebih banyak menghabiskan uang untuk pendidikan daripada masyarakat negara maju. Menurut penelitian, orang China menghabiskan 5% dari total pengeluaran rumah tangganya untuk pendidikan yang bersifat privat.

Orang India menghabiskan 4%. Jika dibandingkan dengan orang Amerika yang hanya 2.5% dan Eropa hanya 1% (The Economist).

Masyarakat negara berkembang menyadari, untuk mengejar ketertinggalan, kunci utamanya adalah kekuatan pikiran. Dan itu didapat dari pendidikan.

Untuk mereka yang mampu secara ekonomi, tentu sangat antusias untuk apapun yang sifatnya membuat anak-anaknya lebih pandai daripada anak-anak lainnya. Dan ini ditempuh dengan jalur pendidikan privat, karena pendidikan umum dianggap tidak bisa melesatkan kemampuan anaknya.

Tidak semua keluarga mampu untuk mengirimkan anak-anaknya ke sekolah privat yang mahal, sehingga memang terjadi kesenjangan perolehan pendidikan formal yang bagus. Di sini pemerintah memang harus turun tangan untuk menutupi “gap” ini, dengan meningkatkan kualitas pendidikan formal untuk seluruh warganya dengan merata.

Sejarah Pendidikan

Sebenarnya, awalnya di jaman dulu, pendidikan itu disediakan oleh institusi agama atau pengusaha. Misalnya di abad ketujuh, Kerajaan Sriwijaya di Sumatra sudah dikenal sebagai pusat pendidikan bahasa dan sastra Sansekerta terkemuka. Pelajar yang ingin belajar di Universitas Nalanda, Bihar, India, dikirim selama setahun ke Sriwijaya sebelum kuliah. Terhadap kondisi ini, Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi asal India mengatakan:

“Ini adalah salah satu contoh lembaga pendidikan berjejaring paling luar biasa di masa lalu.”

Penyataan ini dia berikan pada ceramah di pembukaan Forum Budaya Dunia (WCF) di Nusa Dua, Bali, Senin, 25 November 2013 (Tempo).

Baca juga:  Samin Surosentiko, Sedulur Sikep, dan Musik Dangdut

Universitas Harvard didirikan pada 8 September 1636, perguruan tinggi tertua di Amerika Serikat. Awalnya bernama New College, dan dinamakan ulang menjadi Harvard College pada 13 Maret 1639 untuk menghormati penyumbang terbesarnya, John Harvard, seorang mantan mahasiswa Universitas Cambridge. Universitas ini memiliki dana abadi sebesar $36.4 milyar.

Pendidikan baru disediakan oleh Pemerintah itu sejak abad 18, di Kerajaan Prussia. Prusia adalah kerajaan bangsa Jerman dan negara bersejarah yang berasal dari penggabungan wilayah Prusia dan Margraviasi Brandenburg.

Pada Kongres Wina, yang akhirnya menghasilkan penataan ulang batas-batas negara Eropa setelah kekalahan Napoleon, Prusia mendapatkan bagian yang cukup besar di wilayah Barat Laut Jerman, termasuk daerah yang kaya akan batubara, Ruhr. Negara ini tumbuh dengan amat pesat dalam bidang ekonomi dan politik, menjadi inti dari Konfederasi Jerman Utara pada tahun 1867, dan nantinya Kekaisaran Jerman pada tahun 1871.

Adalah Fiedrich Agung, “Raja dari Prusia” yang pertama, yang mempraktikkan absolutisme tercerahkan. Dia mengenalkan hukum sipil umum, melarang penyiksaan dan mengesahkan prinsip bahwa Raja tidak akan ikut campur dalam hal penegakkan hukum.

Dialah yang mempromosikan pendidikan tingkat lanjutan yang mempersiapkan anak muda terpintar mereka untuk belajar di Universitas. Sistem pendidikan Prusia ini akhirnya dicontoh oleh berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (Wikipedia).

Baca juga:  Sayid Abdullah Lombok: Keluarga Suci dan Kolonisasi

Indonesia, sebenarnya tidak kalah hebat di sini. Pendidikan di Indonesia sedikit lebih tua daripada di Prusia. Dari bukti yang ada, pesantren tertua sudah berusia ratusan tahun. Pesantren Babakan di Cirebon, sudah 300 tahun, dan sampai sekarang masih berdiri.

Pesantren tua lainnya, seperti Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, meski sekarang tak tampak lagi geliatnya, tapi telah berjasa besar pada zamannya. Pesantren itu didirikan oleh Sultan Paku Buwono II pada 1742 sebagai ucapan terima kasih kepada Kiai Hasan Besari.

Selain bangunan untuk belajar, Paku Buwono II juga membangun masjid dan asrama untuk murid/santri di wilayah pesantren (sumber: kumparan). Pesantren ini adalah khas Indonesia, sepertinya jarang ditemukan di negara Islam lainnya.

Pendidikan Sekarang

Negara-negara sekarang mengikuti sistem Prusia yang menyediakan pendidikan untuk rakyatnya. Ini terus bertumbuh, namun tetap beberapa kelompok masyarakat masih membuat pendidikan yang lebih privat yang tentu saja lebih mahal daripada pendidikan yang disediakan oleh pemerintah.

Namun dengan orang semakin makmur ditambah dengan angka kelahiran yang lebih rendah, suatu keluarga akhirnya memiliki uang yang lebih untuk mengirimkan anaknya ke sekolah privat.

Penelitian yang dilakukan oleh The Economist menunjukkan bahwa di negara berkembang, memang diakui, sekolah privat lebih bagus dan lebih efisien. Berbeda dengan di negara maju, dengan latar belakang dan kemampuan siswa yang sama, hasil ujian mereka tidak jauh berbeda, apakah mereka bersekolah di sekolah umum ataupun sekolah privat.

Baca juga:  Perbedaan Doa Orang Awam dan Wali Allah

Di sini arah pembangunan di pemerintahan 5 tahun mendatang untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjadi sangat penting. Sistem pendidikan harus dijalankan dengan tepat sehingga “gap” antara sekolah umum dan sekolah privat bisa terus mengecil dan lulusan-lulusannya bisa segera bekerja sesuai dengan bidangnya.

Namun perlu diingat, penyiapan pendidikan untuk anak itu penting dan dimulai dari keluarga. Ada hal yang juga perlu diisi, yakni pendidikan untuk orang tua. Kenapa? Karena sekolah yang utama adalah sekolah di keluarga. Orang tua yang pandai akan menciptakan anak yang pandai. Kebutuhan pendidikan orang tua berbeda dengan pendidikan anak. Orang tua membutuhkan pendidikan yang bersifat kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan ini, anak akan memiliki ketidakseimbangan apalagi dengan makin pesatnya informasi online.

Apakah pemerintah menyediakan hal ini? Sepertinya tidak. Lalu solusinya bagaimana?

Untungnya saat ini di Indonesia kita memiliki orang-orang berpendidikan tinggi yang mau berbagi ilmu di media daring. Terlebih di bulan Ramadan ini. Kita bisa mengikuti pelajaran-pelajaran ilmu dari kitab-kitab penting yang membuat kita sebagai orang yang sudah dewasa bisa terus mengasah kemampuan pikir dan logika kita. Hal mendasar yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pendidikan privat di ruang keluarga sendiri.

Jika negara lain, masyarakatnya bisa mengalokasikan 1-5% dari pengeluarannya untuk mendapatkan pendidikan yang bagus, apakah kita juga bisa mengalokasikan dana kita untuk mendukung terus berkembangnya pendidikan privat melalui media daring ini?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top