Teheran, pertengahan Desember 2019. Ditemani hembusan angin musim gugur, saya berjalan gegas menuju stasiun subway Eram Sabz. Tujuan saya kali ini berkunjung ke museum kaligrafi yang terletak di jalan Ali Shariati. Tidak sampai tiga puluh menit, metro line 4 sudah tiba di pemberhentian Darvaz-e Daulat. Dari stasiun, hanya perlu jalan kaki sepuluh menit untuk sampai ke lokasi.
Kawasan jalan Ali Shariati ini terlihat mentereng dengan deretan kafe-kafe di pinggir jalan. Beberapa gedung teater dan galeri seni juga dapat ditemukan dengan mudah. Ingatan saya langsung melayang pada sosok Shariati yang pemikirannya banyak memengaruhi anak-anak muda dekade delapan puluh dan sembilan puluhan. Meski pandangannya dikenal kiri, ternyata Ali Shariati juga menaruh perhatian tinggi terhadap seni dan agama.
Dalam sebuah artikel, Shariati pernah menulis, manusia perlu tiga hal dalam hidup: syariat, tasawuf, dan seni. Syariat berguna untuk mengatur laku hidup dari lahir sampai ke liang lahad. Tasawuf berfungsi menjaga imunitas fitrah. Sedangkan seni membantu manusia untuk lebih legawa dan santai menjalani getirnya hidup.
Ya, bisa dibayangkan bagaimana perjalanan agama tanpa bumbu seni dan budaya. Di dalam kelompok Islam sendiri, masih banyak penolakan terhadap beberapa jenis karya seni rupa. Untungnya, hampir semua ulama sepakat dengan seni kaligrafi. Apalagi, seni kaligrafi Islam memang lahir bersama dengan proses penulisan wahyu. Sampai hari ini, seni kaligrafi masih diminati oleh berbagai kalangan.
Tiba di gerbang museum kaligrafi, seorang satpam menyapa dan menanyakan identitas. Masuk museum ini memang tidak dikenakan biaya, kita hanya perlu menunjukkan paspor atau kartu identitas yang masih berlaku. Museum kaligrafi ini baru dibuka dua tahun lalu, tepatnya Agustus 2017. Sebelumnya, para penggemar seni kaligrafi hanya bisa melihat naskah-naskah kaligrafi di museum nasional untuk kategori koleksi era Islam.
Kini, para pecinta kaligrafi dapat menikmati lebih dari 200 koleksi kaligrafi klasik. Bahkan, pengunjung juga dapat menyaksikan peralatan kuno yang digunakan para kaligrafer zaman dulu seperti pena, tinta, sampai pisau khusus untuk meruncingkan pena. Ada berbagai jenis kaligrafi yang dipamerkan di ruangan nyaman berlantai dua ini, mulai dari kufi, naskh, ta’liq, dan nasta’liq atau di Indonesia lebih dikenal dengan farisi.
Kalau kita menengok sepintas sejarah kaligrafi di Iran, sebenarnya masyarakat Iran sudah mengenal seni kaligrafi sejak abad ketujuh, bersamaan dengan masuknya Islam ke tanah Persia. Tetapi mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 14, seiring berkembangnya metode nashta’liq yang diprakarsai oleh kaligrafer ternama, Mir Ali Tabrizi.
Nashta’liq sendiri merupakan gabungan antara model tulisan nash dan ta’liq. Sebuah adaptasi dari jenis tulisan Arab dan unsur lokal Iran. Selama berabad-abad tulisan nasht’liq berkembang pesat di dataran Persia. Bahkan, pengaruhnya dapat ditemui sampai ke Asia Selatan, seperti Pakistan dan Bangladesh. Jenis tulisan ini, biasanya digunakan untuk menghias masjid, batu nisan, terutama penulisan naskah-naskah puisi.
Di Indonesia, gaya nashta’liq barangkali belum terlalu dikenal. Sebaliknya, di Iran model inilah yang paling popular. Bahkan, metode nashta’liq juga menjadi materi pelajaran kesenian sejak di sekolah lanjutan tingkat pertama. Anak saya, Hakim, sangat antusias setiap kali ada pelajaran seni kaligrafi nashta’liq. Kegemarannya pun terlihat saat ia menatap dengan seksama satu demi satu kaligrafi di ruangan museum ini.
Sementara Hakim asik bermonolog dengan tulisan-tulisan nashta’liq, saya melipir ke sudut ruangan yang menyediakan berbagai buku kaligrafi. Koleksinya cukup lengkap. Dari buku-buku sejarah kaligrafi sampai beberapa buku pandauan praktis belajar kaligrafi. Mata saya tertuju pada sebuah buku bersampul merah tua dengan judul “Khoshnevisi va Erfan” atau “Kaligrafi dan Tasawuf”. Sudah lama saya mencari buku semacam ini.
Diiringi suara musik yang mengalir perlahan, saya mulai membuka lembar demi lembar halaman dalam buku ini. Ada sebaris puisi yang menarik perhatian saya. Rasanya, gaya tulisannya amat familiar.
Setelah memeriksa catatan kaki, ternyata tebakan saya benar. Sebaris puisi ini milik Rumi, tepatnya di buku Matsnawi jilid 4, bait 2886.
Apakah para penulis kaligrafi, menggoreskan penanya hanya demi keindahan tulisan semata.
ataukah agar tulisan itu juga dibaca dan direnungi maknanya?
Rumi sebagai tokoh sufi, selalu memandang segala sesuatu dari aspek batiniah. Begitu juga, saat melihat tulisan kaligrafi, kita dianjurkan untuk tidak hanya mengagumi deretan kalimat yang tertulis dengan indah. Tapi, perlu lebih jauh menangkap rahasia dan pesan di balik susunan huruf-huruf tersebut.
Sejak awal, para sufi memang sudah gelisah dan merenungi ayat pertama surat al-Qalam: “Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan”.
Para sufi selalu bertanya, apa gerangan yang membuat Tuhan bersumpah dengan nama pena? Apakah rahasia di balik huruf-huruf yang tersusun menjadi sebuah kata?
Ibnu Arabi bahkan membuat klasifikasi tentang huruf. Ada beberapa huruf yang berdiri sendiri dan memiliki peran istimewa, salah satunya adalah huruf Alif. Tentang keutamaan huruf alif ini, banyak tokoh yang sudah memberikan pendapatnya. Di buku “Kaligrafi dan Taswuf” ini, saya menemukan sejumlah catatan menarik.
Salah satunya pendapat Syekh Nikmatullah Wali, seorang sufi dan penyair, yang makamnya baru saja saya kunjungi sebulan lalu di provinsi Kerman. Ia menjelaskan sebagian rahasia huruf Alif dalam larik-larik puisi yang indah.
Titik dalam huruf Alif telah tersingkap
Sebuah alif dalam huruf telah terungkap
Alif adalah tiga titik yang bersatu
Ketika zat, perbuatan, dan sifatNya menyatu
Ketika saya sedang berusaha menyelami kandungan puisi di atas, seorang penjaga museum menghampiri. Ia memberikan beberapa buku saku tentang koleksi kaligrafi yang ada di museum dan kartu pos dengan gambar kaligrafi yang indah. Ah…sungguh rejeki luar biasa. Penjaga tadi juga menjelaskan kalau di museum kaligrafi ini hanya mengoleksi karya-karya klasik. Untuk melihat kaligrafi kontemporer saya disarankan pergi ke Taman Asosiasi Kaligrafer Teheran yang berlokasi di kawasan Tajrish.
Perjalanan hari itu saya lanjutkan ke Tajrish dengan menggunakan busway yang haltenya tepat berada di seberang museum. Ternyata tempatnya cukup jauh, butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai di taman tersebut. Sebuah taman yang sangat asri dilengkapi dengan dua kafe. Saya langsung menuju galeri seni yang memamerkan berbagai karya seni rupa, termasuk koleksi kaligrafi kontemporer.
Di sini, tulisan nashta’liq dimodifikasi sedemikian rupa dalam berbagai bentuk. Medianya pun, tidak hanya kertas, ada yang ditulis di atas keramik, kayu, kain, kaca, dan sebagainya. Sebagian karya dilelang dengan harga yang kurang ramah di kantong.
Bagi saya, melihatnya saja sudah cukup membawa bahagia. Setidaknya saya sedang berusaha mengikuti pesan Ali Shariati, untuk membahagiakan diri melalui karya seni kaligrafi.