Sedang Membaca
Tawaran Gus Fayyadl untuk PBNU dalam Halaqah Fikih Peradaban
Alfin Haidar Ali
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Nurul Jadid. Bisa disapa via Ig: alfinhaidarali179.

Tawaran Gus Fayyadl untuk PBNU dalam Halaqah Fikih Peradaban

Suasana ngaji bersama Kiai Muhammad Al-Fayyadl

Kiai Muhammad al-Fayyadl atau yang akrab disapa dengan Gus Fayyadl, Mudir Ma’had Aly Nurul Jadid tersebut menjadi pembicara ke tiga dalam forum halaqah fikih peradaban yang bertajuk “fikih siyasah dan tatanan dunia baru”.

Jika Kiai Afif lebih fokus pada pondasi dasar fikih siyasah, sedangkan Gus Ulil lebih fokus pada kapasitasnya sebagainya perwakilan Gus Yahya dan Ahli al-Ghazalia, maka Gus Fayyadl lebih mengarah pada fikih siyasah dan relevansinya dalam tatanan dunia baru.

Pada kesempatan itu, Gus Fayyadl telah menyiapkan “oret-oretan” atau semacam hasil ekstraksi bacaan fikih siyasah dan peradaban dunia dalam dua lembar. Dua lembar catatan dari Gus Fayyadl tersebut dibagikan kepada seluruh peserta halaqah fikih peradaban.

Diantara catatan tersebut adalah soal perubahan peradaban geopolitik dunia, sekurangnya mengambil bentuk dalam enam sistem :

  1. Suku (tribal society, mujtama’ qobailiyah). Periode inilah yang menjadi latar dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dalam keadaan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.
  2. Imperium (imperial societies, mujtama’ dawliyah). Secara historis, kita mengenal imperium besar seperti romawi, persia –dan satu lagi- China. Imperium China ini diisyaratkan dengan sebuah hadits yang berbunyi, “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China”. Dengan catatan: terlepas dari perdebatan soal kandungan isinya.
  3. Kolonialisme dan imperialisme (colonial estates, isti’mariyah) yang kemudian melahirkan konsep negara-bangsa.
  4. Negara-bangsa/Republik (nation-states, mujtama’ wathoniyah). Termasuk diantaranya adalah nasionalisme.
  5. Global Order (blok persekutuan negara-negara, musyarakah siyasiyah). Termasuk diantaranya adalah blok barat dan timur.
  6. Global-Transnational Governance (pengaturan dunia melalui skema-skema dan desain-desain politik, ekonomi, dll. berbasis kepentingan oleh beragam aktor swasta (korporat), sipil, dan negara).
Baca juga:  Ulama Banjar (2): KH. Abdul Ghani Bin Buna

Nah, fikih siyasah ini –menurut Gus Fayyadl- hadir pada eda imperium, yakni dengan lahirnya –salah satunya- adalah karya al-ahkam as-Sulthonyah karya Imam al-Mawardi (Dinasti Abbasiyah/Buwaihi/Seljuq, 1058 M), sedangkan pada masa kolonialisme dan imperialisme (no. 3) mengalami banyak penyesuaian dan penyusutan drastis atas pengamalan sejumlah hukumnya karena keterbatasan situasi akibat terdesaknya kekuatan umat Islam oleh kekuatan-kekuatan politik kolonial yang asing dan bersifat merusak. Sebagai contoh, dalam penerapan Hudud, Hisbah, hukum perbudakan (ahkam al-‘itq).

Di masa-masa kolonialisme, beberapa produk Fiqh Siyasah tetap diamalkan dan bahkan mendapatkan penekanan karena kebutuhan situasi untuk melawan dan menghadapi pihak penjajah, yakni dalam bab Jihad (al-jihad) dan kepemimpinan politik (al-imamah).

Setelah mengulas soal peradaban, setidaknya ada tiga tawaran Gus Fayyadl sebagai kontribusi halaqah peradaban di Nurul Jadid untuk PBNU. Tiga tawaran tersebut adalah sebagaimana berikut :

Pertama, darul harbi dihapus lalu diganti dengan konsep darud dakwah. Darul harbi yang identik dengan negara yang harus diperangi dan musuh dari negara Islam, maka berbeda dengan darul

“Konsep darul harbi (negara yang wajib diperangi, red) tersebut dihapus dan diganti dengan darud dakwahDarud dakwah ini ada dua, yakni darut tho’ah dan darud ma’ashidzulmi wal fusuqi sebagai ekspresi paling luar dari kekafiran. Jadi, darud dakwah ini bukan lawan dari darul islam sebagaimana darul harbi merupakan lawan/musuh dari dari darul islam”, ungkapnya dihadapan para peserta halaqah.

Baca juga:  Trio Masyayikh Futuhiyah Mranggen Demak

Usulan ke dua yakni tentang negara suaka. Usulan ini berangkat dari kisah sahabat nabi yang bernama Abdurrahman bin ‘Auf, seorang suadagar kaya raya yang kediaman rumahnya menjadi tempat menerima para delegasi dari kalangan arab maupun non-arab.

Komplek kediaman rumah Aburrahman bin Auf ini disebut sebagai darud dhifan atau rumah yang menerima tamu-tamu. “tentu ya, untuk tamu ini bukan hanya dari kalangan Islam saja, tapi berbagai macam latar belakang diplomat atau utusan, baik agama, suku, ras dan etnik yang bermacam-macam,” ungkap pria lulusan Universitas Sourbonne, Prancis tersebut.

Dari konsep ini, bila dikontekstualisasikan ke dalam dunia internasional atau tatanan dunia baru, akan melahirkan konsep “negara suaka”. Negara suaka ini penting sekali, terutama ketika suatu negara terjadi konflik atau warga negaranya sedang mencari pengungsian saat terjadi tindakan kekerasan di negara asalnya.

Usulan ke tiga adalah hifzul bi’ah atau menjaga lingkungan dimaknai dengan hifzul balad / hifzhul wathoni (menjaga negara) sebagai salah satu konsep maqsohid syariah dalam konteks tatanan dunia baru. Pentingnya keamanan dan stabilitas negara untuk menjalan syariat dan ajaran agama bagi penduduk dan masyarakat di dalamnya.

“Karena semua (maqoshid) dari an-nafs (menjaga jiwa), ad-din (menjaga agama), al-mal (menjaga harta), an-nasl (menjaga keturunan) -dan al-aql- (menjaga akal) itu tidak akan berguna ketika negara diinvasi dan dikoloni,” tegas Gus Fayyadl.

Baca juga:  Andry Dewanto: Jalan Spiritual Seorang Aktivis

Pentingnya keamanan dan stabilitas negara untuk menjalan syariat dan ajaran agama bagi penduduk dan masyarakat di dalamnya. Contoh konkritnya adalah ketika muslim rohingnya, ketika terjadi penindasan di Myanmar, mereka bermigrasi mencari tempat tinggal atau negara yang mau menerima mereka. Mereka bisa bertempat di negara suaka tersebut untuk menampung mereka,” tambah Gus Fayyadl.

*Catatan singkat hasil pematerian Gus Muhammad al-Fayyadl di halaqah fikih peradaban di Nurul Jadid.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top