Sedang Membaca
Tentang “Pembubaran” FPI: Lalu Setelah Itu Apa???
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Tentang “Pembubaran” FPI: Lalu Setelah Itu Apa???

Timthumb 1

Terus terang saya tidak kaget dengan “pembubaran” FPI. Apapun alasannya, sejak tahun lalu konstelasi politik berubah dengan cepat, padahal pada konstelasi itulah sejatinya FPI bergantung. Yang mengherankan (sebenarnya tidak perlu heran) adalah diamnya Prabowo. Memang beberapa koleganya di Gerindra bersuara, tetapi itu gimmick politik belaka.

Soal konstelasi politik harus ditekankan, bahkan melebihi soal keagamaan. Paham seperti ditampilkan oleh FPI bisa ditemukan secara mudah dalam sejarah, tetapi apakah itu bisa mengemuka atau tidak dalam gerakan yang massif akan tergantung pada konstelasi politik yang ada.

Konstelasi politik yang dimaksud adalah sekumpulan kepentingan elit yang sangat dinamis, sehingga terkadang paradoksal, tetapi muaranya tidak lain tidak bukan adalah kekuasaan.

Dalam hal ini harus diakui Jokowi memang jagoan. Dia tahu FPI bukan sekadar Muhammad Rizieq Shihab (MRS). Sekarang terbukti MRS mudah sekali dilumpuhkan.

Akan tetapi, karena FPI bukan sekadar MRS, permasalahan pokok datang: lalu bagaimana dengan anggota dan simpatisannya? Apa rencana pemerintah terhadap mereka?

Selama 20 tahun terakhir FPI telah berkembang menjadi organisasi raksasa. Markas besarnya kecil saja, tetapi pengaruhnya terutama di kota-kota tertentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Lebih dari hanya organisasi, mereka–meminjam istilah menteri Yaqut–adalah aspirasi.

Menurut saya, mengkaitkan begitu saja FPI dan terorisme mengandung resiko. Memang sejumlah anggota mereka terlibat kegiatan teror, tetapi selebihnya adalah anggota biasa saja yang terpukau dengan retorika dan gaya kepemimpinan MRS.

Baca juga:  NU Mewajibkan Jilbab atau Tidak?

Di sana mereka juga menemukan tempat bagi aktualisasi diri–sesuatu yang mungkin sulit didapatkan oleh organisasi yang lebih mapan.

Pengaitan begitu saja antara FPI dan terorisme bisa membuat anggota biasa tersebut menjadi radikal. Ini berbahaya. Perasaan dizalimi yang telah terpupuk di dada mereka sekian lama akan mengeras. Jika tidak dikanalisasi, resiko adanya ledakan di kemudian hari cukup tinggi.

Kita bisa bercermin dari kesalahan strategi Orde Baru. Anggota biasa atau simpatisan FPI hari ini adalah buah dari kampanye Soeharto di tahun 1970-an dan 1980-an yang selalu mengaitkan Islam politik dan ekstrem kanan. Diperlakukan sama dengan komunisme, Islam politik dianggap paham yang terlarang. Akibatnya mereka bergerak di bawah tanah, menyebar kesana kemari, sebelum akhirnya secara ironis justru diakui dan dibesarkan oleh Soeharto di tahun 1990-an.

Saya belum melihat rencana Jokowi setelah “pembubaran” FPI kemarin itu apa. Tentu saja dukungan terhadapnya akan meningkat, apalagi setelah Gus Yaqut masuk ke jajaran menteri dalam pemerintahannya. Tetapi secara ideologi, kita tahu, organisasi seperti FPI tidak akan mati. Mereka hanya menunggu kapan konstelasi politik berubah lagi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top