Sedang Membaca
Bahaya Memahami Teks Keislaman Secara Leterlek: Menguak Karakteristik Kaum Islam Ekstremis
Ali Mursyid Azisi
Penulis Kolom

Penulis artikel ringan dan jurnal ilmiah. Saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Bahaya Memahami Teks Keislaman Secara Leterlek: Menguak Karakteristik Kaum Islam Ekstremis

ekstremisme

Memasuki era dewasa ini, perkembangan fenomena keagamaan semakin bervarian dan dengan beragam ekspresi. Oleh karenanya, beragam pula respon yang dihadapi masyarakat terkait fenomena yang berkembang di tengah masyarakat yang multikultural, layaknya Indonesia. Terlebih dari segi keagamaan (Islam) sebagai masyoritas, menjadi simbol kemajuan peradaban Islam di Indonesia.

Sebagaimana Islam yang ditumbuhkembangkan oleh Nabi Muhammad Saw, upaya mengimplementasikan nilai agama dengan santun, damai, cinta kasih, dan toleran begitu diharapkan dalam kehidupan. Akan tetapi, Sihabuddin Afroni dalam karyanya dengan judul “Makna Ghuluw dalam Islam: Benih Ekstrimisme Beragama”, menyebutkan bahwa tidak sedikit pula ada kelompok Islam ekstrem (ghuluw) juga mulai berkembang di Indonesia, dimana mereka kerap kali menyandarkan pada teks-teks atau dalil dalam merespon segala hal.

Salah satu respon yang acap kali digaungkan oleh kelompok Islam tersebut adalah prinsip dalil amar ma’ruf nahi munkar. Memang perintah tersebut tertulis dalam al-Qur’an, dan beberapa seruan untuk melakukan kebaikan, membela yang benar dengan bijak. Akan tetapi, seiring berkembangnya waktu, pemaknaan teks ‘amar ma’ruf nahi mungkar oleh beberapa kelompok Islam yang condong pada tindakan dan pemikiran ekstrim disalahtafsirkan.

Sebagaimana dalam kasus beberapa tahun silam ketika kelompok Front Pembela Islam yang mengobrak-abrik (merusak) warung dengan dalih mengasnamakan agama. Ekstrem dalam KBBI bermakna: a). paling keras, paling ujung, paling tinggi: b). sangat teguh, fanatik, keras. Dengan begitu, ekstrimitas merupakan suatu hal (perbuatan/tindakan) yang keluar dari batas.

Jika diposisikan dalam terminologi syariat Islam, sikap demikian disebut dengan ghuluw (berlebihan dalam suatu perkara). Atau juga bisa didefinisikan sebagai suatu sikap yang melampaui batas. Secara istilah, ghuluw merupakan tipe atau model keberagamaaan yang mengakibatkan seseorang yang menempuh jalan tersebut tidak sesuai dengan syariat.

Baca juga:  Praktik Fikih Selama Pandemi (4): Bagaimana Pesantren Menghadapi Wabah?

Namun, terdapat istilah lain dalam konteks tersebut, seperti halnya ifrat (mempersempit), tanattu’ (bersikap keras), takalluf (memaksakan diri) atau tashaddud (menyusahkan sesuatu). Secara garis besar, sikap tersebut dibagi menjadi dua bagian. Pertama ekstrem dalam segi akidah, seperti halnya ghuluw orang-orang Nasrani terhadap konsep Trinitas yang begitu mengagunggkan Nabi Isa As, bahkan dianggap Tuhan.

Dalam Islam sendiri sikap demikian juga dianut oleh kelompok Syiah Rafidhah yang kala itu memposisikan Ali bin Abi Thalib lebih tinggi dari para sahabat dan Rasulullah Saw. Bahkan yang lebih ekstrem mereka menganggap Ali sebagai manifestasi dari Allah SWT. Salah satu contoh ekstrem lainnya yaitu ketika seorang sufi yang menganggap gurunya yang paling benar dan tidak mungkin salah/keliru.

Sedangkan makna teks amar (al-amr) sendiri berakar dari kata bahasa Arab yang artinya perintah, menyuruh atau juga memerintahkan. Ma’ruf sendiri berartikan diketahui, dikenal, serta diakui baik oleh masyarakat, akal sehat bahkan syariat Islam. Teks ma’ruf, didefinisikan sebagai suatu kebaikan yang sudah diakui dan dikenal oleh kebiasaan (‘uruf) yang sudah melekat di tengah kehidupan masyarakat.

Seperti halnya yang ditulis oleh Muhbib Abdul Wahab dalam karyanya yang bertajuk “Kontekstualisasi Amar Ma’ruf  Nahi Munkar”, contoh kecil dapat kita lihat seperti menyingkirkan batu dan duri di jalan, bersalaman dengan orang yang lebih tua, aktivitas gotong royong dan sebagainya.

Sedangkan sambungan teks tersebut yaitu nahi munkar (an-Nahyu ‘an al-munkar) berarti mencegah segala hal yang ditolak, melarangnya, dinilai tidak masuk ruang lingkup kebaikan, dibenci, dan dinilai tidak sesuai dengan tatanan norma dan syariat Islam. Sepeti contoh, membuang sampah sembarangan, korupsi, merampok, mencuri, melakukan kerusakan, berjudi, dan hal yang senada.

Baca juga:  Apa Itu “Islam Kaffah”?

Sebagaimana umumnya diketahui, ciri khas Islam ekstrem yaitu menyandarkan segala sesuatu kepada teks keislaman, bahwa memandang hal yang tidak sependapat dengan pemikirannya adalah tindakan yang yang tidak tepat secara syariat. Tindakan demikian kurang tepat implementasinya jikalau menggunakan kekerasan dan pengerusakan seperti halnya FPI yang acap kali merusak fasilitas dan hak milik orang lain atas nama agama.

Konsep amar ma’ruf nahi munkar pada hakikatnya bertujuan untuk memperbaiki dan merubah situasi kondisi masyarakat/manusia pada ranah kehidupan sebagaimana mestinya, yaitu kebaikan dan kemuliaan sebagai seorang hamba. Hal ini termaktub dalam QS. Ali-Imaran: 104:. Redaksi dalam ayat tersebut memerintahkan dan mengajak kepada umat Islam kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran.

Dalam hal ini pada akhirnya memunculkan istilah dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Dakwah yang dimaksud di sini adalah secara luas, dalam artian tidak terbatas hanya dengan lisan (pidato, ceramah, orasi, dan hal yang senada), akan tetapi juga mencakup bagaimana bertindak berperilaku yang baik, adil, memberdayakan umat, menegakkan hukum.

Terlebih pada kasus yang kerap kali terjadi seperti halnya kelompok Islam Front Pembela Islam pada beberapa tahun terakhir melakukan tindak kerusuhan, maka tidak sejalan dengan tujuan awal diturunkannya teks Al-Qur’an tersebut. Kesalahpahaman dan penafsiran yang dangkal menjadikan pemahaman Islam ekstrem pun sempit dan menghalalkan segala cara dalam meraih keinginannya, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.

Khaled Abou el-Fadl menjuluki kelompok tersebut dengan puritan, eksklusif, intoleran, tekstualis dan ekstrem. Dalam konteks kekinian, Islam ekstrem di Indonesia diwakili oleh kelompok FPI, LDII, HTI, Mujahidin Indonesia Timur dan sekte yang senada. Bahkan hal demikian juga menjamur pada ranah Universitas yang kini dikenal dengan Gema Pembebasan yang begitu semangat menggaungkan isu negara Khilafah sebagai patokan paten dalam bernegara ala Islam.

Baca juga:  Memahami Kaidah Fikih “Ijtihad La Yunqad bil Ijtihad”

Begitu pula dengan adanya jargon jihad fi sabilillah yang dimaknai dengan memerangi kebathilan dengan cara apa pun. Mengatasnamakan agama dalam memberantas segala sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan pemikirannya semakin gencar dalam membumikan dakwah yang menurutnya benar. Jihad dipandang juga sebagai salah satu jalan perang suci yang harus dilaksanakan dengan penuh semangat, bahkan siapa pun penganut aliran ekstrem jika gugur dalam proses jihad tersebut, maka balasan yang mereka yakini adalah syurga dan sahid.

Seperti halnya aksi pengeboman dan bahkan aksi teror di berbagai instansi pemerintahan maupun khalayak umum dengan dalih atas nama membela Islam. Padal dalam Islam sendiri, pemahaman secara teks saja tidak cukup dalam memahami makna berislam ala Nabi Muhammad Saw yang penuh dengan kesantunan dan toleransi dalam penerapannya. Bahkan Islam sediri dalam realitasnya dalam al-Qur’an banyak menyeru tentang kebaikan dan seruan perdamaian tanpa kekerasan.

Dengan begitu, tindakan yang dilakukan kelompok Islam ekstrem dalam memahami teks amar ma’ruf nahi munkar tersebut terdapat kesalahpahaman jika masih terdapat unsur kekerasan atau pengerusakan di dalamnya. Sesuai dengan prinsip Islam yang damai dan santun kepada siapapun, konsep rahmatan lil ‘alamin, merupakan upaya implementasi yang tepat untuk dibumikan di Indonesia.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top