Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Maulidan di Jantung Suku Turkaman, Iran

Maulidan di Jantung Suku Turkaman, Iran 1

Anda mungkin mengenal Iran sebagai negara Syiah dengan etnis Persianya. Akan tetapi di Gomishan, Anda akan menjumpai hal yang sebaliknya. Kota setingkat kecamatan ini dihuni oleh mayoritas suku Turkaman yang hampir semuanya merupakan pengikut Ahlusunnah. Bagaimana suku Turkaman merayakan maulidan?

Gomishan, kota kecil yang bahkan namanya pun belum pernah  saya dengar. Secara administrasi, kota ini berada di bawah kabupaten Bandar Turkaman, propinsi Golestan, bagian Utara Iran. Undangan peringatan Maulid Nabi saw membawa saya dan keluarga bisa singgah di tempat ini.

Penduduk lokal Gomishan, secara budaya dan bahasa memiliki kedekatan dengan warga negara Turkamanistan. Kalau saya lihat di Google map, jaraknya hanya sekitar 35 kilometer ke arah garis perbatasan. Kendatipun begitu, ada banyak perbedaan dengan saudara mereka yang berlainan bangsa ini. Setidaknya dari penulisan alfabet sampai pemberian nama.

Kami tiba dua jam lebih awal dari jadwal acara. Agha Dailami, kawan lokal kami menyarankan untuk mampir ke sebuah tempat peristirahatan. Mosaferkhane Hemayati, semacam penginapan tradisional yang dikelola oleh pasangan muda, Eshhaq dan Marziye. Dengan dana pribadi, mereka bertekad menghidupkan kembali kebudayaan Turkaman.

 

 

Marziye, sang istri adalah penjahit baju dan kerudung tradisional. Sementara, Eshhaq bersusah payah mendesain kamar-kamar penginapan dengan berbagai ornamen etnis Turkaman. Bahkan, ia membuat Oy, semacam rumah tenda tradisional. (lihat foto cover tulisan)

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (3): Son of Maryam, Kisah Persahabatan Aktivis Masjid dan Pendeta

Bentuk Oy seperti rumah Igloo beratap kubah, tapi terbuat dari material yang berbeda. Rangka dasar kayu yang bagian dalamnya ditutup dengan karpet berbahan bulu domba. Di sinilah, kami bisa mencicipi kehidupan asli nomaden ala suku Turkaman.

Aroma teh lokal menguar dari tungku tua yang berada di depan kami. Sambil bercerita panjang lebar tentang suku Turkaman, sesekali tangan Eshhaq meraih kayu bakar dan memasukkannya ke dalam tungku. Api terlihat membesar dan ruangan Oy ini kembali hangat. Tiga cawan teh dihidangkan bersama panganan lokal, menemani obrolan kami yang semakin riuh.

Eshhaq membuat saya banyak belajar untuk lebih mencintai kebudayaan daerah. Bahkan, kemana pun pergi, pasangan ini selalu mengenakan baju adat Turkaman. Ini jadi semacam teguran buat saya. Sebagai orang Jawa, kapan terakhir saya pakai kebaya. Atau sebagai orang Indonesia, saya hanya memakai batik di acara-acara resmi.

 

 

Lamat-lamat suara bacaan Alquran terdengar dari pengeras suara. Jam di ponsel saya menunjukkan angka 20.10. Kami berpamit pada Eshhaq untuk menghadiri acara maulid yang lokasinya hanya sekitar 100 meter dari penginapan. Di persimpangan, warga mulai berduyun-duyun menuju masjid. Tua, muda, perempuan, dan anak-anak.

Saya dipersilahkan menuju ruangan khusus perempuan. Awalnya terasa canggung, tapi keramahan mereka membuat saya cepat beradaptasi. Segala penganan lokal dihidangkan, mereka berlomba menawarkan makanan dalam bahasa daerah. Saya menjawabnya dengan anggukan dan senyuman.

Baca juga:  Catatan Perjalanan: Ketika Seorang Muslim Mendonasikan Uang untuk Renovasi Pura di Bali

 

Atefeh, perempuan muda yang paling fasih berbahasa Persia mengajak saya ke teras ruangan agar bisa menyimak acara lebih seksama. Kecuali pembacaan Alquran. seluruh rangkaian acara menggunakan bahasa daerah.

Atefeh dengan sabar memberikan banyak penjelasan. Menurutnya, acara ini dihadiri oleh perwakilan dari berbagai suku dan mazhab. Beberapa ulama Syiah pun turut hadir dalam majlis ini.

Pekan persatuan

Ada catatan menarik, satu pekan di bulan Maulid, yaitu tanggal 12-17 Rabiul Awal, di Iran diperingati sebagai pekan persatuan. Latar belakang penamaan ini kembali pada sejarah perbedaan tanggal kelahiran Nabi Muhammad saw. Ahlusunnah meyakini, Nabi lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal, sedangkan dalam Syiah dipercaya Nabi lahir pada tanggal 17 Rabiul Awal. Di tanggal selisih itulah, ditetapkan sebagai pekan persatuan.

Tibalah pembacaan tavashih, semacam puji-pujian untuk Nabi saw dalam bahasa lokal Turkaman. Mata Atefeh terlihat sembab penuh penghayatan. Memori saya langsung tersambung ke sebuah masjid dekat tempat kos di Lempuyangan Yogyakarta.

 

 

Suara lelaki pelantun puji-pujian dalam bahasa Jawa itu seolah kembali hadir juga wajah si mbah pemilik kos yang tiba-tiba jadi terisak mendengarkan lantunan puji-pujian. “Duhai Nabi…… Engkau adalah pembawa rahmat bagi semua kalangan”. Tak peduli apa suku dan bahasanya.

Baca juga:  Masjid Keramat: Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Di penghujung acara, hujan turun dengan deras disertai tiupan angin. Jamaah tetap berkumpul, menunggu acara selesai. Bahkan mereka yang berdiri di tenda tipis tetap bertahan. Benar kiranya apa yang didengungkan Rumi dalam Masnawi, jilid 4, bait 1454:

Sibaklah tabirmu wahai.. Muhammad        Dunia sekadar jasad dan Engkaulah ruhnya

 

 

Betapapun, kurang bersahabatnya alam, tak menghalangi para jamaah untuk menghormati majlis Nabi dengan saling bertukar senyum dan bersalaman di acara penutupan. Pelukan Atefeh dan para perempuan suku Turkaman yang bahkan tak saya mengerti bahasanya, menghangatkan kami dari serbuan angin pesisir yang kian menusuk.

Silaturahim ini akan selalu kami jaga sebagai salah satu amanat penting Kanjeng Nabi. Salam dan shalawat bagimu, wahai Nabi Penebar Rahmat.

Gomishan, 18 Rabiul Awal 1439

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top