Sedang Membaca
Yang Tersirat dari Gadis Kretek
Alamsyah M Djafar
Penulis Kolom

Peneliti The Wahid Foundation

Yang Tersirat dari Gadis Kretek

Gadis Kretek Ratih Kumala Gramed

Novel ini terbit pertama kali pada 2012. Saya baru membacanya sebelas tahun kemudian setelah karya Ratih Kumala ini melewati cetakan kedua belas. Saya banyak melewati karya-karya sastra populer Indonesia kontemporer. Ketika berkunjung ke toko buku, kadang-kadang saja saya membeli membeli novel atau kumpulan cerpen klasik seperti Nyonya Bovary karya sastrawan Prancis abad ke-19 Gustave Flaubert, Anna Karerina karya sastrawan Rusia abad ke-19 Leo Tolstoi, dan Antologi Cerpen Rusia.

Dengan membaca karya-karya klasik itu, saya ingin memahami tema-tema yang diangkat dan bagaimana mereka menggunakan perangkat-perangkat fiksi seperti kata, alur, metafora, dialog, suspensi, dan deskripsi. Dengan cara itu, karya terbaik selalu dapat menyentuh lapisan terdalam dari diri pembaca. “Seorang penulis mencapai efek ini dengan memasukkan lusinan teknik ke dalam ceritanya. Prosesnya rumit, dan, dengan menyesal harus saya harus katakan, sering kali licik,” Kata Jessica Page Morrell, penulis perempuan Amerika dalam Between the Lines: Master the Subtle Elements of Fiction Writing (Di Antara yang Tersirat: Menguasai Elemen Halus Penulisan Fiksi).

Mengungkap Sejarah dan Patriarki

Ketika membaca Gadis Kretek, saya jadi mengingat beberapa karya sastra lawas Indonesia dengan tema perempuan dengan latar penjajahan dan peristiwa 1965. Di antaranya Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan Gadis Pantai Pramudya Ananta Toer. Mungkin perbandingan ini kurang tepat lantaran membandingkan dengan karya yang tak sezaman. Namun, bagi saya karya-karya itu tetap dapat diperbandingkan lantaran memuat topik bermiripan.

Gadis Kretek, satu lagi karya yang memberanikan diri mengungkap sisi kelam Indonesia dari sebuah kampung produsen rokok kretek di Pulau Jawa: peristiwa 1965. Peristiwa itu membuyarkan rencana perkawinan Soeraja dan Dasiyah. Keduanya benar-benar tak bisa bersatu sebagai suami istri hingga ajal menjemput. Sebuah peristiwa yang meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga Idroes Moeria, ayah Dasiyah atau Jeng Yah.

Seperti testimoni sastrawan perempuan Jenar Maesa Ayu, Gadis Kretek menunjukkan “kekuatan perempuan atas dunia yang dipikir hanya dikuasi laki-laki: dalam hal ini dunia bisnis dan kretek itu sendiri.” Novel ini menghadirkan sosok-sosok perempuan yang digunakan penulisnya untuk mengangkat citra diri perempuan. Selain Dasiyah, ada Roemaisa, Purwanti, dan Rukayah. Sikap ayah Dasiyah dan Roemaisa yang memberi kebebasan mereka menentukan jodoh di tengah kuatnya budaya patriarki ketika itu menunjukkan pembelaan penulis atas nasib perempuan. Dasiyah menolak lamaran Sentot dan Roemaisa menolak Soejagad. Memang tidak serumit pengalaman Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk.

Industri Kretek dan Perdebatannya

Dunia kretek merupakan kekuatan novel ini. Melalui kretek, penulis mampu mengikat beragam tema yang ia angkat: percintaan, pencarian jati diri, kehidupan perempuan, dan politik. Gadis kretek mampu menyajikan perkembangan dunia kretek dari zaman ke zaman. Melalui kehidupan yang berliku, Industri kretek Soejagad Raya tetap bertahan, bahkan berkembang dan mengumpulkan keuntungan yang bertumpuk. Soejagad Raya seolah-olah mewakili wajah industri rokok di Indonesia yang berjaya dan tampaknya itu yang hendak ditonjolkan.

Baca juga:  Buku dan Faedah Penulisan/Pembacaan Bismillah

Namun, kelak akan ditemukan kretek pula yang menjadi kelemahan karya ini. Penulis menjadikan industri kretek seolah-olah tanpa banyak cela. Industri global ini hadir dalam wajahnya yang lebih santun. Tiba-tiba saja, perusahaan kretek mau membayar formula saus seharga satu milyar rupiah yang mereka pakai bertahun-tahun dan karenanya membuat mereka untung besar. Korbannya pun menerima tanpa pergolakan batin yang cukup (hal. 273).

Penulis tidak berusaha membicarakan perdebatan seputar rokok dan masalah-masalah yang melingkupinya saat ini. Menurut data Kementerian Perindustrian, industri rokok menyerap 5,98 juta orang; 4,28 juta orang pekerja di sektor manufaktur dan distribusi dan sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Pada 2018, penerimaan cukai rokok menembus Rp 153 triliun.[1] Tapi industri ini juga menyumbang sejumlah perkara. Menurut data, rokok di Indonesia merenggut lebih dari 300.000 nyawa setiap tahunnya. Sebagian besar mereka adalah perokok pasif.[2] Konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin membuat orang miskin menjadi miskin. Pada 2023, pengeluaran membeli rokok lebih besar dibandingkan membeli daging ayam dan telur ayam.[3]

Kalaupun berusaha mempersoalkannya, Gadis Kretek tampaknya berusaha berdiri di belakang pendirian industri kretek. Ia tak menyediakan ruang lebih besar bagi para pengkritik industri kretek. Ketika seorang rentenir yang mengaku pacar Mira menuding Jagad Raja menggaji buruhnya “koyo tha-i”. Tegar membantah. “Saya kasih gaji anak buah saya dengan layak!,” katanya (hal 169). Penulis melukiskan bagaimana pabrik rokok menghidupkan perekonomian warga sekitar. Ironisnya, desa dan kehidupan warga tak banyak berubah (hal. 165).

Menggunakan Perkakas Karya Fiksi

Saya menyukai kalimat pembukaan Gadis Kretek dengan menyuguhkan langsung tokoh utama novel ini sembari menyajikan teka-teki. Nama Jeng Yah keluar dari mulut seseorang yang tengah sekarat menandakan kegentingan. Setelahnya, penulis menggunakan teknik membangun tanda-tanda atau pembayangan (foreshadowing). “Nama itu kontan membangunkan hantu masa lalu yang aku tak pernah tahu pernah ada. Hantu yang dikubur rapat-rapat oleh ibuku bertahun-tahun silam.” (hal. 1).

Baca juga:  Masymumat al-Warrad Fi Tartib al-Awrad: Jejak Peninggalan Khazanah Spiritual Islam di Tanah Buton

Teknik pembayangan biasanya digunakan sebagai bata-bata untuk membangun tiga hal berikut: bagian-bagian dari adegan terbesar dan dramatis, transformasi karakter, dan rahasia. “Saat Anda menyisipkan pembayangan (foreshadowing), Anda seperti sedang tahu pembaca, ‘jangan kaget jika hal ini terjadi nanti dalam cerita,” Kata Jesicca Morrell. Dengan melakukan teknik ini, Gadis Kretek hendak memberi teka-teki pada pembaca tentang Jeng Yah dan apa yang sebetulnya terjadi.

Sayangnya, upaya pembayangan itu tampak berlebih-lebihan ketika penulis berusaha mengorek lebih jauh siapa Jeng Yah dan mengapa Ibu Lebas begitu murka. “Pasti mantan pacar!” Penjelasan ini menurunkan tingkat suspensi dan kerahasiaan yang justru hendak dibangun di awal. Penggambaran kebencian Ibu Lebas pad Jeng Yah tampak berlebih-lebihan setelah pembaca mengetahui apa yang terjadi dengan keduanya. Disebutnya Jeng Yah dengan kata “laknat”.

Leo Tolstoi dalam Anna Karenina menyajikan teknik pembayangan dengan sangat halus: keluarga bahagia mirip satu dengan lainnya, keluarga tak bahagia tidak bahagia dengan jalannya sendiri-sendiri. Setelah menyatakannya, Tolstoi menggambarkan bagaimana suasana kacau balau akibat pertengkaran di rumah Oblonskii. Pembaca bisa meramal apa yang hendak diceritakan novel ini. Maxim Gorky, sastrawan Rusia abad ke-19, dalam “Di Tengah Padang Rumput” dalam Antologi Cerpen Rusia membuka kalimatnya dengan penggambaran yang memikat: kami meninggalkan Parekop dalam suasana hati yang begitu galau, lapar seperti serigala dan membenci seluruh dunia…. ke arah mana? Pokoknya lebih jauh lagi.

Sebagian penggambaran dalam novel ini berhasil mengangkat ketegangan pada pembaca. Misalnya ketika Gadis Kretek melukiskan bagaimana penderitaan yang dialami Dasiyah dan Idroes setelah peristiwa penangakapan mereka pada 1965. Tetapi pada sebagian lainnya, logika yang dibangun tampak kurang kuat. Misalnya ketika menggambarkan bagaimana Jeng Yah jatuh cinta pertama kali pada Soeraja atau Romaisa pada Idroes. Pembaca mungkin akan bertanya-tanya mengapa orang-orang terlalu mudah jatuh cinta. Memang sebegitu gampangnya jatuh cinta?

Baca juga:  Majmu’atul Masa’ilil Fiqhiyyah; Kitab Ulama Aceh untuk Sultan Maldives

Adegan-adegan penting kadang dilewatkan dengan dialog yang minim, misalnya ketika malam penangkapan itu –yang tampaknya berusaha ditutupi dalam film Gadis Kretek. Tetapi pada bagian-bagian lain, dialog-dialog disuguhkan berlebihan dan kurang memberi bobot pada alur. Salah satunya dialog-dialog yang sering muncul di antara ketiga tokoh: Lebas, Tegar, dan Karim. Ini terjadi pada bagian-bagian awal novel, tengah, dan akhir.

Buku-buku penulisan kreatif menyebut beberapa fungsi dialog dalam karya fiksi.

Dalam Creating Writers: A creative writing manual for Key Stage 2 and Key Stage 3, James Carter menyebut enam fungsi dialog: membentuk karakter; menyuntikkan pembaca wawasan tentang apa yang dipikirkan dan dirasakan tokoh; memberi pengalaman langsung bagaimana karakter tertentu bertindak; memberikan kesempatan pada karakter tertentu mengekspresikan diri mereka; mengembangkan alur cerita dan membiarkan cerita berkembang; membiarkan konflik terjadi antarkarakter. “… penting memastikan sebuah cerita tidak digantikan oleh dialog dan bahwa setiap dialog memiliki tujuan,” kata Carter. “Jangan menciptakan pertukaran dialog di mana karakter Anda berdiskusi atau merenung. Sebaliknya, biarkan mereka berdebat, berkonfrontasi, atau terlibat dalam perebutan kekuasaan,” kata Jesicca Morrell.

Pram memilih dialog secara jeli dalam Gadis Pantai. Ia tak menghambur-hamburkan dialog. “Sst. Jangan nagis. Jangan nangis. Hari ini kau jadi istri pembesar.”  Kata ibu si Gadis Pantai. “Kau mau diam, tidak?” hardik ayah si Gadis Pantai. Dialog itu menggambarkan sebuah pergolakan sekaligus karakter masing-masing.

Gustave Haubert menyuguhkan dialog di bagian awal Nyonya Bovary seperti ini: “Tuan Roger,” katanya perlahan, “murid ini saya serahkan kepada tuan. Ia masuk kelas lima. Kalau pekerjaan dan kelakuannya memuaskan, ia akan dinaikkan ke kelas anak-anak yang lebih dewasa yang sebenarnya lebih sesuai dengan umurnya.” Dialog itu mempertontonkan kekuasaan dan pengaruh.

Tentu saja setiap penulis punya gaya sendiri. Mereka tak perlu meniru seratus persen pada sastrawan yang dikaguminya, meski kita tahu tak ada yang baru di kolong langit ini. Namun bagi saya kemampuan sastrawan punya ukuran yang kurang lebih sama: kreativitas menggunakan beragam perkakas fiksi seperti menyajikan tema, dialog, dan alur. Saya kira ia berhasil datang dengan tema yang kreatif, namun membutuhkan kerja keras memanfaatkan perangkat lainnya.

Kalimulya, Depok 14 Desember 2023

[1] https://kemenperin.go.id/artikel/20475/Industri-Hasil-Tembakau-Tercatat-Serap-5,98-Juta-Tenaga-Kerja

[2] https://infid.org/bisnis-dan-ham-putus-rantai-mengerikan-dalam-industri-rokok/

[3] https://lestari.kompas.com/read/2023/07/31/160000386/konsumsi-rokok-terus-sumbang-kemiskinan-di-indonesia

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top