Pada tanggal 18 Februari 2022 Menteri Agama (Menag) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Sontak aturan ini langsung memicu polemik dalam masyarakat. Ditambah lagi adanya statment Menag Yaqut Cholil Qoumas atau lebih akrab disapa Gus Yaqut yang dipahami oleh sebagian individu/kelompok telah menyamakan suara adzan dengan suara gonggongan anjing semakin memicu kegaduhan di tengah masyarakat.
Tidak sedikit individu/kelompok Islam yang melancarkan protes dan kecaman agar Gus Yaqut segera mencabut surat edaran tersebut. Atas dasar hal itu pula, individu/kelompok Islam disebagian tempat menolak dan melarang Gus Yaqut untuk menginjakkan kaki ditempatnya dan mengatakan Gus Yaqut telah menyimpang dan berpaling dari ajaran Islam.
Memahami Isi Surat Edaran Menag
Pada dasarnya, pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala bukanlah perkara yang muncul baru saat ini. Pada tahun 1978, Departemen Agama RI melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, telah mengeluarkan Instruksi Nomor: KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Kemudian pada tahun 2018, di bawah direktorat yang sama Kemenag mengeluarkan SE dengan Nomor: B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Surat yang telah dikeluarkan pada tahun 1978 itu. Terbaru, Menag mengeluarkan SE Nomor SE. 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Lantas mengapa saat ini SE tersebut ditolak dan dikecam oleh berbagai pihak? Dan dengan santer memicu kegaduhan dalam masyarakat?
Perlu dipahami bahwa SE yang dikeluarkan oleh Menag sama sekali tidak melarang untuk dikumandangkannya adzan dengan pengeras suara dan tidak pula melarang adanya salawatan/tarhim dan pemutaran pengajian dengan pengeras suara di Masjid dan Musala. Sebagaimana banyak dipahami oleh individu/kelompok bahwa Menag telah melarang dikumandangkannya adzan, salawatan/tarhim dan pemutaran pengajian dengan pengeras suara di Masjid dan Musala. Melainkan dalam SE tersebut mengatur tentang penggunaan pengeras suara. Di mana pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dan ke dalam Masjid dan Musala dengan maksimal penggunaan volume suara sebesar 100 dB (seratus desibel).
Hal itu bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman, ketertiban dan kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pada bagian Ketentuan, Pasal 3, diatur bahwa sebelum adzan Subuh dan Jum’at, pembacaan al-Qur’an atau salawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit. Dan adzan dikumandangkan dengan menggunakan pengeras suara luar. Sementara selain waktu Subuh, yakni Zuhur, Asar, Magrib dan Isya sebelum tiba waktu adzan, pembacaan al-Qur’an atau salawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar paling lama 5 menit. Sedangkan untuk ibadah/amaliah lainnya seperti zikir, do’a dan tausiah menggunakan pengeras suara dalam.
Nampaknya munculnya berbagai protes dan kecaman dari berbagai kalangan dan kegaduhan dalam masyarakat disebabkan belum dipahaminya secara menyeluruh isi dari SE yang dikeluarkan atau bisa jadi sama sekali belum membacanya. Selain itu, juga disebabkan adanya pihak-pihak yang dengan sengaja menyebarkan hoax dan politisasi baik terhadap statment Menag maupun terhadap SE yang telah dikeluarkan bahwa Menag melarang adzan, salawatan/tarhim, pengajian dan lain sebagainya dengan pengeras suara di Masjid dan Musala. Padahal jika SE tersebut dibaca secara menyeluruh, sama sekali tidak ada melarang mengumandangkan adzan, salawatan, pengajian dengan pengeras suara di Masjid dan Musala.
Perlukah Adanya Pedoman Penggunaan Pengeras Suara?
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam aliran kepercayaan dan agama. Masyarakat dari berbagai latar belakang ini hidup dan tinggal secara bersama dalam satu tempat. Bukan hidup dan tinggal dengan mengelompokkan diri berdasarkan aliran kepercayaan dan agama. Pada lingkup terkecil yakni skala RT/RW kita telah dapat menemukan masyarakat dari berbagai aliran kepercayaan dan agama. Dan pada lingkup terkecil ini pula setiap pemeluk agama terutama Muslim hampir memiliki rumah ibadah sendiri. Maksudnya setiap RT/RW hampir memiliki Masjid/Musala sendiri. Dan jarak antara RT/RW yang satu dengan yang lain berdekatan bahkan bersebelahan. Sehingga apabila satu kelurahan/desa memiliki 10 RT/RW maka akan terdapat 10 rumah ibadah. Dan apabila 10 rumah ibadah tersebut mengumandangkan adzan secara bersama dengan volume suara sebesar 100 dB maka masyarakat tentu masih mendengarnya.
Salah satu fungsi pengeras suara di Masjid/Musala adalah untuk mengumandangkan adzan sebagai pertanda bahwa waktu salat telah tiba sehingga umat Islam dapat bergegas mendirikan salat di Masjid/Musala. Selain itu, juga digunakan untuk salawat/tarhim sebagai penanda bahwa waktu adzan akan segera tiba dan lain sebagainya. Namun terkadang terdapat Masjid/Musala yang menggunakan pengeras suara tanpa mengingat waktu, bahkan hingga larut malam masih memfungsikan pengeras suara.
Bayangkan jika semua atau sebagian Masjid/Musala dalam satu kelurahan/desa masih memfungsikan pengeras suara hingga larut malam apakah tidak mengganggu waktu istirahat dan tidur masyarakat? Belum lagi jika terdapat masyarakat yang sakit dan bekerja pulang malam sehingga membutuhkan waktu istirhat tentu akan merasa terganggu. Sekalipun yang disetel adalah salawat/pengajian, namun jika tidak kenal waktu (berlebihan) maka tidaklah baik. Malahan berpeluang terjatuh pada hal yang dibenci oleh Tuhan. Sebagaimana adagium terkenal bahwa segala sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik termasuk dalam hal kebaikan.
Selain itu dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 205 Allah berfirman yang artinya “Ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Selanjutnya dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan ad-Daraquthni Rasullullah bersabda “Siapa saja yang mengganggu orang lain maka Allah akan mengganggunya. Dan siapa saja yang memberatkan orang lain maka Allah akan memberatkannya”.
Adanya SE Menag tersebut adalah untuk mengatur dan menertibkan rumah ibadah yang ‘berlebihan’ dalam memfungsikan pengeras suara sehingga tidak menimbulkan gangguan ketentraman dan kenyamanan bagi masyarakat. Dan pengaturan penggunaan pengeras suara tidaklah dilarang oleh Islam dan tidak pula bertentangan dengan ajarannya. Namun dalam praktiknya SE tersebut tentu tidak boleh diimplementasikan secara kaku, melainkan harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi di setiap tempat. Misalnya, jika dalam satu tempat hanya terdapat satu atau dua Masjid/Musala dan dikhawatirkan suara adzan, salawat/tarhim dan lainnya tidak terdengar oleh masyarakat, maka Masjid/Musala tersebut harus diperbolehkan menggunakan pengeras suara lebih dari 100 dB. Begitupun misalnya jika dalam satu tempat masyarakatnya tidak berkeberatan jika adzan, salawat/tarhim dan lainnya dikumandangkan dan dilantunkan dengan volume lebih dari 100 dB maka harus pula diberikan kelonggaran/keringanan.