Sedang Membaca
Nahdlatut Turast: Memaknai Turast dari Dimensi Manuskrip dan Doktrinisasi
Abdullah Faiz
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Salaf Apik Kaliwungu dan sekarang Kuliah di UIN Semarang.

Nahdlatut Turast: Memaknai Turast dari Dimensi Manuskrip dan Doktrinisasi

Ezosdrpvgaietqe

Ulil Abshar Abdalla adalah ulama sekaligus cendekiawan muslim Indonesia yang lahir dari kultur pesantren tradisional. Uniknya menantu dari Gus Mus ini tidak hanya menguasai ilmu keislaman yang bersanad ke Timur Tengah, tetapi juga belajar dari metode keilmuan Barat. Meski begitu Gus Ulil panggilan akrabnya, sama sekali tidak pernah menggunakan keunggulan metode pengetahuan Barat untuk berhijrah halauan dari kaum tradisional.

Pengalaman dalam penggabungan metode pengetahuan seperti ini sangat menarik untuk diikuti. Hal demikian tercerminkan dari pengajian kitab fenomenal Ihya’ karya Imam Ghazali yang dikaji dengan metode tradisional namun juga mengenalkan aspek sosiologi di dalamnya. Akhirnya penggunaan turast (kitab klasik) menjadi sangat relevan dan menarik di tangan pengampuan Gus Ulil.

Ada yang menarik, beberapa hari kemarin saya berkesempatan mengikuti agenda terbesar dalam organisasi Nahdlatul Ulama yaitu Muktamar ke 34 NU di Lampung. Dalam serangkaian acara tersebut komunitas pegiat manuskrip karya ulama nusantara mengadakan seminar turast di Gedung Rektorat UIN Raden Intan Lampung dengan mengangkat tema Membumikan Turast Ulama Nusantara Meneguhkan Jati Diri Bangsa.

Kebetulan dalam seminar tersebut salah satu pemantiknya adalah Ulil Abshar Abdalla. Beberapa penyampaian sangat menarik sekali. Ia mengatakan kajian turast harus terus berkembang mengimbangi pemikiran Islam modern. Tentu saja ini lumayan menantang bagi para pegiat turast terutama para santri di pondok pesantren dan para sarjana muslim yang menekuni beberapa kajian Islamic Studies.

Baca juga:  Sabilus Salikin (68): Silsilah Tarekat Qadiriyah

“Diskusi mengenai turost itu sangat penting karena perkembangan pemikiran arab modern atau pemikiran Islam modern,” kata pengampu Ngaji Ihya’ virtual tersebut.

Selain itu Ulil Abshar juga merumuskan mata kajian turost menjadi dua hal pertama adalah Turost Materialis (turost lahu wujudun fil khorij) atau sebuah kumpulan tulisan yang bentuk fisiknya masih terjaga. Kedua adalah Turost Non Materialis (turost lahu maknawiyatun fi dihni) artinya turost yang sudah menjadi jalan pemikiran di dalam diri kita.

“Saya mendefinisikan turost dengan dua hal. Pertama mendefinisikan turast dengan material yaitu turast yang ada bentuk fisiknya. Kedua turast sebagai sesuatu yang tidak material,” terangnya.

Dalam penyampaiannya, turast pertama (materialis) adalah bentuk khazanah naskah-naskah manuskrip yang menjadi warisan fisik dan dikaji disetiap pondok pesantren. Sementara yang kedua turast sebagai warisan pemikiran dan menjadi madzhab pemikiran yang tertanam dalam benak dan pikiran warga nahdliyin.

Ulil Abshar memberikan pandangan bahwa amaliyah warga nahdliyyin sangat kental dengan pengaruh pemikiran Imam Ghozali dan Imam Syafii dan lainya. Secara otomatis turast yang bagian kedua (non material) memerankan cara kerjanya atau yang punya makna di dalam pemikiran kita. Yang digaris bawahi adalah pemikiran kedua ulama tersebut bukan kitabnya secara fisik.

“Misalnya pandangan Imam Ghozali yang dikenal kan kepada kita sekitar ribuan tahun yang lalu. Bukan kitabnya tapi pemikirannya. Turast dalam pengertian kedua ini adalah turats yang tidak hanya ada dalam lemari saja melainkan dalam pikiran, ” jelasnya.

Baca juga:  Buku, Masjid, dan Mahasiswa

Turos ini yang menghidupi kita (Nahdliyin) sekarang. Pemikiran Imam Ghazali, Imam Syafi’i dan seterusnya masuk dalam turos kedua ini. Dia aktif terus mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Nahdliyin.

Perbedaan Praksis Sarjana Modern dan Sarjana Tradisional

Pengasuh Ngaji Ihya’ Virtual, Ulil Abshar Abdalla dalam diskusi Nahdlatu Turots, dengan tema “Membumikan Turost Ulama Nusantara Meneguhkan Jati Diri Bangsa” tersebut juga menjelaskan perbedaan sarjana muslim yang mempelajari Islamic Studies dengan pola pengetahuan tradisional dan pola pengetahuan modern.

Menurut Ulil, berbicara soal turost harus melewati diskusi-diskusi yang panjang dan mendalam. Terutama dalam mendefinisikan turast, sebab berawal dari definisi yang jelas dapat merumuskan masa depan khazanah keislaman. Ulil mendefinisikan turast bukan hanya tulisan yang dibukukan saja, melainkan sampai pada level kredibelitas penulis dan kondisi pada waktu ditulisnya. Ia mengatakan tulisan yang dapat dianggap sebagai turast adalah kumpulan karya yang ditulis oleh ulama berpendidikan tradisional.

“Turast itu bukan turast sembarang turast yang hanya ditulis. Tapi turast yang ditulisakan dan diproduksi oleh para ulama-ulama yang menjalani pendidikan tradisional,” ujar Ulil.

Semantara pendidikan tradisional yang ia maksud adalah pendidikan yang menganggap pengetahuan bukan sebagai final destination (bukan tujuan akhir) melainkan sebagai sarana untuk menuju Allah swt yang menjadi inti tujuan. Definisi di atas berangkat dari komentar Ulil Abshar dengan pola pengetahuan sarjana muslim modern. Menurutnya arah Nahdlatul Turast harus tetap pada tradisi keilmuan tradisional (pesantren).

Baca juga:  Hayy ibnu Yaqdzan, Novel Klasik Berkisah Nusantara sebagai Tempat Lahirnya Manusia Pertama

“Pendidikan tradisional ini tidak hanya mengkaji di level data ,ini yang membedakan dengan pengkajian para sarjana modern, mereka menjadikan data sebagai kebenaran objektif sementara tradisional tidak, melainkan mempertimbangkan nilai-nilai ilahiyah. Artinya setiap objek pengetahuan itu adalah jalan untuk menuju tujuan akhir yaitu allah swt, ” jelas ulama asal Pati itu.

Menantu Gus Mus itu kemudian menambahkan ulama-ulama kita (nahdliyin) tentunya menjadikan kajian dan tulisan sebagai media untuk tujuan kebenaran yang diimani. Artinya pengetahuan dalam tradisi tradisional dikaji untuk menuju kebenaran Allah swt.

Sementara itu terjadi perbedaan anatara sarjana muslim mpdern dan sarjana tradisional. Tentu saja ini berangkat dari praktik pengajaran yang dilalui berbeda. Misalnya pengetahuan modern menjadikan data sebagai kebenaran yang netral yang tidak dapat diimani, sementara tradisional berlanjut pada nilai ilahiyah yang dapat mengantarkan pada inti tujuan.

“Praksis pengetahuan modern, menjadikan objek menjadi tujuan data kebenaran objektif. Ini yang membedakan orang yang studi Islam didalam praksis tradisional dengan orang yang studi Islam dengan praksis modern. Dalam praksis modern, Islam dikaji sebagai data, data ilmiah bukan data yang di imani nah dalam kajian ini semua orang yang beragama apapun bisa mengkaji Islam,” pungkasnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top