
Sejarah tidak akan pernah bisa dihapus. Ia hanya bisa disingkap, diakui, atau disangkal. Tetapi selama ia belum ditutup secara jujur, luka-luka bangsa akan tetap terbuka. Bekasnya diwariskan lintas generasi, menyusup dalam relasi sosial, bahkan membentuk karakter kolektif yang rapuh dan penuh prasangka.
Seperti yang ditulis Alissa Wahid dalam artikelnya “Sejarah” di Kompas (22 Juni 2025), hanya dengan keberanian membuka sejarah secara jujur, kita bisa sampai pada titik rekonsiliasi sejati. Alissa menyinggung bangsa-bangsa lain seperti Jerman yang tidak menutup-nutupi sejarah kelam Nazisme. Negara itu tidak menghapus peristiwa Holocaust dari buku pelajaran. Justru mereka mendokumentasikannya dengan sangat serius—dengan museum, monumen, dan kurikulum yang ketat—agar generasi muda tidak pernah mengulang kesalahan yang sama.
Amerika Serikat, meskipun masih berproses panjang, telah membangun museum-museum yang mengabadikan perjuangan warga kulit berwarna melawan perbudakan dan diskriminasi. Korea Selatan memperingati tragedi Gwangju dengan khidmat setiap tahun sebagai bentuk pertanggungjawaban negara terhadap rakyatnya.
Proses itu bukan soal membuka luka lama untuk disiram garam, melainkan membuka luka agar bisa dibersihkan, diobati, dan ditutup dengan kesadaran baru. Bukan untuk mempermalukan pelaku sejarah, tapi untuk menghadirkan keadilan bagi para korban, dan membangun masa depan bersama yang lebih sehat. Dalam konteks inilah, konsep historical closure menjadi sangat penting. Historical closure adalah penyelesaian moral atas suatu peristiwa sejarah, yang memungkinkan bangsa berdamai dengan masa lalu tanpa melupakan kebenarannya.
Di Indonesia, pekerjaan rumah kita masih sangat besar. Banyak peristiwa sejarah penting yang tidak pernah benar-benar dituntaskan. Tragedi-tragedi pelanggaran HAM berat, penghilangan paksa, pembantaian, dan berbagai bentuk kekerasan negara terhadap rakyatnya masih berada di ruang gelap. Bahkan, sebagian dipelintir, disangkal, atau dibingkai ulang dengan narasi-narasi politis yang penuh bias.
Apalagi blunder pernyataan tentang pemerkosaan massal tahun 1998 yang dilontarkan oleh Menteri Kebudayaan. Pengingkaran ini sangat menyakitkan dan menakutkan bagi keluarga dan komunitas korban 1998, serta bagi masyarakat lebih luas. Pada gilirannya sikap masyarakat kepada penguasa tentu akan terpengaruh oleh langkah penguasa terkait sejarah bangsa ini.
Kita bisa belajar dari bangsa lain, tapi kita juga harus punya keberanian untuk menyusun jalan kita sendiri. Jalan rekonsiliasi kita tidak bisa menunggu negara, tidak bisa pula menunggu perubahan politik. Ia harus dimulai dari keberanian moral kolektif, terutama dari kalangan masyarakat sipil, insan kampus, tokoh agama, dan pesantren.
Pesantren-pesantren dan kampus-kampus di Indonesia seharusnya menjadi rumah bagi kebenaran sejarah. Para ulama dan doktor kita tidak boleh diam di hadapan ketidakadilan historis. Jika kita benar-benar ingin membangun bangsa yang kuat, maka generasi muda harus tahu apa yang terjadi di masa lalu—bukan dengan dendam, tapi dengan empati. Dengan pengakuan, bukan penyangkalan.
Empati terhadap para korban sejarah adalah bagian dari keadaban. Dan keadaban itulah fondasi utama untuk mewujudkan peradaban. Bangsa yang besar bukan bangsa yang selalu menang, tapi bangsa yang mampu menghadapi kebenaran sejarahnya, sebrutal apa pun itu.
Sudah saatnya Indonesia memiliki agenda nasional untuk membuka lembar-lembar sejarah yang terserak. Membentuk Komisi Sejarah Independen, memperkuat pendidikan sejarah di sekolah dan pesantren, mendokumentasikan narasi-narasi korban, dan membuka ruang publik untuk peringatan serta pengakuan. Pekerjaan yang sangat berat tidak semudah yang diucapkan. Tapi harus dimulai. Jika tidak, kita akan terus berada dalam siklus pengingkaran. Dan pengingkaran adalah bentuk tertinggi dari kekerasan kedua bagi para korban.
Membuka sejarah bukan untuk menghakimi, tapi untuk menyembuhkan. Bukan untuk mengobarkan dendam, tapi untuk memperkuat masa depan. Yang dibutuhkan hanya satu hal: kebesaran jiwa.
Dan bangsa ini, insyaAllah, masih punya cukup orang-orang berjiwa besar. Allahhu a’lam.