Sedang Membaca
Wabah Tha’un, Abu Dzuaib, dan Puisi
Halimi Zuhdy
Penulis Kolom

Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun dan Guru BSA di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Wabah Tha’un, Abu Dzuaib, dan Puisi

Epoblqbwsaepvd0

Bila mendung menutup cerahnya mentari, janganlah bersedih, karena sebentar lagi rahmat hujan akan membasahi bumi. Bila gelombang datang menghempas perahu, jangan pula bersedih, perahu akan segera sampai ke dermaga. Bila satu tembok tak mampu dipanjat, jangan menyerah, masih banyak tembok lain yang akan berlutut.

Hidup ini memang tidak pernah usai, ada sedih, bahagia, sukses, gagal, terbang, terjungkal, sehat, sakit, dan lainnya. Bahkan ketika mati pun cinta tak pernah usai, “Hatiku penuh gelora padamu selama aku hayat, bila aku mati tulang belulangku lah yang mencintaimu.” kata Abu Bakar al-Syibli.

Setiap ada penyakit, selalu ada hikmah yang menyelinap, walau sedih tetaplah sedih, bila tak kunjung datang bunga-bunga gembira. Demikian yang dialami oleh Penyair kenamaan, Abu Dzuaib al-Hudzly ketika wabah Tha’un menyerang kelima putranya, dan semuanya meninggal dunia.

Penyakit Tha’un menyerang daerah Amwas. Suatu daerah yang terletak di Pelestina (Syam) pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Dalam catatan sejarah sekitar 25.000 sampai 30.000 ribu orang di Syam meninggal dunia dengan waktu yang sangat cepat. Dan ini wabah terbesar yang menyerang umat Islam dalam sejarah. Sampai hari ini, di langgar-langgar masih ramai dengan puji-pujian dan doa agar terhindar dari penyakit yang mematikan ini, Tha’un.

Baca juga:  Ilmuwan Besar dalam Dunia Islam (4): Mengapa Sains dalam Islam Mengalami Kemunduran?

Penyakit ini bila menyerang manusia seperti orang yang terserang penyakit lepra dan kusta, yang awalnya menyerang hewan ternak, bila mengenai manusia sekujur tubuhnya tumbuh borok. Mungkin hari ini seperti wabah Korona yang berasal dari hewan, namun bentuknya berbeda.

Kembali kepada Abu Dzuaib al-Hudzail, dengan nama aslinya Khuwailid bin Khalid bin Mihrast bin Zubaid bin Mahzum. Yang masyhur dengan Abu Dzuaib Al-Hudzli. Ia benar-benar sedih atas meninggalnya kelima putranya. Kemudian mengalirlah puisi-puisi ratapan yang sangat menyentuh kalbu, kalimat-kalimat indah dan syahdu, seperti sihir bagi pembacanya, dan sangat menyejarah. Sehingga ia dikenal dengan penyair ratapan (rasta’) paling indah dalam sejarah sastra Arab. Ia juga dikenal dengan Penyair Muhadram (Hidup pada zaman jahiliah dan masuk Islam) wafat pada masa kekhalifahan Usman bin Affan.

“Ia penyair kuda liar, hebat, tak pernah takut, dan tak terkalahkan.” kata al-Jumahi dalam Thabaqatnya. Beberapa puisi yang sangat indah menurut al-Ashfahani adalah:

أَمِنَ المَنُونِ ورَيْبِها تَتَوَجَّعُ
# والدَّهْرُ ليسَ بِمُعْتِبٍ مَنْ يَجْزَعُ

قالتْ أُمَيْمَةُ:ما لِجِسْمِكَ شاحِباً
# مُنْذُ ابْتُذِلْتَ ومثلُ مالِكَ يَنْفَعُ

أَمْ ما لِجَنْبِكَ لا يُلائِمُ مضْجَعاً
#إِلاَّ أَقَضَّ عَليــكَ ذَاكَ المضْجَعُ

فأَجَبْتُهـا : أَمَّا لـجِسْمي أَنَّــهُ
#أَوْدَى بَنِيَّ منَ البلادِ فَوَدَّعُـوا

As-Sta’lambi dalam Lubab al-Adab menyatakan, “Hudzail penyair paling hebat di Kabilahnya, ia Presiden Penyair Rasta’ dalam sejarah Arab.”

Menurut Ibnu ‘Abd al-Andalusi, ia memiliki tujuh anak meninggal dunia semua hanya tinggal satu yang hidup, dan berbungalah puisi:

Baca juga:  Perdebatan Ahli Mantiq Perihal Cara Memuji Allah

وَالنَّفْسُ رَاغِبَةٌ إِذَا رَغَّبْتَهَا # وَإِذَا تُرَدُّ إِلَى قَلِيلٍ تَقْنَعُ.

Menanggapi puisi ini, al-Ashma’i penyair legendaris yang hidup pada masa Khalifah Abbasiyah, “Puisi ini paling puitis dan kreatif yang dimiliki oleh sastrawan Arab.”

Bagi penyair, apa pun yang terjadi ia bagai sengatan diri yang menyerang daya kreatifitas dan menjadi puisi. (RM)

Sumber:
Al-Mausu’ah al-Alamiyah lil Syi’r
Thabaqat Syiriyah al-Arab
Mausu’ah al-dab al-Arabi
Maqalah Karim al-Asadi

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top