Sedang Membaca
Malik Fadjar dan Kisah Puntung-Puntung Rokok
Alfi Saifullah
Penulis Kolom

Alumnus Ponpes Manbaul Ulum Batu. Penulis Kolom dan Buku Biografi, salah satunya "Raden Panji Iskandar Sulaiman: Jejak-jejak perjalanan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari". Tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Instagram: saif.ullah1090.

Malik Fadjar dan Kisah Puntung-Puntung Rokok

Malik Fadjar

Pada tahun 2010 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa dengan nomor 6/SM/MTT/III/2010 tentang haramnya rokok. Namun, dalam sepanjang sejarahnya, tidak semua warga Muhammadiyah benar-benar meninggalkan rokok. Setidaknya terdapat tiga tokoh Muhammadiyah yang juga dikenal sebagai perokok. Mereka adalah, Buya Hamka (Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrulah), Pak AR (KH. Abdurrozaq Fachrudin), dan Pak Malik (Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar, M.Sc). Untuk nama terahir ini sangat identik dengan rokok, bahkan menjadi humor di kalangan Muhammadiyah.

Pria berkumis, berpostur tinggi besar yang terlahir di Yogyakarta pada 22 Februari 1939 itu merupakan tokoh nasional dan tokoh pendidikan dari kalangan Muhammadiyah. Berturut-turut Pak Malik pernah menduduki sejumlah posisi penting di republik ini. Terhitung sebagai Ketua HMI Jawa Timur, Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dirjen Binbaga Kemenag RI, Menteri Agama, Menteri Pendidikan Nasional dan Dewan Pertimbangan Presiden.

Inilah secuil kisah Pak Malik dengan puntung-puntung rokoknya!

Ketika Pak Malik Ngudud: Sebuah Permulaan.

Kebiasaan merokok Pak Malik tidak lahir dari ruang kosong. Semua bermula ketika ia masih kelas dua SD, tepatnya ketika terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda pertama pada tanggal 21 Juli 1946. Pada waktu itu ayahnya, Bapak Fadjar Matodihardjo yang merupakan kepala sekolah SD Muhammadiyah Kedungbanteng, Yogyakarta ikut bergerilya bersama para pejuang lain. Ketika Belanda menyerbu Kota Yogyakarta, Pak Fadjar bersama beberapa aktivis Muhammadiyah yang lain harus angkat senjata melawan penjajah. Meski tidak pernah menempuh pendidikan militer, mereka turut bergabung dengan Laskar Hizbullah Batalyon 36 yang bermarkas di depan Hotel Yogya Kembali. Terpaksa segala aktivitas belajar-mengajar harus dihentikan.

Baca juga:  Ulama Banjar (163): KH. Nur Salim Safran, Lc.

Demi keselamatan anak-anaknya, Pak Fadjar mengungsikan mereka ke kampung halaman di Dusun Kembang, Desa Pasuruan, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Pak Fadjar menitipkan 4 orang anaknya, Abdul Madjid Fadjar, Abdul Ghofar Fadjar, Abdul Malik Fadjar, dan Abdul Mukti Fadjar kepada keponakannya yang bernama Rochmad. Sementara anak sulung yang bernama Abdul Azis Fadjar yang kala itu sudah menginjak remaja, ikut dengannya berjuang melawan Belanda. Sedangkan istrinya, Salamah, beserta dua anaknya yang lain, Siti Marfu’ah dan Abdullah Fadjar tetap tinggal di rumah kontrakannya yang terletak di Kampung Suronatan Yogyakarta.

Sejak saat itulah kehidupan Abdul Malik Fadjar berubah total. Ia terpaksa harus putus sekolah selama tiga tahun. Sehari-hari Malik Fadjar hanya membantu Rochmad yang dipanggilnya Pak Mad mengurusi sawah. Ia mencangkul, membajak, juga menggembala dan mencarikan damen (jerami) untuk kerbau milik Pak Mad. Selama masa-masa inilah Malik Fadjar mulai berkenalan dengan rokok. Mulai dari coba-coba dengan teman-temannya sampai menjadi pecandu berat. Pun  dari beberapa jenis rokok kelas berat sampai rokok jenis mild. Kebiasaan merokok itu terus berlanjut sampai Malik Fadjar menjadi Menteri Pendidikan Nasional era Presiden Megawati. Ketika diwawancarai oleh Anwar Hudijono tentang kebiasaannya tersebut, dengan enteng Pak Malik berkata, “Saya sulit lepas rokok. Tetapi sekarang sudah berkurang”(Anwar Hudijono, 2006).

Pak Malik, Muhammadiyah, dan Rokok

Dalam acara Kenduri Cinta, Emha Ainun Najib atau Cak Nun pernah berkelakar, “Dalam urusan rokok, orang Muhammadiyah terpolarisasi menjadi dua golongan. Ada yang menolak dan ada pula yang menerima. Mereka yang menolak mengikuti madzhab Syafii, sebaliknya yang menerima mengikuti madzhab Maliki.” Madzhab Syafii yang di maksud bukanlah Imam Muhammad bin Idris As-Syafii (w 204 H), melainkan Buya Syafii Ma’arif yang memang tidak merokok. Sedangkan Madzhab Maliki bukan pula Imam Malik bin Anas (w 179 H), melainkan Prof. Dr. Malik Fadjar, M.Sc yang dikenal sebagai perokok berat. Kontan, kelakar Emha ini disambut gelak tawa oleh para jama’ah yang hadir.

Baca juga:  Ulama Banjar (108): H. M. Yakub

Apa yang dikelakarkan Cak Nun bukan sekadar retorika belaka, namun sebuah fakta. Cak Nun sendiri terhitung sahabat dekat Pak Malik Fadjar. Ia kerap hadir di Majelis Reboan, sebuah forum diskusi yang digelar Pak Malik Fadjar di rumah dinasnya selama menjadi Dirjen Binbaga Kemenag. Sebuah rumah yang terletak di Jl. Indramayu 14, Jakarta. Pun keduanya termasuk dari 10 tokoh yang diundang Presiden Soeharto ke Istana Merdeka menjelang kelengserannya. Ketika ditanya tentang Fatwa Haramnya rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Pak Malik Fadjar berkomentar, “Puntung rokok saja diurusin sama majelis” (Maman, 2020).

Dalam sebuah kesempatan, almarhum Dr. KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU pernah berbicara tentang sulitnya penerapan fatwa haram rokok di kalangan umat Islam, termasuk di kalangan Muhammadiyah. Lantas Kiai Hasyim bercerita pengalamannya, bahwa ia pernah memergoki Pak Malik Fadjar sedang merokok di sudut sebuah Bandara. Secara spontan, pengasuh PP. Al-Hikam Malang itu menegurnya,

“Lo, Pak Fadjar, sampeyan kan Muhammadiyah, merokok itu haram?”

“Ya, untuk sementara saya pindah NU dahulu”, jawab Pak Malik

“Lho, nanti kalau rokoknya sudah habis?”

“Ya pindah Muhammadiyah lagi”, jawab Pak Malik singkat. Kedua tokoh yang sama-sama dari Kota Malang itu pun tertawa terkekeh-kekeh (Abdul Wahid Asa, 2012).

Baca juga:  Zaki Naguib Mahmoud: Sebab Islam Menjadi Agama Wahyu Terakhir

Terkait Pak Malik dengan rokoknya, Prof. Dr. Mahfud MD mempunyai cerita tersendiri. Suatu ketika ia pernah rapat bersama Prof. Malik Fadjar. Di tengah-tengah rapat beliau izin keluar sebentar untuk merokok. Lantas Pak Malik berkelakar kepada Prof Mahfud, “Saya mau masuk NU sebentar”.

Memang, Muhammadiyah telah memfatwakan bahwa rokok haram. Tapi Pak Malik Fadjar tak sedang melawan. Ia sedang menunjukkan bahwa dalam perkara kecil seperti rokok, ruang toleransi dan canda bisa tetap hidup. Bahwa kadang, menjadi bijak berarti tahu kapan harus melonggarkan, bukan hanya mengencangkan.

Rokok bukan soal dosa atau pahala. Bukan pula tentang nikotin. Ia adalah jeda. Dari jeda itu, seorang Abdul Malik Fadjar mengendapkan pikiran, merfleksi, mungkin juga berdoa. Sebab, dalam kepulan terakhir rokoknya, ia tetaplah seorang guru—dengan segala suka, duka, dan logika.

Itulah Prof. Dr. Abdul Malik Fadjar. Guru. Perokok. Pencerah. Manusia.

Bahan Bacaan:

  • Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, 2006, Darah Guru, Darah Muhammadiyah ; Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar, Jakarta : Penerbit Kompas.
  • Majalah AULA edisi TAB’AH 11/SNH XXXIV/NOPEMBER 2012.
  • Maman A. Majid Binfas, 2020, Mamonisme: Doridungga Hingga BJ. Habiebie dalam diksi bermada cinta, Jakarta: UHAMKA Press.
  • Muhammad Ihsan, 2017, Merokok dalam perspektif Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, dalam Jurnal Al-Qadha Vol 4 No.1 Tahun 2017.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top