Sedang Membaca
Mengenal Resepsi Qur’an HB Jassin: “Alquran Itu Kitab Puitis!” (1)
Avatar
Penulis Kolom

Pegiat kajian Alquran dan tafsir, alumni Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Resepsi Qur’an HB Jassin: “Alquran Itu Kitab Puitis!” (1)

Pada paruh kedua abad ke-20 seorang sastrawan-cum-kritikus sastra Indonesia, H.B. Jassin, mencoba menawarkan ijtihad baru tentang Alquran. Ia berupaya menempatkan Alquran dalam kerangka padanan fungsional-estetisnya melalui: (1) Al-Qur’ānul Karīm Bacaan Mulia, sebuah terjemahan puitis Alquran; dan (2) Al-Qur’ān Berwajah Puisi, sebuah mushaf dengan layout atau tipografi puitis. Sungguh ijtihad yang cukup berani dan menantang bila boleh dikata. Faktanya ijtihad Jassin menuai polemik.

Karya terjemahan Jassin dinilai menyimpang dari maksud ayat, dianggap tidak mengacu langsung pada teks Alquran melainkan hanya mengandalkan terjemahan-terjemahan yang ada (Riddel, 2009: 405-406). Terjemahan Jassin juga dianggap memuat maksud terselubung yang bersifat “ideologis”, lantaran awal penggarapannya dilakukan di Belanda—yang mayoritas penduduknya bukan muslim. Anggapan ini muncul dari sosok Nazwar Syamsu, penulis buku Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB Jassin. Bahkan karena karyanya pula Jassin dihujat dan diadili oleh MUI DKI Jakarta atas permintaan Gubernur DKI kala itu sebagaimana dilansir Republika 24 Januari 1993.

Begitu pula dengan mushaf kreasi Jassin. Karya tersebut oleh KH Hasan Basri selaku ketua MUI saat itu, seperti dilansir Harian Terbit 21 Januari 1993 dan Media Indonesia 29 Agustus 1993, dianggap sebagai upaya mempermainkan Alquran lantaran susunan naskahnya tidak sesuai dengan Muṣḥaf ‘Uṡmānī. Bahkan hasil pleno Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI pada 17 September 1992 menilai bahwa mushaf Jassin lebih banyak madharatnya ketimbang manfaatnya. Ada pula yang mengaitkan ijtihad Jassin dengan perilaku orang Syi’ah seperti pendapat yang dikemukakan Dr. H. Fuad Moch. Fachruddin saat acara Studium General di Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta pada 17 Mei 1993.

Tulisan ini tidak hendak membicarakan polemik dua karya Jassin. Tidak pula mengkaji satu per satu karya Jassin secara detail dalam kerangka ‘studi kasus teks’. Akan tetapi, tulisan ini lebih hendak mengungkap konstruksi resepsi Jassin dan bagaimana signifikansinya dalam dinamika studi Alquran di Indonesia.

Asumsinya bahwa sejak pertama kali diwahyukan Alquran telah mengalami pergumulan respon yang sangat kompleks. Mulai dari respon yang bersifat doktrinal, spiritual, etis, estetis, hermeneutis, fungsional, kultural, politis, ekonomis, pragmatis, magis, dan lain sebagainya. Pada periode awal Islam, misalnya, kehadiran Alquran di satu sisi diragukan dan dianggap sebagai karangan Muhammad belaka, seperti disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 23: Q.S. Yūnus [10]: 38, Q.S. Hūd [11]: 13, Q.S. al-Qaṣaṣ [28]: 49.

Baca juga:  Gus Dur dan Gus Im: Dari Berebut CD Musik Hingga Menerjemah Buku

Namun di sisi lain, tak sedikit tokoh yang tergugah spiritualitasnya oleh keagungan kalam Alquran, salah satunya adalah ‘Umar bin al-Khaṭṭab. Disebutkan dalam beberapa riwayat bahwa ‘Umar—sebelum memeluk Islam—sangat ingin membunuh Nabi Muhammad Saw., lantaran dianggap telah merusak ajaran nenek moyang lewat ajaran baru yang dibawanya, Islam. Namun sebelum keinginannya terlaksana, ia mendengar kabar bahwa adiknya, Fatimah, telah memeluk Islam bersama suaminya. Mendengar kabar tersebut ‘Umar marah. Ia lantas bergegas ke rumah adiknya. Sesampai di rumah adiknya, ia mendengar seseorang sedang membaca ayat Alquran di salah satu kamar. Ia pun segera masuk ke kamar tersebut. Melihat ada ‘Umar, Fatimah kaget. Ia langsung menyembunyikan lembaran Alquran di pelukannya (ada yang mengatakan di sembunyikan di bawah pahanya).

Umar bertanya, “Bacaan apa yang barusan aku dengar?”, “Engkau tidak mendengar apapun, pasti kau salah dengar,” jawab Fatimah sedikit ketakutan. “Demi Allah, aku dengar kalian telah mengikuti Muhammad dan ajarannya, benarkah begitu?!” tanya ‘Umar dengan raut emosional. “Ya, kami memang telah mengikuti Muhammad dan ajarannya. Kami pun telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Engkau tak punya hak untuk melarang-larang dan berbuat semena-mena terhadap kami!” jawab Fatimah dan suaminya. ‘Umar makin emosi. Ia segera mendekati suami Fatimah, dengan maksud hendak memukulnya. Namun Fatimah menengahi, dan tak sengaja pukulan ‘Umar justru mengenai muka sang adik. Darah pun keluar, menetes dari hidung dan pelipis Fatimah. ‘Umar menyesali perbuatannya. Ia pun perlahan meminta lembaran Alquran pada Fatimah.

Namun sebelum menyerahkan lembaran tersebut, sang adik meminta ‘Umar untuk berwudu terlebih dahulu. Kemudian ‘Umar membaca isi lembaran tersebut. Kebetulan surah Ṭāhā yang dibacanya. Namun baru beberapa ayat saja yang ia baca, ‘Umar menghentikan bacaannya dan berkata, “mā aḥsana hāżā al-kalām wa akram: alangkah tinggi dan mulianya bacaan ini!”. Setelah merampungkan bacaannya, ‘Umar lantas mendatangi Nabi dan menyatakan keislamannya. (Cerita tentang ‘Umar ini penulis nukil dari berbagai sumber, antara lain dari kitab al-Iṣābah fī Tamyīz aṣ-Ṣahābah karya Ibn Ḥajar al-‘Aṡqalanī jilid 4, hal 118).

Baca juga:  Religious Vernacular: Bahasa dan Lokalitas dalam Beragam Tradisi Keagamaan

Selanjutnya Alquran ditransmisikan, ia dijaga lewat hafalan dan tulisan (Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān: 1995). Kemudian Alquran dikompilasi, dikodifikasi, dan dimodifikasi. Istilah pertama mengarah pada pengertian tentang upaya pengumpulan setiap catatan [dan hafalan] Alquran pada masa kekhalifahan Abū Bakr (11-13 H/ 632-634 M). Sementara istilah kedua mengarah pada pengertian upaya pembukuan Alquran menjadi sebuah mushaf standar (muṣḥaf al-imām) pada masa khalifah ‘Uṡmān bin ‘Affān (23-35 H/ 644-656 M).

Sedangkan istilah ketiga mengarah pada pengertian upaya penyempurnaan transkipsi Alquran: mulai dari pemberian titik pembeda pada huruf-huruf yang karakternya mirip hingga pemberian tanda baca berupa ḥarakat, tajwid maupun waqf. Lalu ketika Islam sudah menyebar ke berbagai negara dunia, Alquran mulai disalin dan diperbanyak, dipelajari cara membacanya, dibaca, dihafalkan, diterjemahkan, ditafsirkan, dikoleksi, difungsikan untuk perkara magis, difungsikan sebagai media pengobatan (Qur’anic healing), dan diperlombakan [bacaan, tulisan maupun hafalannya], serta beragam respon-perlakuan lainnya.

Ragam respon-perlakuan tersebut kini menjadi bidang kajian dalam studi Alquran. Sebuah kajian yang menurut Sahiron Syamsuddin (2007: ix) tidak lagi menempatkan teks Alquran sebagai objek utamanya, melainkan lebih menekankan pada aspek respon-perlakuan pembaca (reader response) terhadapnya. Kajian ini berangkat dari kesadaran bahwa konsepsi, definisi, deskripsi, abstraksi, interpretasi dan hal-hal mengenai suatu objek—dalam hal ini Alquran—tidak bisa dilepaskan dari peranan subjek/pembacanya, baik individual maupun komunal (Thiselton, 1992: 534). Berdasarkan kerangka asumsi tersebut ijtihad Jassin diposisikan.

H.B. Jassin dan Puitisasi Alqur’an

Setidaknya ada dua momen yang membuat pria kelahiran Gorontalo pada 13 Juli 1917 ini lebih mengakrabi Alquran. Pertama, kematian istrinya, Arsiti, pada 12 Maret 1962. Pembacaan Yasin dan Tahlil selama berhari-hari di rumahnya membuat hati sang kritikus sastra kelahiran Gorontalo ini untuk lebih mengakrabi Alquran. Bahkan ia mengatakan:

“Saya mulai mempelajari Alquran—tidak dalam arti akademis saja—pertama kali tahun 1962 waktu istri saya meninggal. Tapi sudah menjadi sifat saya mempelajari sesuatu itu secara sungguh-sungguh. Tidak sekedar membaca. Tapi harus mengetahui artinya. Dan arti itu tidak secara menyeluruh, secara global, tapi kata demi kata. Jadi, kecuali saya mempergunakan terjemahan-terjemahan yang ada, saya juga mencari dalam kamus tiap kata (ayat) yang tidak saya mengerti. Saya melakukan itu 10 tahun 7 bulan lamanya.” (Yudi P. dalam Jassin [ed.], 1995: 100)

Baca juga:  Bagi Ifa Isfansyah, Film adalah Visi Sutradara, bukan Produser

Kedua, kasus pemuatan cerpen Ki Panji Kusmin, “Langit Makin Mendung”, di Majalah Sastra VI No. 8, Agustus 1968. Kasus inilah yang menyeret Jassin selaku pimpinan majalah ke ranah hukum. Sebagaimana pernyataannya kepada Hamka saat perjalanan pulang usai menjalani sidang perkara cerpen tersebut, “Perhatian saya kian lama kian mendalam kepada Alquran. Tidak saya biarkan satu hari berlalu yang saya tidak membacanya. Saya renungkan ayat demi ayat!” (Hamka dalam Jassin, 1991: xiii).

Meski demikian bukan berarti putra dari pasangan Mantu Jassin dan Habiba Jau ini ‘telat’ mengenal Alquran. Sebab ketika masih tinggal di Gorontalo ia kerap mendengar kakek-neneknya membaca ayat-ayat suci tersebut. Bahkan ketika belajar di Fakultas Sastra UI dirinya sempat mempelajari beberapa naskah terkait Alquran seperti naskah-naskah lama karya al-Raniri dan Hamzah Fansuri yang ditulis dalam bahasa Arab-Melayu. Selain itu, ia juga belajar tentang tatacara membuka kamus kosakata Alquran (Husaini dalam Jassin [ed.], 1995: 40). Maka tak salah bila A.M. Ikhlas (2017: 57) menyebut pertemuan Jassin dengan Alquran sebagai sebuah de javu atas masa kecilnya. Dengan demikian, Alquran bukan lagi ‘barang asing’ bagi Sang Paus Sastra yang meninggal pada 11 Maret 2000.

Kedekatan Jassin dengan Alquran memang dalam konteks mempelajarinya. Ya, mempelajari secara autodidak melalui terjemahan, kamus dan tafsir. Sebab ia mengaku tidak pernah mendapatkan pelajaran khusus tentang Alquran. Namun siapa sangka kedekatannya justru menghasilkan kreasi unik tentang Alquran, yaitu: (1) Al-Qur`anul Karim Bacaan Mulia atau AKBM, sebuah terjemahan puitis atas Alquran dan (2) Al-Qur`an Berwajah Puisi atau ABP, sebuah mushaf yang puitis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top