Sedang Membaca
Tarhib Ramadhan: Inkulturasi Nilai Islam dalam Tradisi Padusan.
Aguk Irawan MN
Penulis Kolom

santri Alumni Darul Ulum, Langitan. Pernah kuliah jurusan Aqidah-Filsafat di Al-Azhar University Cairo dan Sekolah Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga. Pengajar Antropologi-budaya di STIPRAM Yogyakarta, serta di Ma'had Aly KH. Ali Maksum Krapyak dan STAI Pandanaran Yogyakarta. Buku terbarunya terbit di penerbit Mizan Group; Genealogi Etika Pesantren, Kajian Intertekstual (2018) dan Sosrokartono, Sebuah Biografi Novel (2018).

Tarhib Ramadhan: Inkulturasi Nilai Islam dalam Tradisi Padusan.

Padusan

Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan, saban tahun, pada tiap bulan Sya’ban, Rasulullah menganjurkan umatnya agar mempersiapkan diri menyambut datangnya ‘tamu mulia’ bernama Ramadan dengan memperbanyak ibadah, terutama ibadah shaum (puasa) sunah.

Hal tersebut sebagai persiapan mental sekaligus fisik untuk menghadapi bulan yang disucikan itu. Saat-saat menunggu kapan datangnya “tamu mulia” itu, Rasul bersama para sahabatnya tak ubahnya seperti seorang yang sedang dimabuk asmara untuk segera bertemu dengan kekasihnya. Beliau bersuka cita dan bergembira, menyambutnya dengan penuh antusias dan semangat yang membara. Bahkan Rasul sampai punya doa khusus: Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana wabalighna ramadhana.

Sebagian tradisi dahulu pada masa Rasulullah diantaranya itu adalah dengan berkumpul di masjid untuk mendengar khutbah langsung dari Rasul terkait penyambutan Ramadan. Setelah itu, tak ketinggalan para sahabat saling berpelukan untuk meminta maaf diantara mereka, selanjutnya dikisahkan para sahabat kemudian bergotong-royong membersihkan Masjid.

Di tempat terpisah, para sahabat kemudian malanjutkan dengan rangakain bersih-bersih baik di areal lingkungan sekitar maupun rumahnya masing-masing. Makin dekat Ramadan, Rasul dan para sahabat jika bertemu saling bertegur sapa dan berujar: Ahlan wa marhaban ramadhan.

Masih dalam rangka penyambutan tamu agung itu, dalam riwayat Bukhori dan Daud disebutkan Rasulullah meningkatkan kebersihan giginya dengan bersiwak, menjaga kesehatannya dengan al-Hijamah (berbekam) dan membersihkan tubuhnya dengan mandi, lalu berpenampilan lebih rapi dari biasanya, hal ini sesuai dengan wasiat beliau kepada sahabat Abdullah ibnu Mas’ud ra, agar memulai puasa dengan badan bersih dan berpenampilan baik serta tidak dengan wajah cemberut, (HR. Al-Haitsami). Tentu, Rasul dan para sahabat ingin memasuki bulan Ramadan dalam keadaan suci dan bersih baik dlahir maupun bathin.

Baca juga:  Tradisi Grebek Suro: Refleksi Dakwah Raden Bathoro Katong

Setalitiga uang, fenomena umat Islam di tanah air, sebagai bentuk ekpresi kebudaayan, dalam rangka menyambut datangnya “tamu mulia” itu, berbagai tradisipun digelar. Di kebanyakan dusun dan desa di wilayah Jawa, setelah tradisi ruwahan atau nyadran, rangkaian bulan Sya’ban diakhiri dengan tradisi Padusan yang khusus untuk menyambut Ramadhan.

Sejarah, Makna dan Muatan Nilai Padusan

Padusan berasal dari kata dasar adus, yang artinya mandi. Dengan demikian secara sederhana Padusan dapat diartikan laku atau tindakan mandi dengan maksud penyucian diri agar dapat menjalani peribadahan di bulan suci Ramadan dalam kondisi suci. Dengan keadaan suci ini, khususnya suci lahir, diharapkan tujuan peribadahan untuk mencapai ketaqwaan akan lebih terkondisi dengan lebih baik.

Adapun mengenai sejarah, hampir di tiap tempat pemandian (Padusan) mempunyai legenda tersendiri. Misalnya di Padusan Jolotundo (letaknya di Desa Jambeyan, Kecamatan Karanganom. Jarak dari kota Klaten ± 8 km).

Menurut cerita penduduk sekitar, konon pada jaman dahulu ada seorang Demang yang tinggal di sekitar Umbul Jolotundo, dia mempunyai seorang putri yang bernama Roro Amis, karena mempunyai sakit kulit yang berbau amis, lantaran kegemarannya berenang dan berakit di Umbul dengan rakit pohon pisang.

Karena suatu hal Roro Amis jatuh ke Umbul, kakinya tertusuk keong kecil dan lantaran keong yang menusuk itu keajaiban terjadi, yaitu sakit kulitnya pun sembuh dan seketika itu keong kecil di sendang tersebut semua menjadi tumpul. Peristiwa ini terjadi persis sehari sebelum memasuki bulan Ramadan.

Namun, apapun legenda yang terjadi di tiap daerah, mandi besar adalah sebuah sarana penyucian badan kita dari segala macam kotoran lahir, dan pada kenyataannya Padusan memang dilakukan dengan adus kramas, untuk menghilangkan hadas besar dan kecil dengan menggunakan air suci dan yang menyucikan.

Baca juga:  Sisi Lain Malam Doa untuk Palestina

Sebagai seorang muslim tentunya kita sering mendengar kata-kata “Kebersihan adalah sebagian dari Iman”. Mungkin ini selaras dengan pesan dari tradisi Padusan, dimana seorang muslim berrniat mensucikan diri. Terlebih dalam rangka menyambut bulan puasa dimana segala ampunan dan rahmat dari Allah tercurahkan kepada hamba-Nya.

Dialektika Agama dan Budaya

Ketika Islam masuk di Bumi Nusantara pada abad VII M dan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan pada abad XIV hingga menjadi agama mayoritas, kesuksesan ini tidak bisa dilepaskan dari kecanggihan para penyebar Islam Nusantara dalam mendialektikan agama dan budaya.

Drama penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo misalnya, prosesnya tidak dilakukan dengan cara-cara menghakimi bid’ah tradisi masyarakat Jawa, sekalipun tradisi tersebut berbau Animistik-Hinduistik.

Misalnya, mereka tidak menghancurkan candi-candi, tidak pula menganjurkan rakyat Jawa untuk memakai gamis, memelihara jenggot dan lain sebagainya. Tapi, Wali Songo malah mengarifi budaya lokal setempat dengan menjadikannya sebagai instrumen penyebaran Islam seperti dipraktikkan oleh Sunan Kali Jaga yang memanfaatkan wayang dan tembang untuk menarik massa agar masuk Islam.

Di luar Jawa, Islamisasi juga berlangsung dalam rel kearifan lokal sehingga Islam bisa diterima secara luas oleh rakyat dari Sabang sampai Merauke tanpa disertai pertumpahan darah.

Dialektika agama dan budaya itu tidak saja terjadi di Nusantara, akan tetapi juga berlangsung di tanah Arab, bahkan turut mempengaruhi lahirnya hukum Islam (syariat). Seorang pakar Hukum Islam, Khalil Abdul Karim dalam bukunya “al-Judzur al-Tarikhiyyah li al-Syari’at al-Islamiyat“, menegaskan bahwa nyaris semua praktik ritual dalam Islam merupakan kelanjutan belaka dari ritual masyarakat Jahiliyah-Arab yang berumur ribuan tahun.

Baca juga:  Menziarahi Makam Sunan Kuning

Khalil mencontohkan sejak pertama diwajibkannya puasa di bulan Ramadan, masyarakat Jahiliyah terlebih dahulu sudah melaksanakannya, karena pada bulan-bulan itu mereka mengalami krisis air (Ramadhan; secara bahasa terik-panas), agar semua kebagian, semua suku diperbolehkan mengambil air setelah matahari terbit (karena saat itu mata air pasang).

Hal yang sama juga terjadi pada tradisi pengagungan Ka’bah dan Tanah Suci Mekkah, prosesi Haji dan Umrah, sakralisasi bulan Ramadan dan bulan-bulan Haram (al-Asyhur al-Hurum/ Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

Demikian itu berarti syariat Islam tidak diturunkan dari langit yang hampa budaya, melainkan di tengah-tengah masyarakat Arab yang kaya akan tradisi warisan leluhur. Sikap Islam yang sangat akomodatif terhadap panorama budaya lokal ini menyiratkan bahwa Islam benar-benar rahmatan lil ‘alamin dan harus dibumikan dengan mempertimbangkan kearifan lokal (local wisdom).

Dengan demikian, agama, budaya dan masyarakat jelas tidak akan berdiri sendiri, ketiganya memiliki hubungan yang sangat erat dalam dialektikanya. Dialetika agama dan budaya adalah suatu keniscayaan, karena masyarakat yang hidup ditengahnya bersifat dinamis, maka terjadilah hubungan simbiosis-mutualisme itu; agama bisa memberi spirit pada kebudayaan, sementara kebudayaan bisa memperkaya khazanah agama.

Fenomena itulah yang terjadi pada tradisi Padusan. Bedanya apa yang telah dilakukan oleh Rasul pada zamannya ketika menyambut bulan Ramadan misalnya dengan bersiwak adalah bagian dari amaliyah sunnah, sementara fenomena Padusan adalah hanya ritual tradisi yang mendapatkan spirit dari Islam. Wallahu’lam bishawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top