Sedang Membaca
Seni Musik Perspektif Al-Farabi (4): Bagaimana Musik Berkembang?
Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Seni Musik Perspektif Al-Farabi (4): Bagaimana Musik Berkembang?

Whatsapp Image 2022 09 13 At 20.39.26

“Manusia memiliki selera yang berbeda-beda”. Apa yang anda pikirkan ketika mendengar kata itu? Mungkin jawaban setiap orang akan berbeda-beda dan kebanyakan akan merujuk pada makanan, padahal selera tidak selalu terkait dengan makanan. Kata selera yang saya maksud di sini merujuk pada seni musik dengan kata kunci “selera manusia terhadap lagu, melalui iringan melodi alat musik”.

Pada pembahasan sebelumnya saya telah menjelaskan bahwa alat musik muncul melalui tajribah atau penelitian, mulai dari identifikasi asal suara, pengimplementasiannya kepada benda-benda sekitar, pembuatannya, sampai munculnya alat pengiring musik seperti sekarang.

Dalam perkembangannya, seni musik (lagu atau alat-alat musik) diikuti dengan “kecondongan musikologis” masyarakat, dengan mulai terbentuknya dzauq (rasa),  “mana musik yang condong disukai oleh manusia dan mana yang condong tidak disukai oleh manusia”.

Al-Farabi mengibaratkannya dengan kata thabiiyyatun lil-insan dan ghairu thabiiyyatin lil-insan atau mulaimah dan ghair al-Mulaimah (sesuai/selaras dengan tabiat manusia atau tidak), dan itu terjadi (maujud) baik pada “lagu” maupun “alat Musik” yang dimainkan.

Dari kata yang al- Mulaimah  (selaras) itu, Al-Farabi membagi lagi menjadi tiga bagian, lagu yang berkualitas tinggi (high respond), yang berkualitas rendah (low respond) dan yang tidak memiliki respon (not responding). Al-Farabi menganalogikan lagu/alat musik yang selaras dengan selera atau watak manusia (high respond) sama kedudukannya dengan gizi, dan low respond dengan makanan ringan.

Baca juga:  Film Tilik dan Titik Buta Stereotipe

Ada banyak perumpamaan untuk musik. Diantara yang sedikit aneh menurut saya ialah musik yang memiliki kedudukan seperti racun bagi tubuh, merusak pendengaran ataupun mental.

Al-Farabi mencontohkannya dengan al-Jalajil (lonceng besar yang bisa mengeluarkan suara yang memekakkan telinga), alat perang yang biasa digunakan oleh sebagian raja-raja Mesir periode awal, ataupun kelompok al-Mushawwitin (kelompok yang mengeluarkan suara-suara samar tapi menggetarkan/menakutkan ketika melakukan serangan) yang digunakan oleh raja-raja Persia ketika berperang untuk melemahkan musuh.

Namun, ada juga lagu yang ghair al-Mulaim (tidak selaras) tapi ketika dicampur dengan yang lain menjadi mulaim (selaras), dari beberapa hal tersebutlah praktik musik muncul dan terus mengalami perkembangan.

Dalam kitabnya al-Musik al-Kabir, Al Farabi mengatakan yang kira-kira artinya seperti ini:

“Sehubungan pada sebagian alat musik yang ada, (terkumpul komponen) dengan ditemukan adanya suara, susunan, serta melodi yang tidak sama dengan yang dihasilkan oleh tenggorokan manusia. Terkadang lebih lembut serta lebih nikmat, mereka (ilmuan musik) mengembangkan alat musik sehingga muncul alat-alat musik yang menghasilkan lagu yang terasa lebih enak tanpa disertai dengan suara manusia, seperti kebanyakan  dari Ad-Dawwasyin (termasuk macam lagu yang tersusun dari alat musik saja) daerah Khurasan dan Persia periode awal yang biasanya  digunakan untuk mengiringi lagu pada saat itu”.

Dari penjelasan Al-Farabi kita dapat melihat bagaimana alat musik berkembang seiring dengan munculnya alat-alat musik lain seperti ad-Duf (semacam kendang), at-Thibla (gong), as-Sunj’ (simbal) ataupun at-Tasfiq (tepuk tangan dengan ritme serta ketukan sebagai pengiring lagu), al-Zafn (ketukan irama yang dihasilkan melalui gerak tubuh tanpa menghasilkan suara) yang semuanya digunakan sebagai pengiring lagu. Kemudian, at-Thunbur (rebab), al-Mizmar (seruling).

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (2): Qu’est-ce qu’on a fait au Bon Dieu? Cara Prancis Menghakimi Stigma dalam Multikulturalisme

Dengan mengandalkan ketukan serta petikan irama, korelasi antara alat-alat musik  serta lagu yang dinyanyikan dimaksudkan menghasilkan melodi dan harmoni yang sesuai dengan thabiiyah, watak manusia.

Al-Farabi menggunakan kata al-Amali (al-Musik al-Amali) sebagai ibarat untuk praktik musik. Sedangkan  untuk pengetahuan mengenai musik Al-Farabi menggunakan lafadz an-Nadzari (al-Musik an-Nadzhari).

Yang saya maksudkan mengenai kata “pengetahuan” di sini ialah kajian mengenai lagu dan bagaimana deskripsi yang tepat mengenai efek lagu tersebut terhadap spirit (jiwa).

Seni Musik merupakan pengalaman yang didapatkan dari praktik, artinya pengetahuan mengenai musik tidak akan berguna tanpa adanya praktik di lapangan.

Dan itu semua tergantung kesiapan “isti’dad” seorang musisi musik. Sebaik dan sebagus apapun lagu yang akan dinyanyikan, selagi musisinya tidak melakukannya dengan kesiapan yang matang, maka yang akan timbul hanyalah penyampaian lagu yang kurang maksimal.

Misalkan saja dalam hal ini lagu itu ibarat qasidah dan syiir, untuk membuat qasidah dan syiir yang maksimal seorang pernyair haruslah menyelaraskan apa yang ia dendangkan dalam bentuk syiir sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam syiir, seperti bahr syiirnya, qafiyahnya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan syiir.

Hal itu juga berlaku bagi lagu yang dibawakan oleh musisi. Seorang musisi haruslah mengetahui bagaimana lagu itu disampaikan dengan baik dan maksimal, mulai dari mengetahui nadanya, ritmenya, iramanya, sampai korelasi yang pas dengan musik pengiringnya.

Baca juga:  Alpha Blondy: Seni Berdakwah melalui Musik Reggae

Ada banyak sekali musisi yang terkenal pada setiap generasi.

Namun, dalam perkembangan musik, terutama musik Islam klasik, musisi periode Bani Umayyah (661-750) adalah yang paling terkenal. Salah satunya Ibnu Al-Misjah yang dikenal sebagai ‘Bapak Musik Islam’, seorang pakar teori musik, penyanyi serta Virtuoso Lute (pakar pemain alat musik gitar kecapi).

Selain itu juga ada Shafi al-Din, seorang Musikolog Islam, yang oleh kritikus Barat, Sir Huvvert Parry dijuluki sebagai ‘Bapak Musik’ karena dua karyanya membahas tentang musik yaitu Syarafiya dan The Book of Musical Modes.

Kontribusi musikologis Ibnu Misjah terdapat dalam sumber informasi terpenting mengenai kehidupan musik pada tiga abad pertama Islam, yaitu kitab Al-Aghani (The Book of Songs), karya Abu al-Faraj al-Isybahani, pada abad ke-10.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top