Sedang Membaca
Membayangkan Agama di Era New Normal
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Membayangkan Agama di Era New Normal

Setelah dua bulan lebih berada di wabah situasi pandemi, sekarang muncul wacana bahwa kita harus mulai menyiakan diri memasuki era new normal. Perkaranya sederhana. Karena hingga saat ini antivirusnya belum ditemukan, maka mau tidak mau kita harus berdamai dengan covid-19. Tentu saja berbagai protokol kesehatan yang berlaku selama era pandami akan tetap dijalankan.

Tidak mudah membayangkan apa yang akan terjadi di era new normal itu, termasuk dalam bidang keagamaan. Bagaimanapun bidang kehidupan manusia yang sangat vital ini terdampak serius. Selama pandemi, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan keagamaan di ruang publik secara signifikan. Shalat berjamaah di masjid tidak diperkenankan, termasuk Jumatan dan, beberapa hari lagi, shalat idul fitri.

Meski menimbulkan kontroversi, pembatasan kegiatan tersebut didukung penuh oleh hampir semua organisasi keagamaan. Dalam Islam, tampaknya hanya Jamaah Tabligh yang awalnya sempat menolak. Mereka bersikukuh mengadakan acara ijtima di Gowa, Sulawesi Selatan. Meski acaranya sendiri kemudian batal dilakukan, terbukti beberapa peserta yang telah terlanjur datang dan berkumpul di sana positif terjangkit covid-19. Di kalangan Kristen mulanya juga sempat muncul sejumlah pendeta yang tetap mengadakan kebaktian bersama di gereja karena menganggap covid-19 adalah virus flu biasa saja, tetapi belakangan mereka mengikuti instruksi pemerintah agar beribadah di rumah saja.

Baca juga:  Al-Ghazali dan Teori Dependencia

Agama-agama besar, apalagi yang terorganisasi rapi, pada dasarnya relatif adaptif dengan perubahan, termasuk ketika ritualnya harus dibatasi untuk mencegah penularan penyakit. Ajaran mereka fleksibel, bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang berlaku saat itu. Bahkan ketika kegiatan ibadah haji dan umrah di Tanah Suci yang sangat sentral dan kolosal dalam Islam itu pun untuk sementara ditunda, tidak ada keberatan yang berarti dari umat. Mereka menyadari keselamatan manusia di atas segalanya.

Akan tetapi, sampai kapan prosedur itu diberlakukan? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Oleh karena itu, alih-alih terus menerus mengisolasi diri di rumah, muncul wacana agar kita kembali ke kehidupan new normal. Kira-kira apa yang akan terjadi dengan kehidupan beragama di era baru itu?

Kemungkinannya, jelas sekali, adalah umat akan kembali ke rumah ibadah seperti biasanya. Dalam skema pemerintah Indonesia, hal itu bisa dilakukan mulai tanggal 6 Juli 2020. Cukup pasti pembatasan masih berlaku. Dalam pelaksanaan shalat berjamaah di masjid, misalnya, jarak antar jamaah masih tetap harus dijaga. Sementara itu, kegiatan keagamaan berskala besar, seperti acara muktamar, masih terlarang hingga waktu yang belum ditentukan.

Namun di luar perkara teknis ritual tersebut, banyak hal dari kegiatan agama selama pandemi sekarang yang menarik untuk direnungkan—dan, oleh karena itu, dilanjutkan. Meski menjadi lebih individualistik, beragama dengan cara di rumah saja memungkinkan para penganutnya mempelajari keyakinan akan adanya Tuhan secara lebih mendalam. Di rumah mereka bisa membaca kitab suci lebih intensif, terlebih bagi umat Islam di bulan Ramadan kali ini, dan mendengarkan beragam pelajaran agama yang disampaikan oleh para ustadz atau kyai atau pendeta di kanal-kanal media sosial, selain siaran televisi biasa. Hal seperti malah agak susah dilakukan tahun-tahun kemarin dalam situasi normal.

Baca juga:  Membumikan Pendidikan Pesantren: Melengkapi Tulisan Muhtadin

Saya sendiri mengalami itu. Baru sekarang saja saya secara sungguh-sungguh mengikuti pengajian kitab kuning online. Supaya lebih nyaman dalam memaknai Al-Munqidz min Ad-Dhalal karya Al-Ghazali yang dibacakan oleh Ulil Abshar-Abdalla lewat kanal Facebook setiap jam 9 malam, saya bahkan membeli kitabnya. Dengan itu saya bisa menuliskan arti kata-kata bahasa Arab yang tidak dimengerti, sehingga bisa dibaca lagi di kemudian hari. Saya kira sang pengajarnya, Ulil Abshar-Abdalla, juga tidak akan sempat membacakan kitab itu setiap malam dalam kondisi normal. Dengan kata lain, ini adalah a blessing in disguese.

Kalau kegiatan seperti itu terus berlanjut, saya optimis agama akan lebih bersinar di era new normal. Yang dimaksud bersinar adalah agama akan dipelajari lebih sungguh-sungguh melalui khazanah intelektualnya yang kaya. Hal ini berlaku tidak hanya bagi orang Islam, tetapi juga penganut agama lainnya.

Harus diakui selama pandemi covid-19 saat ini kreatifitas tokoh-tokoh agama meningkat. Karena tidak bisa berceramah di rumah ibadah seperti biasa, mereka justru berpikir keras untuk menghasilkan ragam dakwah yang lebih menarik. Karena yang tersedia adalah media digital, maka mereka tidak mempunyai pilihan banyak selain memanfaatkan itu.

Di era new normal mendatang, semoga agama tidak lagi hanya identik dengan kerumunan, tetapi juga keberagaman intelektual yang memperkaya makna menjadi manusia.

Baca juga:  Terkait Pemakzulan Presiden, Apakah Benar Prof. Din Syamsuddin Mengutip Imam al-Marwardi?

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top