Sedang Membaca
Menjilbabi Nusantara
Joko Yuliyanto
Penulis Kolom

Penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku dan Naskah Drama. Aktif Menulis Opini di Media Daring dan Luring.

Menjilbabi Nusantara

Sebelum reformasi, jilbab menjadi hal yang tabu bagi muslim Indonesia. Apalagi era rezim orde baru yang menganggap jilbab sebagai sikap melawan pemerintah. Pemerintah orde baru memusnahkan simbol-simbol ideologis yang terkait dengan Islam, termasuk partai-partai yang berlatar belakang agama.

Meskipun gairah revolusi Islam di Iran dengan mazhab syiah pada 1979 sudah mendunia, kemudian pada tahun 1980, gelombang pertama mahasiswa Indonesia yang belajar di Timur Tengah (sebagian besar di Mesir) mulai berdatangan ke Indonesia, kebijakan membatasi simbol agama, termasuk penggunaan jilbab, masih membelunggu masyarakat Indonesia.

Namun dengan maraknya para siswi berjilbab di banyak sekolah memaksa pemerintah menerbitkan sebuah aturan baru SK No. 052/C/Kep/D.82. Ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Prof. Darji Darmodiharjo, S.H. pada 17 Maret 1982 yang isinya tentang kebijakan baru pemerintah terkait standarisasi penggunaan seragam sekolah secara nasional.

Meskipun demikian, skeptisisme pemerintah terhadap siswa berjilbab tetap berlangsung selama periode pemerintahan orde baru dengan tidak memberikan kompromi terhadap keberadaan siswi berjilbab di sekolah-sekolah negeri. Apalagi narasi jilbab beracun dan terorisme begitu melekat kepada muslim berjilbab. Namun perlawanan menentukan keyakinan oleh masyarakat membuahkan hasil pada 16 Februari 1991 dengan ditetapkannya SK.No.100/C/Kep/D/1991 yang intinya pemerintah membolehkan para siswi untuk mengenakan pakaian yang didasarkan pada keyakinannya.

Baca juga:  Muhammad Rizieq Shihab: Antara Islam Politik dan Politik Elit

Hingga akhirnya keruntuhan rezim orde baru dengan semangat reformasi dan berdemokrasi membuat gairah berjilbab menjadi masif di nusantara. Bahkan hampir di setiap ruang sekolah, bangku kuliah, hingga perkantoran mayortitas dihuni muslim berjilbab. Ketika orde baru jilbab dianggap tabu, sekarang muslim tidak berjilbab yang dianggap tabu.

Jilbab sudah menjadi tren generasi milenial. Selain pengaruh dakwah yang mewajibkan jilbab bagi wanita, faktor lingkungan juga memaksa muslim lainnya mengikuti perkembangan gaya berpakaian yang dianggap islami, menarik, dan sopan. Meskipun beberapa muslim yang berjilbab kadang menunjukan sikap kontradiktif dengan akhlak seorang muslim. Misalkan berjilbab tapi berperilaku maksiat.

Batasan Aurat

Jilbab adalah pakaian perempuan muslim untuk menutup aurat yang diwajibkan oleh agama untuk menutupinya. Ada konsep menarik dari pemahaman jilbab dengan tujuan menutup aurat. Meskipun masih menjadi perdebatan mengenai batasan aurat bagi wanita muslim, namun esensi dari aurat sendiri adalah sesuatu yang wajib ditutupi. Kalau dalam Islam, salah satu fungsi menutup aurat (berjilbab) adalah untuk menghindari fitnah. Demikian yang dianjurkan agama untuk ditutupi dan tidak diumbar ke publik.

Aurat adalah aturan pemilik kehidupan tentang sebagian prinsip yang harus dijaga oleh makhluk-Nya. Dijaga bisa ditafsirkan dengan menutupi atau melindungi. Jika seseorang menutupi aurat, berarti tidak tergantung kepada benar dan salah, baik dan buruk, atau indah dan jelek.

Baca juga:  Bertemu Gus Dur Sejak dalam Pikiran

Kebenaran, kebaikan, dan keindahan itu terletak pada tindakan menutupinya. Bukan objek yang ditutupinya. Misalkan payudara wanita itu akan indah dan menarik jika ditutupi. Sebaliknya jika payudara wanita tidak ditutupi dan diumbar di khalayak umum. Maka yang terjadi bukan lagi keindahan, melainkan rasa iba dan menjijikan. Karena akan dianggap seperti orang gila.

Namun juga ada, sesuatu yang jelek dan memang harus ditutupi. Misalkan dubur. Intinya adalah manusia harus paham untuk apa, bagaimana, kapan, dan kenapa aurat harus ditutupi. Keindahan dan kejelekan aurat tidak tergantung pada objeknya, melainkan cara pandang manusia itu sendiri.

Selain itu ada juga aurat yang harus ditutupi meskipun merupakan sebuah kebenaran. Misalkan ada seorang anak bertanya kepada ibunya, “Darimana dulu aku lahir?”.

Tidak lantas seorang ibu buka celana dan menunjukan tempat di mana anak tersebut dilahirkan dan kemudian menjadi bayi. Itu merupakan kebenaran yang harus ditutupi. Namun ada juga kebenaran yang harus dibuka. Yaitu batasan aurat tentang keburukan seseorang. Misalkan korupsi, pembunuhan, dan tindakan kriminal lainnya. Itu adalah aurat yang harus dibuka agar menjadi pelajaran bagi semua orang bahwa setiap kejahatan akan mendapatkan hukuman.

Generasi milenial yang dimanjakan dengan media digital harus memahami substansi dari aurat agar tidak terlihat telanjang di depan publik. Ada banyak hal yang mestinya ditutupi tapi malah mejadi konsumsi publik. Berita yang belum benar kejelasannya sudah menjadi viral karena kepentingan tertentu. Penyebaran hoax, fitnah, dan caci maki atas nama agama adalah sikap yang bertentangan dengan konsep berjilbab seorang muslim.

Baca juga:  Agar Gerakan Nahdlatul Ulama Lebih Berkualitas

Era teknologi informasi dengan menjadikan media sebagai kebutuhan pokok muslim milenial harus diberikan pemahaman tentang batasan “aurat” bagi penggunanya. Ada hal yang tidak perlu diumbar ke publik, ada juga sesuatu yang wajib untuk diketahui masyarakat. Setiap muslim harus memahami esensi dasar aurat agar tidak terjebak pada dimensi tekstualis.

Butuh kampanye lebih besar untuk menjilbabi nusantara, tidak hanya dengan memperbarui tren jilbab, tapi lebih kepada pemahaman tentang konsep aurat dan jilbab agar tidak terjebak pada perdebatan yang tidak substansif. Jilbab bukan hanya gaya berpakaian, lebih dari itu, jilbab adalah gaya berperilaku.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top