Sedang Membaca
Suara NU dan Arah Politik Kiai di Pilpres 2024
Agil Muhammad
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Krapyak dan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Suara NU dan Arah Politik Kiai di Pilpres 2024

Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024. Foto: kpu.go.id

Baru saja masyarakat dunia merayakan malam pergantian tahun yang menandai masuknya seperempat pertama abad ke-21. Di sisi lain, di tahun ini pula, Pilpres 2024 mulai panas-panasnya dan seru-serunya.

Sebagai warga NU, sudah masyhur bahwa suara kita diperebutkan untuk kekuasaan jangka pendek semata. Strategi para tim pemenangan salah satunya yang populer adalah pendekatan melalui para kiai yang sangat dihormati di kalangan warga NU.

Kewajiban Memilih Pemimpin

Mengapa banyak kiai yang terjun dalam politik? dan mengapa banyak pula yang ikut serta mendukung terang-terangan salah satu paslon pada Pilpres 2024?

Jawabannya bisa ditemukan dengan mudah dalam kitab Jauhar al-Tauhid karya Ibrahim al-Laqqani yang menyatakan, “wa wajibun nashbu imamin ‘adlin bi al-syar’i fa’lam la bi hukm al-‘aqli”. Penjelasannya adalah bahwa mengangkat atau memilih pemimpin yang adil adalah wajib secara syariat, bukan secara akal.

Lebih jauh, KH. Afifuddin Muhajir dalam pembukaan Halaqah Fiqh Peradaban di Krapyak menjelaskan bahwa mengangkat pemimpin merupakan min awjab al-wajibat, yakni termasuk di antara kewajiban yang paling wajib.

Ibrahim al-Bajuri dalam kitab syarahnya, Tuhfah al-Murid, menambahkan bahwa lafad ‘adil’ di sini bermakna adil dalam persaksiannya dan adil dari sisi luarnya, tidak harus benar-benar adil dalam batinnya.

Beliau menambahkan lima persyaratan pemimpin, di antaranya muslim, baligh, berakal, merdeka, dan bukan fasik. Persyaratan ini pun hanya perlu dipenuhi di awal dan masa pemilihannya saja, jika di tengah-tengah kepemimpinannya ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tidak serta merta bisa dilengserkan seketika.

Baca juga:  Ingar Bingar Pilpres 2024: Jangan Berlebih-lebihan

Bahkan, sebegitu pentingnya memilih pemimpin, para sahabat sampai menunda pemakaman Nabi hingga akhir malam Rabu, padahal Nabi wafat pada hari Senin. Para sahabat mendahulukan musyawarah atas pemimpin setelah wafatnya Nabi.

Dari sini, bisa dipahami bahwa golput merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Namun, dalam kasus tertentu, golput bisa dibenarkan ketika beberapa calon pemimpin yang akan dipilih itu mempunyai tingkat keadilan yang sama.

Para kiai yang sangat familiar dengan kitab Jauhar al-Tauhid ini pasti berpegangan atas pendapat al-Laqqani, mengingat kewajibannya secara syariat, lebih-lebih para kiai memang terkenal sangat menjaga tegaknya syariat.

Sepakat dalam Perbedaan

Umumnya, sepakat biasanya terjadi pada suatu pilihan tertentu, sebagaimana yang kita kenal dalam ijma’. Namun, adakalanya kesepakatan ini terjadi dalam perbedaan, khususnya dalam ranah yang dhanni, bukan yang qath’i.

Urusan memilih pemimpin terbaik termasuk dalam ranah yang dhanni ini. Karena, menurut KH. Afifuddin Muhajir, pendirian suatu negara termasuk juga pemilihan pemimpin merupakan sarana (wasilah) dalam menggapai tujuan (maqashid).

Lebih lanjut, nash, yakni al-Qur’an dan hadis, tidak ikut campur dalam penentuan bentuk negara. Nash cukup memberikan prinsip-prinsipnya, seperti keadilan (‘adalah), kesetaraan (musawah), kebebasan (hurriyyah), musyawarah (syura), dan kontrol rakyat (raqabah al-ummah).

Sebagai penguat, Andree Feillard dalam bukunya NU vis-à-vis Negara, menyatakan bahwa pemikiran politik NU berlandaskan pada tradisi Sunni yang selaras dengan tradisi Jawa. Tradisi Sunni mengajarkan memilih pemimpin yang bisa membawa ketertiban dan menjauhkan dari kekacauan.

Baca juga:  Mitos Polarisasi Politik

Sementara tradisi Jawa adalah pencarian jalan tengah suatu harmoni yang dicita-citakan masyarakat luas. Dua tradisi tersebut memang selaras dengan madzhab yang dianut NU serta mayoritas kiai NU yang merupakan orang Jawa.

Peran dan posisi politik NU yang dinamis bisa terlihat dari masa ke masa sejarah pemerintahan Indonesia. Dalam buku NU; Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Martin Van Bruinessen membaginya dalam beberapa kategori. Pertama, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, NU bersikap abstain terhadap politik.

Kedua, pada masa perjuangan kemerdekaan, NU terlibat aktif dan radikal dalam politik. Ketiga, pada masa demokrasi parlementer, NU menjadi partai politik namun gagal memberikan dampak yang besar.

Keempat, pada era demokrasi terpimpinnya Soekarno, NU menjadi penyangga rezim ini. Kelima, pada masa Orde Baru Soeharto, NU menampilkan diri sebagai oposisi yang berdampak pada depolitisasinya.

Kemudian saya menambahkan satu masa lagi yakni setelah era Reformasi, NU cenderung dekat dengan pemerintah, bahkan salah satu kadernya bisa menjadi Presiden ke-4. Dan, hingga saat ini NU terlihat akrab dengan pemerintah dan senantiasa masuk dalam kabinet pemerintahan.

Dalam sejarah pun, Islam bisa meluas di Indonesia sejak masa Walisongo yang juga menggunakan pendekatan politik. Sebagaimana yang dikisahkan Kiai Agus Sunyoto dalam bukunya Atlas Walisongo, Raden Rahmat atau Sunan Ampel merupakan bupati pertama Surabaya.

Berkat posisi politiknya ini, Raden Rahmat bisa melakukan upaya dakwah dengan lebih leluasa. Dan, jika diingat-ingat, Islam baru luas dianut mayoritas masyarakat Nusantara sejak masa Raden Rahmat, meski Islam sudah datang di Nusantara sejak berabad-abad lalu.

Baca juga:  Politik Kaum Muda dan Drama Pemilu 2024

Sikap Politik di Pilpres 2024

Mengingat kewajiban memilih pemimpin dan dinamisnya arah politik kiai NU, dalam Pilpres 2024 ini, para kiai terpecah dalam ketiga kubu paslon. Kita tidak boleh golput dalam kondisi seperti ini, karena ketiga paslon mempunyai sisi positif dan negatifnya masing-masing.

Oleh karena itu, perbedaan pilihan kiai bisa diarahkan pada pengawalan pada masing-masing paslon. Bilamana salah satu dari mereka memenangkan Pilpres 2024, para kiai tetap bisa mendampingi ketiga-tiganya.

Sikap politik kiai NU yang seperti ini masih sama sejak era Reformasi, yakni cenderung dekat dengan pemerintah. Untung saja, PBNU sendiri menyatakan netral dalam Pilpres 2024 ini, bahkan dengan tegas memberhentikan beberapa anggota yang bisa mengarahkan NU ke paslon tertentu.

Beban politik PBNU kali ini juga tidak seberat Pilpres 2019 yang kala itu Rais ‘Aam dipinang sebagai cawapres, bahkan deklarasi pengumumannya diadakan di kantor PBNU sendiri. Mudah-mudahan perbedaan politik kiai NU di Pilpres 2024 ini tidak menimbulkan perpecahan yang berdampak besar di Internal NU.

Semoga para kiai NU tetap memegang nasehat KH. Mahrus Ali yang menyatakan bahwa politik adalah upaya untuk merebut kekuasaan, kemudian kekuasaan itu digunakan untuk membuat keputusan yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi banyak orang.

Kita sering mendengar: tiada yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan. Semoga kepentingan yang dibawa tiada lain adalah membawa kemaslahatan untuk warga bangsa.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
5
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top