Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Nur Khalik Ridwan dari Banyuwangi, Setia di Dakwah Literasi

Fb Img 1580521032029

Seorang pelapak buku pernah cerita. Bahwa dulu, akhir tahun 1990-an hingga awal 2000, di sebuah pasar yang lazim dikenal dengan nama “Shopping” (pasar buku) di Yogyakarta, ada seorang anak muda yang rajin berkunjung ke kiosnya.

Dan sebagai seorang penjual atau pedagang, tentu kehadiran seorang calon pembeli, sangatlah dinanti, meski kadang berakhir “tragis”: hanya lihat-lihat, tidak jadi beli. 

Persis seperti yang dialami Pak Muh, sebut saja begitu, nama pelapak buku di Shopping yang pernah saya temui.

***

“Pak, mau lihat buku ini, apakah segel plastiknya boleh dibuka?” tanya si anak muda.

“Boleh,” jawab singkat Pak Muh.

Beberapa menit berlalu, si anak muda itu menghampiri, dan bilang, “Ngapunten pak, dereng cocok (mohon maaf pak, belum cocok).”

“Oiya, tidak apa-apa,” Pak Muh menimpali (setengah kecewa, karena tidak jadi beli).

Si anak muda pindah ke lapak lain. Modusnya kurang lebih sama. Meski tidak selalu meminta agar membuka segel plastik buku, setidaknya ia betah melototi judul dan isi buku di rak maupun yang ditumpuk di area kios.

Karena si anak muda tadi cukup sering datang ke lokasi Shopping, Pak Muh memberanikan diri bertanya. “Kamu dari mana tho, kuliah di mana, dan namanya siapa?”

“Kulo Nur, saking Jawa Timur, kuliah teng IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga,” dijawabnya sergap.

Sejak obrolan itulah, Pak Muh tahu, kalau ternyata si anak muda yang sering mondar mandir “lihat-lihat” buku, jarang beli, rupanya seorang santri dan penulis handal.

Pernah suatu waktu, kenang Pak Muh, lama tidak melihat Nur. Tiba-tiba baca koran, buka rubrik opini, ada tulisan Nur, orang yang ia kenal sebagai anak muda yang gemar membaca dari kios ke kios di Shopping. 

Pak Muh, kagum disertai iman yang kuat. Apalagi, selang beberapa waktu kemudian, ia sebagai pelapak, memperoleh kiriman buku dari distributor, yang kali ini, juga menemukan ada nama Nur terpampang di cover buku sebagai penulisnya. Buku-buku Nur terbilang berat, nyentrik, teoritik, tapi menurut pengakuannya banyak orang yang cari.

Di luar itu, Pak Muh, mulai bertanya dalam diri dan penasaran. “Bagaimana mungkin Nur bisa menulis buku penuh referensi seperti ini, sementara buku-buku yang ia baca dan dirujuk seperti yang terlihat di daftar pustaka, sebagian ada di kiosnya, dan Nur saat berkunjung, hanya baca dan tampak melihat sekilas, selalu tidak jadi dibeli, tapi kok bisa ia mencerna menjadi landasan teoritik di bukunya?”

“Itulah, hebatnya santri,” ungkap saya kepada Pak Muh yang diresponsnya sambil tertawa. 

Nur ini, di kemudian hari, setelah saya mengenalnya, memang benar seorang santri, penulis hebat, dan pembaca buku yang aktif. 

Baca juga:  Beban Berat Perempuan di Daerah Perang

Apa yang dilakukannya di Shopping, berlama-lama nongkrong di kios buku, dari satu tempat ke tempat lain, merupakan cara yang ia tempuh menyerap ilmu, membaca buku secara “gratis”, karena setiap buku yang dibacanya selalu berakhir dengan tidak jadi membelinya. Apa sebab?

Ya apalagi, jawabnya karena tidak punya uang.

Kan kalau sekedar lihat dan baca sekilas isi buku boleh, halal, legal kok. Inilah “tarikat” yang dijalani Nur dalam menulis buku.

Sampai di sini, bisakah Anda menerka, apakah Nur ini seorang perempuan atau lak-laki? Sebelum dijawab, kita lanjut ke cerita berikutnya.

Buku dan artikel-artikel Nur selalu menjadi perbincangan publik. Ketajaman analisis tulisannya selain terbentuk karena kerasnya berjuang untuk bertahan hidup di tanah rantau, juga lantaran kemampuannya mengamati realitas sosial, tentang perilaku koruptif pemangku jabatan kenegaraan, elitisasi tokoh intelektual, demoralisasi, hingga pada isu-isu krusial dalam pengalaman keormasan.

Kembali pada Nur dalam proses kreatif menulisnya. Pernah suatu waktu, saya bersamanya diundang oleh tokoh tersohor seorang intelektual terkemuka di Indonesia. Namanya M. Dawam Raharjo (almarhum, semoga ia bahagia di Sisi Allah Swt).

Di ruang kerja mas Dawam, panggilan akrabnya, waktu itu sebagai Rektor Unprok (Universitas Proklamasi) Yogyakarta, kami berkumpul bersama tamu undangan lain, yang tidak banyak, paling sepuluh orang. Kami berdua (atau ada satu lagi, lupa siapa namanya) dipersepsikan sebagai representasi kalangan muda NU, dan yang lainnya dari Muhammadiyah.

Saya tidak akan bicara isi pembicaraan di forum itu, tapi fokus pada Nur. Saat jam istrirahat, sambil makan hidangan siang, menunya Hoka-Hoka Bento, Nur yang duduk di samping saya, komat-kamit agak keras. Rupanya baca buku sambil pegang HP merk China.

“Nyapo e?” tanya saya.

“Iki lo, ono buku apik, tak woco sambil direkam. Aku nulis tentang tema ini”, jawabnya.

Begitulah Nur, sengaja membaca buku milik orang lain sambil direkam jika ia tertartik dengan isi di dalamnya sebagai strategi mengatasi keterbatasan dirinya, yang jika tulisan itu difoto menggunakan HP “nat nit not” miliknya, hasil gambarnya buram, kualitas kameranya kurang bagus. Maka cara yang memungkinkan adalah dengan cara dibaca sambil direkam. 

Keren kan, yang bahkan jangan-jangan Anda, belum pernah terpikirkan untuk melakukan yang sama?

Nur memang gigih dalam mencari data atau sumber referensi. Ia biasa sowan ke orang-orang yang diyakininya mengetahui informasi yang dibutuhkan, meski kadang sebenarnya orang yang disowaninya itu bukan informan primer dalam perspektif keilmuan modern. Sesekali datang ke rumah saya, meski cuaca hujan atau terik, tetap ditempuh. Dan tragisnya, kadang tidak sesuai harapan. Buku yang dicarinya tidak ada di koleksi saya.

Baca juga:  Literasi: Komunisme dan Islam

***

Dari cerita di atas, terlihat jelas, bagaimana Nur berjibaku mencari data untuk menghasilkan sebuah buku berkualitas. Majalah Gatra, tahun 2003, seingat saya, pernah meliput profil Nur sebagai penulis produktif dan berpengaruh di Indonesia.

Karya-karya awal Nur lebih pada pergolakan batin dan pemberontak kemapanan, terutama bidang keagamaan. Sekadar menyebut beberapa judul bukunya Nur: Islam Borjuis dan Islam Proletar: Konstruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (2002), Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur (2002), Detik-detik Pembongkaran Agama, Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan (2003), Agama Borjuis: Kritik atas Nalar Islam Murni (2004), Tafsir Surah Al-Ma’un: Pembelaan atas Kaum Tertindas (2008).  

Nur, di masa lalu, seolah membawa bendera “perang” sebagai representasi kelompok pinggiran, “tertindas”, pokoke hidup proletar! 

Pernah dalam sebuah seminar, saya masih ingat, ia jadi pembicara, dipanel dengan pimpinan Laskar Jihad, Jakfar Umar Thalib. Bisa Anda bayangkan, Nur yang jika memerhatikan judul-judul bukunya itu, beradu argumen dengan Jakfar Umar Thalib yang normatif, tekstual. Nur nyaris “ditonjok-bugem” dan dikeroyok oleh pasukan (jamaah) Jakfar Umar Thalib yang juga ikut dalam forum itu, karena merasa pimpinannya disudutkan—untuk tidak mengatakan “kalah” berdebat. Kalau ingat itu, duuuh berat..

Itulah sebabnya, bos penerbit buku di Jogja pernah cerita ke saya, bahwa lantaran menerbitkan buku-buku Nur, ia (termasuk juga penulisnya) hampir dipidanakan oleh ormas tertentu, terutama tentang stereotipe agama borjuis yang dianggap menyinggung ormas bersangkutan. Namun karena perubahan situasi sosial-politik, beruntung tidak jadi masuk meja hijau, kata bos penerbit itu sambil menghela nafas lega.

Puncak dari petualangan intelektual Nur di bidang pemikiran Islam ketika menerbitkan buku tentang akar sejarah,dan penyebaran ideologi Wahabi hingga di Indonesia, 3 jilid, tahun 2009. Lewat buku otoritatif ini, Nur semakin mapan dan menunjukkan kepakarannya dalam memetakan ideologi kelompok ekstremis (baik ormas Islam, parpol, maupun kasus-kasus terorisme yang terjadi di dalam negeri maupun manca negara) dalam hubugannya dengan Wahhabi.

Nur, bahkan, seingat saya, pernah diwawancarai koran nasional yang hasil wawancaranya itu dimuat dalam satu halaman full edisi cetak. Tema yang dibicarakan tentang konfik Timur Tengah. 

Tak lupa, tema-tema NU menyangkut dinamika organisasi, tokoh, dan amaliyah (tradisi), juga ia tulis. Beberapa di antaranya, Santi Baru: Wacana-wacana Ideologis dan Kritik (2004), Demoralisasi Khittah NU (bersama Nurhasyim, 2004), NU dan Bangsa: 1914-2010: Pergulatan Politik dan Kekuasaan (2010), Gus Dur dan Negara Pancasila (2010), Suluk Gus Dur (2013),  Ensiklopedi Khittah NU (2017), Ajaran-Ajaran Gus Dur: Syarah 9 Nilai Utama Gus Dur (2019), dan lain-lain.

Baca juga:  Ziarah Wali Maroko (1): Yusuf bin Ali dan Penyakit Kulit

Tulisan-tulisan bertema NU, tradisi, dan tokoh-tokohnya merupakan wujud nyata kecintaan Nur kepada NU dengan segala dinamikanya. Nur, bahkan pernah beberapa kali mengajak saya dan beberapa teman lain yang tidak banyak, paling lima orang, melaksanakan mujahadah secara khusus saat Muktamar NU berlangsung, yang tentu saja berdoa untuk kemaslahatan NU dan bangsa. 

Saya percaya, cinta Nur kepada NU, 25 karat.

Pada tahap berikutnya, sekitar 3 atau 4 tahun lalu, Nur memasuki dunia sufi, dimensi esoterisme Islam. Ia bukan hanya mendalami, dalam arti wawasan pengetahuan tasawuf yang sebenarnya sejak lama dilakukan bersamaan dengan minatnya di bidang studi wacana-gerakan keislaman. Tapi benar-benar sebagai pelaku, salik, pendaki rohani dalam dunia tarekat.

Nur, menjadi murid (baiat) dari tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah-Syatariyah (diamalkan dalam satu tarikat) lewat jalan sanad Mbah Rohani, dari KH. Madhkhan Purwodadi, dari KH. Hasan Anwar Grabag, dari Syekh Ibrahim Brumbung, sampai ke atas bersambung secara mutawatir kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Ia juga menjadi murid tarekat Syatariyah lewat jalan sanad KH. Ahmad Zabidi Giriloyo, dari Mbah Marzuki Giriloyo, dari Mbah Romli Giriloyo, dari Syekh Abdurro’uf Wonokromo, dari Syekh Asy’ari, ke atas juga mutawatir sambung kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Selain itu, ia menjadi murid Ratib al-Haddad dari Kiai Asnawi. Dari KH. Abdul Muhith, dari Mbah Dimyati Banten. Pernah pula menjadi murid Dzikrul Ghafilin, zikir Al-Fatihah, dan shalawat dari Gus Baiquni Purnomo Jember dari KH. Muhammad Farid Wajidi, dari KH. Ahmad Shidiq dan Gus Miek. Ia juga belajar Sedulur Papat Lima Pancer dari Kiai Ghufron, dari KH. Mawardhi Secawan Srono Banyuwangi, salah seorang murid Hadratussyekh Hasyim Asy’ari dari Banyuwangi.

Dalam memasuki lautan spiritual ini, Nur tetap melakoni literasi. Pengetahuan dan pengalaman sufistiknya sering ia tulis di beranda FB-nya, dan juga telah diterbitkan, misalnya, Suluk dan Tarekat: Jalan Mengenal dan Mendekatkan Diri kepada Allah (2019).

Itulah, sisi intelektualitas Nur, yang jika ditinjau dari masa lalunya, bagi mereka yang juga mengenalnya sejak lama, mungkin bertanya-heran, apakah ia (Nur) sedang mengalami metamorfosa pemikiran? “Yo iki jenenge bagian dari dinamika hidup Li,”katanya suatu waktu pernah bilang ke saya.

Nur merupakan contoh santri yang melakoni laku literasi, setia di dakwah literasi. Sekarang, ia sedang menulis—meski mungkin butuh waktu lama menyelesaikannya—tafsir Al-Qur’an perspektif sufi. Wow!

“Saya akan menyelesaikan tafsir ini sampai maut memisah. Yang penting berusaha istikamah, walau satu hari, satu ayat, untuk menulis-tafsirkannya.”

Panjang umur, sehat selalu, Mas Nur Khalik Ridwan. Amin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top