Sedang Membaca
Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?
Ali Mursyid Azisi
Penulis Kolom

Penulis artikel ringan dan jurnal ilmiah. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Pilpres 2024: Akankah Politisasi Agama “Islam” Terulang Kembali?

Hingga saat ini Islam menjadi sebuah perbincangan hangat di kalangan penganutnya di berbagai belahan dunia. Terlebih di Indonesia, dengan hadirnya demokrasi maka pemahaman praktik-praktik Islam menjadi sebuah tontonan yang sangat fundamental, dimana masalah-masalah sosial banyak diwarnai oleh masalah-masalah agama. Sedangkan agama itu sendiri menjadi perbedaan sehingga mereka mengklaim kebenaran masing-masing.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Hendro Puspito dalam mendefinisikan agama, yaitu sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dan alam semesta yang berkaitan dengan keyakinan. Sehingga kita saat ini dihadapkan tiga konten keagamaan/tradisi dalam Islam, dimana di  Indonesia ada yang memboyong agama dalam konteks budaya Arab, kemudian budaya Barat, dan budaya lokal (Mohammad Nasir).

Sehingga dari sini banyak memunculkan pergesekan atau benturan dalam mengklaim Islam mana yang paling benar. Begitu pun saling klaim kebenaran ber-Islam di atas, tidak lepas dari adanya keyakinan bahwa apa yang mereka anut-jalan ber-Islam adalah yang paling benar. Semisal penggunaan cadar dan berjenggot. Jikalau tidak demikian dianggap tidak Islam dan banyak hal lain yang mengklaim simbol-simbol Islam yang dianutnya paling benar.

Sebagaimana ketika Orde Lama yang ketika itu dinahkodai Soekarno. Ketika itu gerakan politik Islam mulai bermunculan seperti halnya Darul Islam dengan misinya yang dianggap benar dalam membentuk Negara Islam Indonesia. Namun, hal tersebut mereda ketika ormas Muhammadiyah dan NU menolaknya. Bahkan partai Masyumi pun turut menolaknya. Kemudian ketika (1967-1885) Orde Baru yang masih kurang efektif dalam menggelindingkan Islamisasi di bumi Nusantara.

Baca juga:  Respons KH. Ahmad Siddiq, Gus Dur, dan Nurcholis Madjid 36 Tahun Silam atas Khittah NU 1926

Hal ini berakar dari adanya intimidasi dari pemerintah ketika itu. Oleh karenanya Darul Islam (berkedok radikal) kembali muncul ke permukaan dengan jargon kebanggaannya “Jihad” yang juga secara sembunyi-sembunyi bergerak di bawah tanah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir dengan nama samara “Usrah” yang tersebar mulai dari wilayah Bandung hingga kota lainnya pada tahun 1978. Baru ketika memasuki (1986-1997) paruh kedua Orde Baru ada perubahan didalamnya yaitu pemerintah memperbolehkan ideologi Islam berbaur dalam koridor politik.

Memasuki era pasca Reformasi barulah muncul demokrasi dan iklim keterbukaan, yang waktu itu mendapat ancaman yang cukup berat-serius yang ditandai dengan hadirnya konflik agama dan etnis. Banyak kalangan merefleksi ulang penilaian modernisme Islam Indonesia, yang kemudian berada dalam posisi demokratis yang kemudian diiringi (Islam Politik) kelompok Islamis yang mulai muncul.

Perbedaan tersebut digolongkan ke dalam beberapa kubu Islam yang juga banyak tersebar di Indonesia. Sebagai mana dalam tulisan Joko Tri Haryanto bahwa selain aliran-aliran besar yang mengalami perkembangan seperti Sunni, Mu’tazilah dan Syiah, terutama di Indonesia merupakan “ladang subur” dalam membentuk atau menumbuhkan sekte-sekte Islam mikro.

Dengan adanya media sosial kini interaksi antar individu maupun kelompok semakin mudah berpartisipasi, menciptakan isi, dan cepat, seperti halnya saling tukar pesan di whatsapp dan kanal media lainnya. Bahkan dalam cakupan lebih luas, kini media sosial pun menjadi tempat untuk bertukar informasi di semua lini, ekonomi, pembangunan, pendidikan, bahkan interaksi keagamaan acap kali diperbincangkan di dalamnya. Mulai dari kanal-kanal Website, Fecebook, Instagram, Twitter, Youtube.

Baca juga:  Kiat Sukses Berkuasa Sultan Iskandar Muda

Akan tetapi di samping itu tidak sedikit media sosial digunakan untuk tindak kejahatan, perang ideologis, doktin radikal, dan hal yang bisa mengancam negara. Pendapat Meike dan Young dalam Nasrullah dalam mendefinisikan media sosial, menurutnya media sosial diartikan sebagai konvergensi antara komunikasi secara personal/individu yang dalam artiannya saling berbagi diantara mereka/to be share one-to-one, dan merupakan media umum/public yang bisa di share kepada siapa pun tanpa terkecuali.

Media sosial kerap kali dijadikan ladang untuk meyakinkan masyarakat dalam hal dunia politik, terutama dengan membawa nama atau simbol-simbol keagamaan, atau bahkan ulama (orang bepengaruh dalam membimbing hati di kalangan muslim). Seperti contoh ketika pilpres 2019 silam. Waktu itu kandidat Joko Widodo mengusung nama KH. Ma’ruf Amin sebagai bakal calon wapres. Munculnya nama KH. Ma’ruf Amin dalam ruang politik berpotensi memunculkan politisasi agama dan politisasi ulama.

Kasus lain terkait politiasasi ulama juga terjadi di Pasuruan, Jawa Timur, perspektif Kiai Silo pada pilpres 2019 silam.  Begitupun di Pilwali kota Probolinggo 2018 silam, Habib Hadi Zainal Abidin keluar sebagai pemenang dalam persaingan politik tersebut. Menilik kedua contoh di atas tidak lepas dari background dari keduanya yang memiliki power besar dan berpengaruh di kalangan masyarakat muslim dalam hal keagamaan. Sehingga mampu menarik perhatian masyarakat muslim untuk memilihnya.

Baca juga:  Pemetik Puisi (7): Berpuisi Kota Suci

Sebagai basis internet dan memungkinkan pertukaran dan penciptaan user generated content yang diungkapkan Andreas Kaplan dan Michael Maenlein (2010), nampaknya di sini pendapat dari sudut pandang yang berbeda dari berbagai supporter politik beberapa pihak dengan mudah mengklaim dirinya yang paling benar, dengan membawa agama. Tidak jarang pula sesama umat muslim di media sosial saling mengkalim paling benar, yang rata-rata di dominasi kelompok puritan.

Baik dalam bentuk audio, teks/tulisan, video dan bahkan symbol keagamaan/bahasa agama (Islam), bahkan masalah dalam menyikapi politik yang tersebar di kanal-kanal media sosial.  Namun dalam hal politik, golongan di satu sisi yang cenderung demokrasi bahkan moderat memiliki klaim tersendiri dalam menyikapi pemilu menjelang perpolitikan, seperti halnya pilpres tahun 2019 lalu. Sebagaimana Ma’ruf Amin menyebutkan bahwa waktu itu tidak hanya perang politik, tetapi juga perang ideologi moderat-radikal. Lalu Ma’ruf bertutur untuk memilihnya dan memohon doa supaya memenangkan pemilihan tersebut serta berjanji akan menjaga NKRI.

Dari kasus demikian pada 2019 silam, akankah pada tahun 2024 terulang kembali?, dimana agama menjadi senjata dalam memilih suara, atau menjadikan ulama sebagai maghnet dalam dunia perpolitikan. Akankah juga media sosial kembali digunakan dalam mempengaruhi suara atau follower di panggung politik?. Tentu menjadi pertanyaan kita bersama, bahwa dunia perpolitikan yang berbumbu unsur agama (Islam)/pengaruh Ulama di Indonesia tidak bisa dipungkiri di setiap tahunnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top