Sedang Membaca
Sejarah Diturunkannya Syari’at (2): Masa Pensyari’atan Hukum
Alwi Jamalulel Ubab
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Assidiqiyyah Kebon Jeruk Jakarta.

Sejarah Diturunkannya Syari’at (2): Masa Pensyari’atan Hukum

Whatsapp Image 2021 04 26 At 10.01.32 Pm

Eksistensi Islam sebagai agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia adalah sebuah hal yang sudah maklum diketahui. Bukan tanpa adanya perjuangan tentunya untuk menuai hasil tersebut. Ajaran Islam yang dibawa oleh para Walisongo dengan multidimensi cara penyampaiannya (tanpa jalur kekerasan) seperti akulturasi budaya, pernikahan dan perdagangan membuat Islam mudah diterima di Indonesia. Dan tentunya hal tersebut tidak akan mungkin bisa dilakukan jika syariat Islam tidak bersifat lentur dan mudah untuk diamalkan.

Yap, syariat Islam adalah syariat yang lentur. Dengan segala aturan yang menaungi Islam sebagai syariat, Islam tidak bersifat kaku dan keras menerima hal baru. Termasuk budaya yang bisa diakulturasi. Selagi tidak bertentangan dengan inti syariat maka tidak apa diselingi sesuatu untuk masuk dalam Islam. Tahlilan, nyadran, slametan dan masih banyak contoh lainnya merupakan contoh hasil akulturasi budaya di Indonesia.

Syariat Islam yang lentur itu tentunya tidak jauh merupakan buah hasil dari ijtihad dan ketekunan para ulama dalam menggali syariat Islam dari dua sumber utama syariat, Al-qur’an dan hadist. Mencari titik-titik sir’, rahasia yang terkandung dari kalam-kalam hikmah tuhan dan rasul-Nya.

Kenapa demikian?. Karena pada hakikatnya masa pensyariatan hukum itu selesai setelah Nabi Muhammad wafat. Masa Nabi Muhammad dan para sahabat  adalah masa pensyariatan hukum dalam Islam. Dengan wafatnya beliau terputus pulalah wahyu dari Tuhan.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ

“Apakah mereka memiliki sekutu yang memberikan syari’at agama sesuatu yang tidak diberikan izin oleh Allah” (42/21)

Dengan pusat peradaban Islam pertama yaitu Mekkah dan Madinah, Islam tumbuh dan berkembang hingga mengisi seluruh sisi dunia. Dan tentunya, masa At-Tasyri’ terjadi pada dua kota pusat perkembangan Islam awal tersebut. (dengan menjadikan Al-qur’an sebagai pusat At-Tasyri’ mari kita lihat sekilas bagaimana pensyariatan dalam Islam).

Baca juga:  Ikan Asin, Terasi, Epidemi di Hijaz

At-Tasyri’ Periode Mekkah

Akidah merupakan inti dari ajaran agama Islam. Juga merupakan pusat dari seluruh syariat. Sebanyak apapun amal manusia tidak akan diterima kecuali jika ia benar dalam berakidah. Itulah hal utama dalam Islam. Beriman dan beramal shalih. Ketika akidah sudah tertanam dalam diri insan maka ia akan dapat menerima syariat sekalipun yang tidak rasional dengan lapang dada.

Manhaj Islam dalam mendakwahkan akidah adalah berpegangan dengan argumentasi logika. Mekkah yang merupakan pusat dakwah Islam pertama menjadi tempat yang banyak diturunkan terkait ayat Al-qur’an perihal akidah, seperti menunjukan manusia untuk berfikir mengenai alam semesta, penciptaannya, dan lainnya terkait kekuasaan Allah.

Dengan gaya bahasa Al-qur’an yang mu’jiz, dan berbalaghah tinggi membuat bangsa Arab saat itu yang merupakan bangsa paling fasih dan mengerti estetika uslubnya seharusnya dapat menerima akidah Islam dengan lapang dada. Namun, sekali lagi yang membuat semuanya mungkin ialah Allah. Selagi Allah tidak memberikan keimanan kepada hati seseorang maka ia tidak akan beriman sekalipun diberi segunung emas.

Surat-surat yang turun pada masa periode Mekkah seperti (88/17-26) terkait penciptaan unta yang merupakan transportasi utama bangsa Arab saat itu, ataupun seperti (50/1-11) terkait hujjah ‘aqliyah pengutusan Nabi sebagai rasul dengan mengaitkannya dengan penciptaan langit dan bumi adalah sekian dari banyak contoh ayat Al-qur’an yang turun di Mekkah.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (2): Tripoli-Libya, Kota yang Terus-menerus Dirundung Kesedihan

Dengan konsep ini Al-qur’an dimaksudkan untuk membatalkan warisan-warisan akidah jahiliyah yang bathil. Mendorong mereka untuk masuk dalam agama Islam dengan selanjutnya menyisipkan nilai-nilai ajaran syariat Islam ke dalam diri mereka sedikit demi sedikit.

Yang kemudian setelah itu turunlah ayat terkait diharamkannya mengubur anak perempuan hidup-hidup (82/5) dan melakukan pembunuhan lainnya (81/8-9), atau yang terkait dengan hifdz An-Nasl (menjaga keturunan) turunlah ayat terkait diharamkannya perzinahan dan perintah untuk menjaga kesucian diri (23/5-7). Ayat  lainnya terkait permasalahan hukum “halal-haram” dan ataupun “perintah-larangan, turun sebagai ayat At-Tasyri’ dalam periode Mekkah setelah ayat akidah.

Imam Syatibi (w 790 H) dalam Al-Muwafaqat mengatakan:

“Kaidah kulli merupakan konsep awal, ayat Al-qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad pada periode Mekkah kemudian diikuti periode Madinah merupakan syariat sempurna yang sebelumnya didasari yang sudah ada pada saat periode Mekkah.”

Mungkin ayat terkait syariat yang turun pada periode Mekkah sedikit. Namun, kuat sebagai dasar yang akan dilanjutkan pada periode Madinah.

Pada masa dakwah Nabi Muhammad periode Mekkah Allah banyak menurunkan ayat-ayat terkait kisah-kisah Nabi terdahulu. Dengan tujuan sebagai penenang bagi Nabi juga sebagai ibrah bagi yang tidak mempercayai syariat Islam dan juga sebagai pondasi awal bagi berjalannya syariat Islam.

Baca juga:  Sumber-Sumber Penting untuk Membaca Hubungan Islam, China, dan Nusantara

 At-Tasyri’ Periode Madinah

Peristiwa hijrah merupakan pemisah antara dua periode perkembangan  sejarah At-Tasyri’ dalam Islam. Dengan dasar akidah yang dibawa oleh kaum Muhajirin dan kaum yang mengikuti baiat dari kalangan Anshar terbentuklah benih pemerintahan awal Islam. yang selanjutnya akan  menjadi pondasi kuat bagi perkembangan syariat Islam.

Hal pertama yang dilakukan oleh Nabi untuk menguatkan rasa persaudaraan diantara Muhajirin sebagai pendatang dan Anshar sebagai tuan rumah ialah melakukan muakhah (membuat ikatan saudara) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dengan membagi harta yang dimiliki oleh kaum Anshar kepada kaum Muhajirin.

Kaum Muhajirin yang datang dengan meninggalkan seluruh hartanya disambut baik oleh kaum Anshar dengan baik. Peristiwa menakjubkan tersebut direkam dalam firman Allah  (59/8-9).

At-Tasyri’ pada periode Madinah mencakup banyak dari persoalan ubudiyyat seperti pensyariatan zakat, puasa dan haji. Mu’amalat seperti ayat dihalalkannya jual beli dan diharamkannya riba (2/275). Ayat-ayat jihad  dan peradilan mencakup hak-hak manusia keumuman. Yang sekarang termasuk dalam kategori lima “Maqasid Al-Syari’ah” dalam Islam yakni: Hifdz Ad-Din (menjaga agama), An-Nafs (jiwa), Al-Maal (harta), An-Nasl (keturunan), dan Al-‘Aql (akal).

Dengan kesimpulan At-Tasyri’ pada periode Madinah mencakup segala hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia dengan segala sisinya yang memiliki perbedaan. Hubungan kemasyarakatan dan kepemerintahan. Juga mencakup akidah, syariat, serta aturan yang menyempurnakan kehidupan manusia.

Demikian seklumit dari bagian perjalanan syariat Islam dan tentunya masih banyak yang belum diterangkan dalam tulisan ini. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top