
Seorang individu terkadang sering kali diingat dalam satu sisi yang paling ekstrem. Misalnya, seorang aktivis yang keras dalam menyuarakan ketimpangan sosial, dianggap tidak memiliki ruang religiusitas di sisi lain, begitu juga sebaliknya. Demikian yang menimpa Wiji Thukul. Penyair kelahiran Kampung Sorogenen Solo 26 Agustus 1963 ini, acapkali digambarkan dengan nada keras dan kritis. Simbol perlawanan terhadap kesewenangan rezim. Hal itu terlihat dari beberapa puisi cadasnya seperti; peringatan, nyanyian akar rumput, atau istirahatlah kata-kata.
Tapi dalam banyak celah, kita akan menemukan aroma yang jarang dibicarakan oleh mereka yang mengenal Thukul lewat slogan; “Hanya satu kata: Lawan!” Thukul dalam beberapa kesempatan―tampak sangat religius. Ia pernah menulis beberapa puisi bertemakan madah kepada Tuhan, tentang doa. Inilah sisi-sisi lain Wiji Thukul, sisi religiusitas.
Akar-akar Religiusitas Wiji Thukul
Wiji Thukul remaja―ketika duduk di bangku SMPN 8 Solo―merupakan umat Katholik yang taat. Ia aktif beribadah di Kapel Sorogenen setiap Ahad pagi. Thukul merupakan anggota kor, paduan suara gereja yang mengiringi jalannya ibadah. Meski bagian dari anggota paduan suara, Thukul tidak pernah sama sekali membawa buku doa dan nyanyian Madah Bakti ketika berlangsung peribadatan.
Ia menyuruh adiknya, Wahyu Susilo untuk membawakan buku-buku liturgi. Ketika diprotes oleh Wahyu, dengan enteng Thukul berkata, “Aku kan anggota kor, jadi nyanyian sudah hafal semua.” Sebaliknya ia malah membawa buku cerita silat karya Asmaraman S Khoo Ping Hoo yang disewanya dari perpustakaan kampung. Menurut Wahyu, kakaknya itu memang hafal betul lagu-lagu gereja. Cerita silat yang dibawa hanya sebagai gaya-gayaan, seolah-olah ia membaca lirik lagu.
Selain mendapat ‘asupan’ religi dari gereja, Wiji Thukul juga mendapat sentuhan kebatinan dari Cempe Lawu Arta Wisesa, pendiri Teater Jagat. Cempe sendiri merupakan anggota Bengkel Teater yang diasuh WS. Rendra. Bersama beberapa muridnya yang lain seperti Hartono, Jantit, dan Lutio, Cempe kerap olah batin, meditasi dan ngrogo sukma.
Tahun 1981, saat Thukul kelas II SMKI (Sekolah Menengah Karawaitan Indonesia), ia memutuskan bergabung dengan Teater Jagat. Awalnya hanya ikut-ikutan, namun setahun kemudian ia berhenti sekolah dan memilih bergabung. Cempe-lah yang mengarahkan Thukul untuk selalu menulis puisi, karena ia tahu bakat kepenyairan yang dimiliki Thukul.
Tahun 1981-1982, puisi Thukul kerap menghiasi acara Ruang Puisi di Radio PTPN Rasitania Surakarta. Acara yang diasuh Hanindawan dan Tinuk Rosalia itu, digelar setiap hari Rabu selama satu jam. Ketika diwawancarai wartawan Tempo, Tinuk mengatakan, “Sebagaimana kebanyakan penyair muda zaman itu, pandangan kepenyairan Thukul begitu terpana pada puisi-puisi yang bersifat perenungan religius.” Sebaliknya Thukul pernah mengatakan, “menulis puisi bagi saya adalah doa dan pengalaman religi.”
Puisi dan Religiusitas Wiji Thukul
Meski Wiji Thukul pernah menulis puisi bertemakan Tuhan dan Religiusitas, namun tema besarnya tidak keluar dari struktur sosial yang melingkupinya―ketimpangan. Dalam catatan pinggir, Goenawan Mohamad mengatakan ciri utama sastra Indonesia pasca kemerdekaan adalah suara tentang kemiskinan, represi, dan kekerasan politik. Setidaknya, ada empat puisi religi Wiji Thukul yang menyebut Tuhan secara langsung, Nyanyian Abang Becak, Semenjak Aku Berkenalan dengan-Mu, Aku dilahirkan di sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai, dan Lagu Persetubuhan.
Dalam puisi Nyanyian Abang Becak, Wiji Thukul mengeluhkan kepada Tuhan atas kondisi ekonomi ayahnya, seorang pengayuh becak yang sering bertengkar dengan ibunya karena harga kebutuhan pokok yang melangit.
maka aku tidak akan lagi memohon pembangunan nasib
kepadamu duh Pangeran duh Gusti
sebab nasib adalah permainan kekuasaan.
Ada dua hal yang penting di sajak ini. Pertama, Thukul menyebut Tuhan dengan penuh hormat; Pangeran, Gusti―sapaan spiritual orang Jawa terhadap Tuhan. Kedua, ia merasa terasing, karena kondisi hidup terasa pahit. Thukul melakukan protes spiritual―karena nasib rakyat kecil ditentukan bukan oleh takdir Ilahi, melainkan oleh kebijakan elitis yang tidak berpihak.
Dalam puisi Semenjak Aku Berkenalan dengan-Mu, Wiji Thukul menampakkan sisi puitik dari spiritualitas:
bertemu dengan-Mu
tak perlu kemana-mana
tapi inilah yang terjadi
lengan dan kakiku selalu tumbuh
sedang untuk memelukmu tak perlu jari ini
seribu lenganku
seribu kakiku
menjauhkanku pada-Mu.
Dalam puisi ini, terasa bahwa Thukul menyadari akan kesibukan duniawi, perjuangan, bahkan keberhasilan dirinya sendiri―bisa menjadi hal yang menjauhkan dari Tuhan. Inilah bentuk kesadaran mistik dimana kedekatan dengan Tuhan justru tidak bisa dicapai oleh fisik, tapi oleh batin―dari rasa kehilangan dan rindu yang mencekam. Sebaliknya, dalam puisi Aku Dilahirkan di Sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai, Thukul malah berbicara tentang keberadaan dan kekurangan. Ia melakukan kontemplatif dan reflektif:
di sana ada meja penuh kue aneka warna, mereka menawarkannya
padaku, kuterima kucicipi semua, enak!
Itulah sebabnya aku selalu lapar
Sebab aku hanya punya satu, kemungkinan!.
Ia menutupnya dengan kalimat yang begitu menggigit:
Tuhan aku terluka dalam keindahan-Mu.
Ini diksi pencari spiritual, menyimpan paradoks yang begitu kuat. Di satu sisi, Tuhan adalah keindahan, namun keindahan itu menyisakan luka, karena Dia membuat manusia sadar betapa kecil dan rapuhnya diri.
Dalam puisi Lagu Persetubuhan, Wiji Thukul menyuarakan pencarian kebermaknaan sebagai manusia dalam relasi kosmis dengan Tuhan:
kalau angka aku pun angka tak genap
tapi satu mana lengkap tanpa yang pecah
maka aku pun rela jadi sepersekian dari keutuhan-Mu
sebab tak lengkap engkau tanpa aku
sebab tak sempurna engkau tanpa manusia
………………………
melengkapi-Mu
demikian, kita bersetubuh dalam udara
bukankah begitu Tuhan?.
Bait-bait ini sangat berani. Dalam kacamata doktrin, mungkin terdengar blasphemous. Tapi dalam sufisme, justru sangat spiritual. Seperti Rumi dan Rabi’ah yang melihat hubungan manusia dan Tuhan sebagai relasi cinta yang menyatu, membakar, dan tak terpisahkan. Bahwa manusia adalah bagian dari keutuhan Ilahi. Thukul menyadari itu, ia mengartikulasikan dalam metafora sensual tapi sangat spiritual.“Kita bersetubuh dalam udara,” katanya.
Alhasil, Wiji Thukul bukan hanya penyair perlawanan, juga spiritual―yang menyuarakan realitas getir, tapi tak kehilangan keterhubungan dengan Ilahi. Tuhan dalam puisinya bukan Tuhan doktrinal, tapi Tuhan yang hadir dalam lapar, cinta, dan luka.
Dalam sastra Indonesia yang sering terbelah antara “sosialis” dan ”religius,” Thukul telah menjembatani keduanya. Puisi-puisinya menunjukkan bahwa iman bisa hadir dalam wujud tak biasa―dalam becak, dapur, angka ganjil, bahkan dalam api persetubuhan sekalipun. Wallahu a’lam.
Bahan Bacaan:
Wiji Thukul, 2004, Aku Ingin Jadi Peluru: Kumpulan Puisi, Magelang: Indonesiatera.
Tim Tempo, 2013, Wiji Thukul: Teka-teki Orang Hilang, Jakarta: Tempo & KPG.