Sedang Membaca
Diskursus Mahabbah dan Teladan Imam Ghazali dalam Mukasyafah al-Qulub
Achmad Dhani
Penulis Kolom

Mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta; alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati.

Diskursus Mahabbah dan Teladan Imam Ghazali dalam Mukasyafah al-Qulub

Diskursus Mahabbah dan Teladan Imam Ghozali dalam Mukasyafah al-Qulub

Di Kota Thus, terlahir imam besar bernama Imam al-Ghazali pada 450 H. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Ahwal keilmuan yang dimilikinya, beliau menyandang julukan al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi. Sedang kewafatan beliau adalah pada hari senin, 14 Jumadal akhir tahun 505 H. dalam usia 55 tahun. 

Bahkan adeknya, Ahmad menceritakan bahwa tatkala hendak menemui ajalnya, al-Ghazali mengambil wudhu lantas sholat dan meminta untuk diambilkan kain kafan. Beliau mencium kain kafan itu dan meletakkan di atas kedua kelopak matanya. Memujurkan kakinya ke arah kiblat lantas ruhnya terlepas dari jasadnya. Dan meninggallah beliau dalam keadaan suci menjelang terbitnya matahari pada hari senin selepas shubuh.

Sekilas mengenai riwayat hidupnya, Imam al-Ghazali memiliki ayah yang sholeh. Beliau adalah seorang dermawan yang berpencaharian sebagai pemintal bulu domba untuk dijualnya di tokonya sendiri. Perangai baik lainnya adalah beliau sangat mencintai ulama dan tak mau makan serta memberikan makanan kepada anak-anaknya kecuali dengan hasil jerih payahnya sendiri.

Ayah Imam al-Ghazali bukanlah orang yang bergelimang harta. Namun hal itu tak membuat beliau berhenti untuk bersedekah. Beliau gemar sekali menginfakkan hartanya untuk kemaslahatan agama dan kemajuan ilmu pengetahuan. Banyak Ulama yang ditemuinya untuk dibantu dengan kadar semampu kekuatannya. Beliau senantiasa berdoa dan mendambakan anak-anaknya menjadi seorang yang sholeh nan alim. Maka doa-doanya itupun terkabul. Imam al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad adalah ulama besar dan pemuka di zamannya.

Baca juga:  Dahsyatnya Sholawat atas Nabi Muhammad SAW dalam Kitab Primbon dan Do’a

Mahabbah dan Kitab Mukasyafah al-Qulub    

Imam al-Ghazali terkenal ulama tasawuf yang keilmuan lainnya juga ada dalam dirinya. Ilmu fikih, perbandingan mazhab, ilmu retorika bahasa, logika (mantiq), serta disiplin ilmu lainnya pun turut beliau tekuni. Sedang yang paling menonjol dalam keilmuannya adalah ilmu hikmah (tasawuf) dan filsafat. Maka wajar bila beliau sering mengkritik pemikiran para filsuf dari beragam aliran. Dengan beragam hujjah (argumen) yang dipunyainya, Imam al-Ghazali memiliki banyak karya dengan bermacam diskursus ilmu yang memiliki susunan dan metode penulisan yang bagus.

Kitab Mukasyafah al-Qulub ini misalnya. Isinya terkait motivasi-motivasi dan cara menghamba kepada Allah Swt., Tuhan pencipta segalanya. Karena tak diragukan lagi bahwa manusia selalu lalai dan kadang ingkar terhadap perintah serta larangan-Nya. Kadar keimanan kita suka naik dan turun. Kadang kita sangatlah tunduk menjalankan ibadah dengan sempurna. Dan, kadangkala suka durhaka dengan segala kermaksiatan yang dilakukan. Menjadi lalai dan abai terhadap larangan bahkan lupa pula dengan kewajiban-kewajiban yang perlu ditunaikan.

Imam al-Ghazali mengingatkan betapa pentingnya kesadaran akan posisi kita sebagai makhluk. Itulah mengapa gunanya mahabbah (rasa cinta) dalam jiwa sangtlah krusial untuk meyakini akan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Semua, seperti disampaikan Imam al-Ghazali bahwa apapun yang kita miliki, adalah semata-mata anugerah kebesaran Allah Swt.

Hal ini yang menuntut kita harus patuh dan tunduk kepada-Nya. Tuntutan rasa cinta kita kepada-Nya berimplikasi pada ketaatan dan kelaziman mengikuti segala Sunnah Nabi dalam beribadah. Al-Ghazali menafsiri mahabbah sebagai dorongan untuk menuju ketaatan kepada-Nya. Karena bagaimanapun, apapun yang didasari rasa cinta akan mudah untuk mencapai tujuannya.

Baca juga:  Wakaf Agraria: Inisiatif Kesalehan Pinggiran

Dalam Mukasyafah al-Qulub ini terpapar banyak sumber dalil-dalil untuk senantiasa menghadirkan cinta dalam meyakini kaegungan Allah dan Rasul-Nya. Al-Ghazali juga mencontohkan beberapa kisah imajiner yang bisa memantik kesemangatan kita untuk bisa mengaplikasikannya. Hingga kita tak jenuh dengan hanya disuguhi dalil-dalilnya saja, namun ada kisah-kisah hikmah menarik yang bisa diterapkan.

Imam al-Ghazali dengan metode dan gaya kepenulisannya yang asyik itu memberikan dampak yang serius karena pembaca lebih paham dan mudah mencernanya. Sekalipun pembahasannya adalah tasawuf, karena kejeniusan al-Ghazali tersebut membuatnya lebih membumi dan disenangi banyak kalangan.

Dikisahkan ada seorang kaya yang hendak membeli budak. Namun saat budak itu dibeli ia mengajukan tiga syarat kepada calon tuannya itu. Diantara syaratnya adalah: pertama, ia berkewenangan secara leluasa untuk menjalankan sholat wajib tiap waktunya tiba. Kedua, ia boleh dikerjakan dan disuruh apapun oleh tuannya pada waktu siang hari, namun tidak pada malam harinya. Kemudian yang ketiga adalah ia meminta satu kamar, yang mana kamar tersebut tidak boleh dimasuki siapapun kecuali dirinya sendiri. Maka atas pengajuan syarat itu, calon tuannya itupun menyanggupinya dan ia pun membelinya untuk dipekerjakan.

Budak itupun bekerja dengan baik kepada tuan barunya. Siang harinya ia berkerja dan melayani segala kebutuhan tuannya, sedang malam harinya ia beribadah kepada Tuhannya. Hingga pada suatu waktu, tuannya berkeliling dan sampailah di depan kamar budak tersebut. Ia mendapati budaknya sedang bersujud sedangkan ada cahaya yang sangat benderang di atasnya. Dalam sujudnya, budak tersebut bermunajat meminta ampunan kepada Allah Swt. Tuannnya itu menyaksikan hal demikian hingga sampai terbitnya fajar.

Baca juga:  Kekuatan Nama-nama Islam

Setelah dipikir-pikir ia menceritakan kejadian malam itu kepada istrinya. Maka malam berikutnya, tuan itu kembali lagi bersama istrinya. Benar saja, pelita semalam kembali lagi menggantung di atas budak tersebut ketika bersujud. Maka mereka berdua menangis melihatnya di depan pintu kamar sampai tibanya subuh. Setelah selesai, mereka memanggil budaknya itu dan berkata bahwa ia akan dibebaskan agar dapat leluasa beribadah kepada Allah baik siang maupun malamnya.

Namun, mendengar akan hal tersebut budak itu justru berdoa meminta kematian kepada Allah Swt. maka seketikapun Allah mengijabahinya dengan mencabut nyawanya dari jasadnya. Ia tersungkur dan wafat dalam keadaan penuh akan kecintaan pada jiwanya.

Orang yang mampu mabuk karena tegukan mahabbah adalah tingkat kesufian yang paling luhur. Orang zuhud bukan berarti meningalkan keduniawian. Namun zuhud menurut keterangan Imam al-Ghazali adalah ia yang mampu menceraikan antara dunia dengan akhirat. Karena spirit mahabbah dalam dirinya itu, ia akan senantiasa merasa dilihat dan dalam pengawasan Tuhannya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top