Sedang Membaca
Buya Syafii, Gus Mus, dan Cahaya Bangsa
Alim
Penulis Kolom

Direktur Institute of Disaster and Emergency Medicine (I-DEM). Meminati dunia seni dan buku. Tinggal di Jogjakarta

Buya Syafii, Gus Mus, dan Cahaya Bangsa

Suatu siang saat saya makan nasi Padang, handphone berdering. “Hah, Buya telepon! Ada apa?,” batin saya bertanya karena kalau Buya telepon pasti ada yang sangat penting, lah wong biasanya cukup Whatsapan. Saya angkat telepon, “Pak Dokter, Bangsa ini terancam pecah!”

Kalimat menghentak yang dilanjutkan dengan beberapa cerita Buya. Tampaknya Buya habis masuk ke dapurnya istana dan para elit politik, lalu melihat sesuatu yang berbahaya bagi bangsa ini. Percakapan via telepon Ini terjadi sebelum pilpres yang nyatanya di kemudian hari terbukti membelah bangsa ini menjadi dua: kadrun dan kampret.

Dari telepon itu yang terpikir di benak saya –dan itu mengkhawatirkan bagi saya– adalah kesehatan Buya. Saat itu Buya sudah 83 tahun. Meski Buya adalah orang yang disiplin dalam menjaga kesehatan namun tetap saja sudah sepuh dan jelas memiliki banyak risiko. Untuk shalat di masjid pun Buya sudah menggunakan kursi. “Saya yang hanya ngurusi hidup sendiri aja capek dan bisa drop saat stress, apalagi Buya yang urusannya soal Bangsa Indonesia,” pikir saya.

Buya itu memang begitu. Kepentingan pribadinya diurus secukupnya, tapi urusan orang lain apalagi urusan bangsa dipikirkan betul secara serius. Buktinya, tepat di hari ulang tahun Buya yang ke 86 tahun (31/5) sekarang ini, Buya masih sempat menulis di Kompas berjudul “Lumpuhnya Pancasila”.

Dari judul sampai penutup isinya tajam. Bertambahnya umur tidak membuat Buya kendor dalam memikirkan orang lain dan bangsa. Buya terkenal sebagai tokoh yang berani speak up kebenaran yang beliau yakini meski banyak orang menghujat. Kepentingan pribadi sudah di belakangkan jauh-jauh.

Ini buktinya kalau kepentingan pribadi sudah di belakangkan: Kalau ada dermawan yang ngasih untuk Buya, yang dapat manfaat orang lain. Saya pernah dititipi “salam tempel” dari dua rekan dokter dari Surabaya, amplopnya tebal sehingga tidak muat di telapak tangan kalau untuk salam tempel.

Baca juga:  Bencana Sesungguhnya: Budaya Saling Menyalahkan

“Apa ini?” tanya Buya saat saya menyerakan dua amplop itu sambil menjelaskan asal-muasalnya. “Pak Dokter bagi saja.”

“Wah, Buya terima dulu agar sah amanah saya, Buya,” pinta saya.

Pendek cerita, setelah Buya terima, uang dalam amplop itu mengalir kepada beberapa anak Yatim dan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Itu baru salah satu contoh kecil. Saya tahu ada hadiah yang lebih besar, bukan amplop tapi mungkin muatnya pakai kardus atau koper, yang diperlakukan serupa oleh Buya. 

Belakangan saya tahu, ada banyak anak-anak yang disekolahkan Buya. Bahkan ada beberapa orang disekolahkan master dan doktoral. Ini juga dilakukan Ummik (istri Buya). Pasangan ini dermawannya minta ampun. Tentang Ummik ini juga inspiratif. Saat operasi lutut, pihak rumah sakit ingin menggratiskan seluruh biaya. Ummik tidak mau. Ummik tidak ingin memberatkan siapa pun. Tapi karena pihak rumah sakit ngotot menggratiskan, Ummik menyerahkan biaya perawatannya untuk pembangunan rumah sakit.

***

Dalam benak saya, kalau ingat Buya, pasti saya ingat Kiai Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus). Mungkin karena saya punya kenangan manis sekali saat menjadi saksi pertemuan keduanya di Masjid Nogotirto. Tidak hanya itu. Bagi saya, persona Buya dan Gus Mus itu sama. Sama-sama sederhana, egaliter, sangat peduli umat dan bangsa, sama-sama Guru Bangsa.

Kemarin saya mengantar Mbak Ienas dan Mas Ulil ke Magelang untuk bertemu Gus Mus yang sedang ada acara di sana. Demi menjaga protokol kesehatan, saya minta ijin untuk sungkem Gus Mus dari jauh, sekedar untuk berucap salam dan dan memandang beliau. Tak dinyana, sesampainya di sana saya diajak Mbak Ienas untuk ke kamar Gus Mus .

Baca juga:  Musdah Berjumpa Para Tokoh Lintas Agama di Wuppertal Jerman

Di depan kamar, saya menunggu Mbak Ienas dan Mas Ulil yang sudah duluan masuk. Saya hanya ingin mengucap salam, lalu mau pamit. Tak dinyana lagi, pintu di buka. “Dokter Alim, monggo loh masuk” Kata Gus Mus. “Hah?” saya dan istri saling pandang.

“Assalaamu’alaikum, Abah. Semoga Abah sehat selalu.” Kalimat itu yang mampu saya ucapkan.

“Monggo.. monggo,” balas Gus Mus, dilanjutkan Mas Ulil dan Mbak Ienas yang mengajak saya yang masih termangu untuk masuk.

Saya dipersilahkan duduk, lalu Gus Mus ngendikan sambil membukakan botol air mineral lalu menuangkan air ke dalam gelas yang beliau tempatkan di depan saya. “Loh, siapa saya sampai diberi anugerah sebegini besar. Ditungkan minum dihadapi dengan hormat, diajak berbincang,” batin saya.

Lalu kami berbincang-bincang. Kadang saya melihat ke arah gelas. Sempat berpikir, wah teman-teman santri pasti ngiri kalau tahu ini hehe..

Begitu dipersilahkan minum untuk kesekian kali, saya minum… “Wah seger bangeet,” batin saya lagi. Setelah di mobil, ternyata istri saya juga bilang ke saya, airnya seger banget. Air yang dituang oleh Wali mungkin rasanya begini.

Di antara muhibbin Gus Mus, tentu saya bukan orang yang paling kenal beliau. Tapi bolehlah saya memiliki kesan bahwa Gus Mus adalah tokoh yang sangat rileks dan egaliter. Untuk sowan beliau tidak memerlukan tangga yang berjenjang. Terlepas kultur pesantren dengan segala jenjangnya, siapa saja bisa sowan di ndalem beliau. Padahal kita semua tahu, beliau sudah duduk di posisi yang sangat terhormat di bangsa ini sama dengan Buya, bukan? Siapa saja bisa sowan Buya di Masjid Nogotirto, apapun pangkat dan posisi sosialnya.

Kesederhanaan Gus Mus dalam hidup terlihat dari ketidak-engganan beliau tinggal di tempat seadanya, yang beliau ceritakan sendiri, “Sekarang saya tinggal di maktab (ruangan kecil), dekat dengan kompor, kaos kaki, dan kardus makanan,” kata beliau sambil tertawa.

Baca juga:  Mengenal Maestro Astronomi dari Pati

Rupanya sementara rumah beliau direnovasi karena sudah lapuk dan membahayakan, Gus Mus tinggal di ruangan kecil di rumah adik beliau. Saya yakin, kalau beliau mau tinggal di rumah mewah atau sewa hotel, tidak sulit.

***

Pagi ini, untuk ketiga kalinya saya diberi anugerah untuk membantu pertemuan Buya dan Gus Mus. Pertama di masjid Nogotirto, kedua saat saya sowan Gus Mus di Rembang saya hubungkan beliau melalui video call, dan ketiga adalah tadi pagi.

“Assalamualaikum, Buya. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan sehat selalu,” sapa Gus Mus saat terhubung dengan Buya video call.

“Asykurukum, asykurukum, asykurukum,” jawab Buya yang dilanjut dengan obrolan dua tokoh ini. Saya menjadi saksi atas momen kangen-kangenan ini. Di seberang sana ada Mbak Ienas dan Mas Ulil membersamai Gus Mus.

Saya sama sekali tidak berani berkata-kata saat video call tersebut. Saya menikmati betul momen mesra dua tokoh ini. Koneksi hati keduanya sangat terasa sangat kuat. Saling mengagumi satu sama lain, saling merindukan satu sama lain. Menjelang akhir video call, air mata saya tak terbendung. Haru, bahagia, khawatir, dan campur aduk.

Saya sangat beruntung bisa menjadi saksi pertemuan beliau-beliau. Pertemuan yang  penuh makna dan rasa.

Selamat ulang tahun Buya Syafii Maarif, doa terdalam kami untuk kesehatan dan seluruh hidupmu. Juga doa terdalam kami untuk Abah Mustofa Bisri. Kami juga mengamini doa Abah untuk Buya. Bangsa ini masih masih sangat membutuhkan Panjenengan berdua sebagai tokoh-tokoh yang ilik-ilik (mengingatkan) kami-kami yang muda. Lebih dari itu, sebagai tokoh-tokoh yang sangat pantas menjadi suri tauladan dan cahaya bangsa yang nyata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top